Minggu, 14 Oktober 2012

Dua Puluh Lima

Malam itu ia sibuk mencorat-coret sebuah kertas..
Sebuah kertas putih ia corat-coret dengan garis, lingkaran dan kata-kata yang harus ia pikirkan benar apa yang hendak ia tulis. Ada garis mendatar berwarna merah dan garis menurun berwarna hitam. Garis itu berawal di ujung atas kertas, kemudian melingkar menuju titik tengah kertas. Dengan diselingi dengan beberapa tulisan di antara garis-garisnya, perpaduan garis dan tulisan itu membentuk sebuah peta. Peta hidup!
Seperti remaja seusianya ketika itu, ia masih terbawa ueforia dari novel yang Ayat-Ayat Cinta yang ia baca. Tokoh utama di dalam novel itu digambarkan memiliki sebuah peta hidup. Ia ingin meniru tokoh utama dalam novel tersebut untuk membuat peta hidup. Malam itu, ia berfikir keras tentang pandangannya ke depan. Tentang keinginan dan mimpi-mimpinya yang kemudian ia tulis dan gambarkan di peta hidupnya. Setelah selesai, ia melipat kertas bergambar peta hidup itu serapi-rapinya. Lalu meletakkan di tempat terbaik dan rahasia yang ia miliki.
Sejenak kemudian ia pejamkan mata, seraya berdoa untuk apa yang telah dituliskannya..
Hari berganti hari, tahun demi tahun berlalu begitu cepat. Banyak peristiwa yang terjadi. Ada suka dan duka. Banyak yang datang, banyak pula yang pergi. Ada yang singgah sekejap, ada pula orang-orang yang selalu mengiringi apapun langkah dan pilihannya. Ia terus berusaha untuk menggapai semua keinginan dan harapkan yang pernah dituliskannya di dalam peta hidup.
Malam ini ia sibuk mencorat-coret sebuah kertas..
Manusia boleh berencana, tetapi pada intinya adalah Tuhan yang menentukan. Pada suatu titik, ia menyadari bahwa peta hidup yang ia tuliskan bertahun-tahun lalu itu adalah bagian dari sebuah doanya. Ada banyak hal yang ia tuliskan dalam peta hidup bisa ia capai. Meskipun banyak hal pula yang tidak atau belum tercapai. Bersyukur untuk semua hal yang telah tercapai dan tidak menyesali hal yang tidak tercapai. Ia mengganggap bahwa peta hidup selain sebagai doa, bisa juga sebagai pengingat bahwa hidup harus selalu mempunyai harapan.
Malam ini ia membuka lagi peta hidupnya. Sudah sampai di ujung akhir dari apa yang ia tuliskan ketika itu. Tepat 6 tahun lalu, ketika berumur 19 tahun ia menuliskan peta hidupnya untuk pertama kalinya. Hari ini, peta itu usai. Tepat diusianya yang ke-25.
Ia melipat rapi kertas berisi peta hidup itu. Lalu menjadikannya sebuah burung kertas. Diterbangkannya burung kertas itu dari ujung atas kantornya yang menjulang di selatan Jakarta. Kertas itu melayang-layang jauh ke bawah. Hidup terus berjalan dan tetap harus memiliki harapan. Ia membuka lagi sebuah kertas yang masih putih bersih.
Sejenak kemudian ia pejamkan mata, seraya berdoa untuk apa yang akan dituliskannya..
Ia mengambil pena dan menuliskan sebuah judul di ujung atas kertas “Peta Hidup Jilid Dua –Ginanjar Adhi Yuwana”

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...