Kamis, 24 April 2008

Jakarta...

Hidup di Jakarta dengan rutinitas yang hanya terfokus pada pekerjaan, bagi sebagian orang kadang sangat menjemukan. Terlebih dengan kondisi Jakarta yang tidak bersahabat bagi pendatang baru seperti saya. Rasanya tidak ada waktu untuk diri sendiri ketika sebuah tuntutan mengharuskan untuk bekerja dengan intensitas waktu yang sangat tinggi.

Kadang saya merasakan waktu yang mengalir begitu cepat, " baru pagi dah pagi lagi" begitu gumam saya. Saya merasa seperti dikejar-kejar waktu yang terus menekan untuk terus berlari.

Rutinitas baru untuk mengikuti alur kehidupan di Jakarta harus saya ikuti. Saya harus membiasakan diri dengan sesuatu ritme hidup yang jauh berbeda dengan apa yang telah saya rasakan selama ini. Memanage waktu menjadi kata kunci untuk dapat mengikuti alur kehidupan disini. Sekarang saya harus membiasakan diri untuk tepat waktu serta mengatur kegiatan-kegiatan saya. Berhimpit-himpitan di bus, naik ojek, jalan kaki menjadi menu wajib untuk "mengejar waktu". Waktu menjadi hal yang sangat langka disini.

Kata orang kota ini sangat tidak menyenangkan. Macet, panas, bising menjadi bagian hidup kehidupan di Jakarta. Namun disatu sisi saya sangat menikmatinya. Saya sangat enjoy hidup di kota ini. Saya benar-benar bisa "powerfull" untuk memacu diri saya mencapai apa yang saya sebut dengan "kesuksesan hati". Kadang seorang teman bertanya, "kamu senang ya hidup di Jakarta?" saya jawab dengan mantap, "ya, sangat menyenangkan".

Namun banyak hal yang mengganjal saya tentang kota ini. Dimana berlaku hukum rimba di jalanan, sikap acuh dan "tak mau peduli dengan orang lain". Kadang hati kecil saya "berontak" melihat kenyataan-kenyataan itu. Jalan raya serasa menjadi dunia tanpa hukum, tanpa rasa menghormati, terlebih rasa "berbagi dan menghargai".

Yang kuat yang menang, yang lemah yang kalah begitu kata teman saya yang lain menanggapi tentang Jakarta. Namun memang kenyataan seperti itulah yang nampak di kota ini. Sebuah ironi kehidupan yang sangat dalam. Gambaran pencapaian hidup yang saling bertolak belakang.

Banyak pemandangan disini yang kadang kala membuat hati saya "menangis". Pernah suatu malam saya menjumpai seorang ibu cacat yang untuk berdiri menopang dirinya saja kesusahan, namun dia harus naik turun dari satu bus ke bus yang lain untuk mengamen di tengah rintik hujan. Sering juga di"curhati" tukang-tukang ojek tentang kehidupan mereka. Melihat bagaimana ditengah malam seorang ibu menjajakan gorengan ditengah hujan untuk menyekolahkan anaknya di kampung. Lebih sering pula melihat dan mendengar keluhan security BTS yang harus merantau dari kampung ke Jakarta namun hanya mendapat upah tak lebih dari seorang buruh tani dikampung. Padahal untuk melamar pekerjaanpun dia harus membayar jutaan rupiah!!

Begitu keraskah hidup di kota ini? Apa memang ini bagian dari roda kehidupan? ataukah "tidak ada perasaan" dihati orang-orang itu?

Aku terus merasa,, Atau aku harus berpaling?

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...