Senin, 30 Juli 2012

Singgah ke Samosir

*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (18)

kelanjutan dari : Semalam Diantara Padang - Parapat


samosir!


Bus jurusan Medan – Padang ini terus berjalan menembus pagi. Dari kampung ke kampung dilewati, pemandangan pedesaan di Sumatra Utara ini sungguh membuat perasaan hati jauh lebih nyaman. Hilmy dan Melyn yang duduk di depan saya juga sudah bangun. Hilmy kemudian sibuk dengan peta yang ia bawa. 

Tak lama kemudian, bus berbelok ke dalam sebuah terminal yang tidak jelas papan petunjuknya. Bus berhenti dan kondektur bus bergegas turun. Kondektur bus memanggil seorang laki-laki muda yang sedang duduk di depan biro wisata yang ada di terminal. Kami sendiri masih ragu apakah kami sudah sampai di Parapat atau belum. Lelaki muda tadinya duduk di depan biro wisata itu kemudian naik ke dalam bus. Ia memberitau dengan bahasa Inggris yang fasih kepada seorang Marco bahwa ini sudah sampai di Parapat.

Saya, Hilmy dan Melyn kemudian turun mengemas barang bawaan kami. Marco dan Vera juga turun disini. Tas-tas yang besar diturunkan dari bagasi. Ternyata dari Terminal Parapat menuju dermaga ke Danau Toba kami harus menggunakan angkot. Sebuah angkot datang mendekat dan menawarkan jasanya menuju ke pelabuhan. Melyn yang orang Medan sudah merasa sampai di kampung halamannya. “Opung, berapa sampai ke pelabuhan?” tanya Melyn kepada laki-laki tua yang menjadi pengemudi angkot. “Tiga ribu” pengemudi angkot menjawab dengan sangat lempeng, hampir tanpa ekspresi.

Saya, Hilmy dan Melyn kemudian naik ke dalam angkot. Diikuti Marco, Vera serta 2 orang Inggris yang tadi ikut bus ALS itu. Angkot terisi 6 penumpang namun rasanya sudah sesak sekali. Barang bawaan kami berenam nampaknya besar-besar. Kami maklum dengan bawaan mereka yang besar mengingat perjalanan mereka yang berbulan-bulan.

Tak sampai 10 menit sampailah kami di Pelabuhan Tigaraja, Parapat. Parapat ini masuk wilayah Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara. Pelabuhan ini ramai karena ini adalah jalur penghubung menuju ke Pulau Samosir. Di sekitar pelabuhan ada sebuah pasar dan beberapa biro jasa wisata. Turun dari angkot kami langsung ‘diserbu’ penawaran jasa penginapan baik di Parapat maupun di Tuktuk. Kami berusaha menolak karena kami tidak akan menginap malam ini.

Seorang opung yang menyuruh kami untuk masuk ke dalam kantornya yang sudah dipenuhi banyak wisatawan asing. Tak menyerah karena kami menolak penawaran penginapan yang ditawarkan, ia menawarkan jasa travel untuk perjalanan kami ke Medan nanti malam.

Di Pelabuhan kami naik ke sebuah kapal yang bertujuan Tuktuk di Pulau Samosir. Di kapal kami bertemu lagi dengan Vera dan Marco. Pemandangan Danau Toba yang baru pertama kali saya kunjungi ini sungguh indah. Cuaca yang sangat cerah menghiasi perbukitan di Samosir yang khas dengan cemaranya. 

penyeberangan tigaraja

ornamen pada kapal parapat-tuktuk

hilmy, saya, melyn, vera, dan marco


Di depan, Pulau Samosir terbentang begitu besarnya. Kapal kemudian perlahan mulai berjalan ‘membelah’ Danau Toba, danau terbesar di Asia Tenggara. Saya sangat bersyukur bisa sampai di tempat yang indah ini. Perjalanan dari Parapat ke Tuktuk ditempuh dalam waktu kurang dari 1 jam.
Di atas kapal, kami bertiga banyak berbincang dengan Vera dan Marco. Tentang pengalaman perjalanan mereka ke Asia Tenggara. Yang saya salut dari mereka adalah kuatnya riset. Mereka tau bahwa meskipun Indonesia mayoritas penduduknya muslim, penduduk disekitar Danau Toba ini adalah nonmuslim. Selain itu jauh-jauh hari mereka sudah memesan penginapan di Tuktuk. 

Mereka traveler yang tidak menghitung jumlah destinasi namun focus untuk menikmati interaksi terhadap tempat yang mereka kunjungi. Hal ini berbeda dengan kami, pejalan pemula yang terobsesi mendatangi banyak tempat namun kadang jauh dari interaksi dengan tempat yang kami kunjungi.
Semakin lama, Pulau Samosir semakin dekat. Dari kejauhan kami melihat perkampungan di Samosir dengan cemara-cemaranya. Di tebing sebuah bukit ada tulisan Samosir. Mungkin seperti tulisan “Hollywood” di Hollywood Hills.

Kami mengira di Tuktuk adalah sebuah pelabuhan. Nampaknya kami yang kurang mencari informasi sebelum keberangkatan menjadi kecele. Tuktuk adalah sebuah perkampungan dengan banyak hotel persis di pinggir Danau Toba. Di Tuktuk, kapal akan berhenti di depan hotel-hotel yang persis ada di pinggir Danau Toba. Jadi setiap hotel yang di pinggir danau semacam mempunyai ‘dermaga’ sendiri-sendiri. 

tomok dari kejauhan, dengan gereja tua yang menjulang

parapat dari kejauhan

tomok dan bukit-bukitnya

di atas kapal menuju tuktuk

'kondektur' kapal dengan pemandangan hotel-hotel tuktuk di depannya


Vera dan Marco yang tadi bersama kami juga sudah turun di sebuah hotel. Kami berpamitan ketika mereka harus turun setelah melewati perjalanan bersama dari Bukittinggi. Kami kemudian berbagi alamat jejaring sosial untuk tetap saling berkomunikasi.

Sebagian penumpang sudah turun di hotel-hotel yang mereka tuju. Kini giliran kami yang bingung akan turun dimana. Akhirnya kami turun di tempat perhentian terakhir kapal. Bukan di sebuah pelabuhan, namun di belakang rumah yang persis ada di tepi Danau Toba. Dari belakang rumah itu kami berjalan melalui sebuah jalan setapak kecil menuju ke jalan besar.

Di sebuah jalan yang agak besar dengan kondisi yang rusak, kami berjalan tak tentu arah. Yang penting kami sudah sampai di Samosir pikir kami. Ketika kami berjalan, saya berandai-andai ke Hilmy dan Melyn. “Andaikan di depan kita tiba-tiba ada persewaan sepeda atau motor ya”. Baru beberapa detik kalimat pengandaian itu keluar, di depan sebuah tanjakan yang kami lewati tiba-tiba ada sebuah toko dan persewaan sepeda motor di kiri jalan. Tuhan maha baik.

Seorang ibu menyambut kami dengan sumringah. Di depan tokonya di pinggir jalan perkampungan Tuktuk, ia menawarkan sewa sepeda motor kepada kami. “Tidak mahal, ini murah karena minyak sekarang susah didapat” ibu itu bergeming ketika kami menawar biaya sewa sepeda motor agar murah. Setelah tercapai kesepakatan biaya sewa, kami menitipkan tas-tas kami di toko milik ibu ini. “Tidak disertai STNK? Nanti kalau ada polisi bagaimana?” tanya Hilmy. Ibu pemilik sepeda motor menjawab “Tidak apa-apa, kalau polisi bilang saja kalian turis”

Sebelum pergi, Hilmy kembali bertanya “Bu, di sini tempat yang paling bagus view-nya dimana?”. Ibu ini menjawab dengan lantang dan tanpa ekspresi, namun menurut saya sangat mantap. “Semua tempat disini bagus, kalau tidak bagus bukan Samosir namanya!”. Tegas. Mantap.

Dari tempat persewaan,  kami kemudian pergi ke daerah Tomok. Sebuah perkampungan yang mengingatkan saya akan desa-desa yang digambarkan pada buku-buku dongeng ketika saya masih kecil. Dengan perbukitan hijau, jalanan yang sepi dan gereja-gerejanya. Di Tomok ini pula terdapat berbagai makam dan benda-benda peninggalan zaman megalitik dan purba. Berdiri di depan sebuah rumah adat besar yang ada di Tomok membuat kami terpukau dengan kebudayaan disini.

Berputar-putar diantara Tomok dengan Tuktuk dengan jalan yang ada di tepian Danau Toba membuat kami mengiyakan kenapa banyak wisatawan dari luar negeri datang kesini. Mungkin tidak seindah beberapa puluh tahun silam, namun bagi kami ini salah satu keindahan yang orang Indonesia akan rugi jika melewatkan. 

buku bacaan kami di jalan untuk mengusir suntuk

saya, melyn dan hilmy

selamat datang di samosir!

rumah adat di tomok


Setelah putar-putar tak tentu arah dan hanya duduk-duduk di tepian Danau Toba melihat lalu lalang kapal, menjelang sore kami mengembalikan motor dan mengambil tas kami. Kami berencana untuk kembali ke Parapat lagi. Kami duduk disebuah dermaga pinggir danau di untuk menunggu kapal menuju Parapat yang lewat.

Beberapa anak kecil nampak mandi dan mencuci di pinggir danau. Cuaca yang panas terik membuat saya, Hilmy dan Melyn lebih banyak duduk di bawah pohon sambil mengamati anak-anak kecil ini mandi. Kapal tak kunjung lewat, sementara air danau menarik-narik kami untuk merasakan kesegarannya. Hilmy mengajak saya untuk berenang di danau. Panas terik dan dahaga karena puasa menjadikan saya tak kuasa untuk menolaknya. Kami turun ke danau dan mandi di tengah terik matahari siang. Rasanya begitu menyegarkan namun seketika muka kami menjadi belang-belang. 

menunggu kedatangan kapal


Celana masih basah karena berenang ketika kapal kemudian lewat, Melyn segera memberi aba-aba agar kapal merapat karena kami akan naik. Dengan celana yang masih basah, saya dan Hilmy kemudian naik ke kapal. Saking panasnya matahari, baru beberapa saat masuk ke kapal, celana saya perlahan-lahan kering dengan sendirinya. Kapal kemudian banyak berhenti untuk menaikkan penumpang di depan hotel-hotel di sekitar Tuktuk. Rasa segar setelah mandi di danau membuat saya mengantuk. Saya tertidur di dalam kapal, sementara Hilmy sibuk jalan-jalan di bagian atas kapal.

Sesampai di Parapat kami bergegas pergi ke kamar mandi umum yang ada di pasar untuk mandi dan  berganti pakaian. Berenang di danau dengan kondisi cuaca yang sangat terik membuat kulit mulai bersisik. Saya ingin cepat-cepat mandi dengan air yang bersih. Air mengalir dengan deras di bak kamar mandi. Saya penasaran dari mana datangnya air deras ini, sedangkan ibu-ibu di Samosir yang sempa kami temui tadi mengeluh kekurangan air bersih disana. Selepas mandi saya kemudian berjalan menuju belakang kamar mandi untuk menghilangkan penasaran saya dari mana datangnya air disini. Nampaknya sebuah selang tersambung menuju ke danau. Berarti air yang mengalir deras ke bak tadi berasal dari air danau juga. Kalau gitu tidak ada bedanya saya mandi di danau sama mandi di kamar mandi umum dong. Sama-sama air danau. Ah, sudahlah.

Rabu, 25 Juli 2012

Semalam Diantara Padang - Parapat


*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (17)

kelanjutan dari : Mampir Sekejap ke Padang

Suasana nampak mulai mendung dan gerimis. Kami beranjak masuk ke dalam bus yang akan berangkat ini. Bus dengan rute panjang dari Padang menuju ke Medan. Beberapa penumpang meski tidak banyak juga mulai naik ke dalam bus. Keadaan bus lumayan bersih, dengan sebuah toilet di bagian belakang.



Tidak lama kemudian pengemudi bus dan kondekturnya masuk ke dalam bus. Perlahan-lahan bus mulai berjalan meninggalkan agen. Suasana jalanan sepi karena gerimis sudah berganti menjadi hujan. Pengemudi bus mengemudikan bus ini dengan nyaman, sedangkan kondekturnya sedari tadi sibuk memilih kaset lagu yang akan diputar.

Keadaan di dalam bus semakin lama semakin dingin. Hilmy dan Melyn yang duduk di depan saya juga mulai memakai jaket mereka. Untuk mengurangi dingin, saya keluarkan sarung saya untuk krukuban. Rute yang akan dilalui bus ini adalah dari Padang, Padang Panjang, Bukittinggi, Padang Sidempuan baru kemudian akan masuk wilayah Sumatra Utara.

Satu jam selepas dari kota Padang, kami melewati jalan dengan hutan yang rindang di kanan dan kirinya. Jalanan sedikit menanjak dengan pemandangan yang menajubkan. Diantara jalan yang menanjak dan berliku kami melihat ada jembatan kereta diatasnya, lalu di bawahnya ada sebuah air terjun persis di pinggir jalan. Ada juga sungai yang mengalir dengan cantik, namanya Sungai Batang Anai. Hujan dan hijaunya hutan disekitarnya semakin menambah kecantikan tempat ini. Daerah ini adalah kawasan Lembah Anai. 

Jembatan kereta yang ada di atas adalah jalur kereta yang menghubungkan antara Padang dengan Sawahlunto. Jalur itu pula yang tempo hari saya lihat ada di tepian Danau Singkarak. Kawasan Lembah Anai sudah terkenal dari jaman Belanda sebagai kawasan yang cantik. Belanda pula yang membangun jalan raya dan jalur kereta mengikuti alur sungai Batang Anai ini.

Namun yang sangat kami sayangkan adalah kami hanya bisa menikmati pesona Lembah Anai dari dalam bus dan tidak bisa turun. Bus terus berjalan sehingga kami hanya bisa melihat Lembah Anai dalam tempo yang sekejap. Inilah alasan kenapa suatu saat nanti kami harus mengulang perjalanan kami di Sumatra ini dengan kendaraan sendiri. Agar bisa berhenti di tempat-tempat yang kami kehendaki.

Dari Lembah Anai bus kemudian mulai melewati jalur Padang Panjang – Bukittinggi. Jalur ini juga yang kemarin kami lewati dalam perjalanan Solok – Bukittinggi. Menjelang pukul 5 sore sampailah kami di Bukittinggi. Suasana di luar bus masih hujan, bus berhenti di sebuah agen di Bukittinggi untuk menaikkan beberapa penumpang.

Ada beberapa wisatawan asing yang naik dari agen bus ALS di Bukittinggi ini. Jalur Bukittinggi, Parapat (Danau Toba) sampai ke Banda Aceh adalah salah satu rute favorit dari para wisatawan asing. Biasanya dari Bukittinggi, mereka akan singgah ke Danau Toba. Diantaranya adalah beberapa wisatawan asing yang naik dari agen bus di Bukittinggi ini. 

Dari beberapa percakapan, kami kemudian berkenalan dengan 2 orang wisatawan dari Swiss yang duduk persis di depan Hilmy dan Melyn. Mereka memperkenalkan diri dengan nama Vera dan Marco. Sepasang muda mudi dari Swiss yang sudah 6 bulan ini berpetualang di Asia Tenggara. Setelah mengunjungi Thailand dan Malaysia, mereka kemudian pergi ke Padang dan Bukittinggi. Dari Bukittinggi mereka akan menuju ke Danau Toba dan Banda Aceh untuk kemudian kembali ke negara mereka melalui Singapura.

Jalanan selepas dari Bukittinggi mulai berliku. Hutan Bukit Barisan yang hijau menghias di kanan dan kirinya. Pemandangan begitu indah ketika jalan raya ada di atas bukit dan kita bisa melihat gugusan perbukitan dengan pepohonan yang luas. Kabut tipis-tipis menyelimuti perbukitan dengan gerimis yang menambah syahdu suasana. 

Kondektur bus memutar lagu-lagu india yang bising. Saya membayangkan kami sedang ada di dalam bus yang mengitari perbukitan di Kashmir dengan iringan lagu-lagu India. Serta penumpangnya yang saling bercengkerama dan berjoget. Membayangkan di sebelah saya adalah Kareena Kapoor yang jelita itu. Ah, ini bukan di India boi.

Mungkin karena kondektur bus mendengar jeritan hati kami yang merasa tersiksa dengan lagu india yang bising itu. Ia menggantinya dengan lagu-lagu Ebiet G Ade.
Menurut saya, lagu-lagu Ebiet G Ade adalah lagu yang paling enak didengarkan ketika kita sedang ada di jalan. Paling nyaman dipakai untuk merenung ketika kita sedang punya pandangan jauh ke luar bis. Terlebih suasana hujan di luar sunggu membuat perjalanan ini berkesan sekali.

Di tengah lamunan saya, Hilmy dan Melyn. Vera bertanya kepada kami judul lagu yang sedang diputar di bus ini. Dia suka dengan lagu yang diperdengarkan. Nampaknya ia tau mana lagu yang bagus dan mana yang kurang bagus. Vera lalu bersiap menuliskan nama penyayi dan judul lagu di sebuah kertas yang telah ia persiapkan. Dari liriknya kami menjawab kalau ini adalah lagu Ebiet G Ade, judulnya Berita Kepada Kawan. Mungkin Vera tidak mengetahui arti dari liriknya karena menggunakan bahasa Indonesia. Tapi musik tentu adalah bahasa yang universal. Dan disini, puluhan ribu kilometer dari tempat asalnya, dengan budaya dan bahasa yang berbeda dari negaranya. Di tengah perjalanannya di pelosok Sumatra, ia bertemu dengan sebuah lagu yang tanpa ia ketahui arti liriknya adalah bercerita tentang sebuah perjalanan.
“..perjalanan ini terasa sangat menyedihkan. sayang engkau tak duduk di sampingku kawan. banyak cerita yang mestinya kau saksikan..” | Berita Kepada Kawan – Ebiet G Ade

Bus terus berjalan ketika langit mulai gelap. Pukul 7 malam ketika bus akhirnya berhenti di depan sebuah rumah makan. Banyak sekali bus antar kota berhenti disini. Saya, Hilmy dan Melyn kemudian makan Sate Padang yang belum kesampaian dari kemarin. Kalau kemarin kami sudah makan masakan Minang di tanah Minang. Kini kami ingin merasakan sate Padang yang terkenal itu. 

Hampir berhenti 1 jam, bus kembali melanjutkan perjalanannya. Suasana bus makin lama makin dingin.  Kami semua kedinginan, bahkan wisatawan-wisatawan dari Eropa yang sudah terbiasa dengan hawa dingin saja mereka kedinginan di bus ini. Saya menduga pengatur AC di bus ini rusak, karena saya melihat pengemudi bus juga kedinginan. Kalau pengatur AC tidak rusak, tentu pengemudi bus sudah menaikkan suhunya agar ia tidak kedinginan. Namun yang saya lihat, pengemudi bus sampai melilitkan sarung pada badannya untuk mengurangi dingin.

Kami kemudian tertidur pulas. Beberapa kali saya terbangun karena dingin yang luar biasa di bus ini. Dua orang laki-laki dari Inggris nampak berkali-kali pergi ke toilet bus karena dinginnya.
Sekitar jam 12 saya terbangun dan melihat bahwa bus sudah memasuki daerah Padang Sidempuan. Menjelang sahur, bus kembali berhenti disebuah rumah makan. Banyak sekali bus yang berhenti di tempat ini. Dari nama daerah dan logat bicara orang-orang yang ada disitu, saya mengira bahwa kami sudah masuk wilayah Sumatra Utara.

Saya, Hilmy dan Melyn kemudian makan sahur. Saya memperhatikan dari sejak kami di Lampung sampai di sini, Sumatra Utara, kebanyakan kami berhenti di tempat makan yang menyajikan makanan Padang. Sehingga kami tidak terlalu sudah beradaptasi dengan makanan selama dalam perjalanan. Marco dan Vera tidak makan, mereka hanya menyedu teh hangat untuk mengurangi dingin. Disisa perjalanan, kami lebih banyak tidur. Bangku sebelah saya kosong sehingga saya bisa tidur dengan lebih leluasa.

Saya terbangun ketika hari nampak sudah sedikit terang. Jam menunjuk angka 7 lebih. Parapat sepertinya masih jauh. Di luar yang kami lihat adalah perkampungan-perkampungan yang tenang cenderung sepi. Nama daerahnya sudah mengandung nama-nama Batak. Suasana pagi yang indah gumam saya.

Selasa, 24 Juli 2012

Mampir Sekejap ke Padang...


*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (16)

kelanjutan dari : Menjelang Sore di Bukittinggi

Pagi ini saya mengalami salah satu periode yang menyedihkan dalam perjalanan ini. Waktu ketika saya harus pamit dengan keluarga yang ada di Solok ini untuk melanjutkan perjalanan. Sudah lama kami tidak bertemu, hampir 17 tahun. Dan belum genap 2 hari kami bertemu, saya harus melanjutkan perjalanan lagi.

Jabat erat nenek di Solok dan seluruh keluarga benar-benar membuat saya berat untuk meninggalkan kota ini. Sambutan hangat mereka ketika kami datang membuat saya ingin tetap ada disini. Namun perjalanan di depan masih panjang. Setelah Saya, Hilmy dan Melyn pamit dan berjalan di jalan setapak depan rumah menuju jalan raya, saya menahan rasa keinginan saya untuk menengok ke belakang lagi. Bukan karena apa-apa, tapi pasti itu akan menambah kesedihan. Dalam hati, saya hanya berucap bahwa suatu saat saya pasti akan kembali lagi ke tempat ini. 

Pagi ini, dari Solok kami akan pergi ke Padang. Lalu sore harinya kami akan naik bus menuju ke Prapat, Sumatra Utara. Masih seperti tempo hari dari Padang ke Solok, perjalanan dari Solok ke Padang menggunakan Jasa Malindo lagi. Jalanan kering dan rusak, beberapa kali harus berhenti karena ada perbaikan jalan. Saya tidak menikmati perjalanan kali ini, mungkin karena masih terbawa perasaan sedih tadi. Hilmy dan Melyn juga tampak lebih banyak diam. Entah kenapa pagi ini terasa sayu bagi kami.

Sesampai di Padang kami kemudian turun di sebuah perempatan menjelang sampai kota. Dari perempatan, kami berpindah naik angkot untuk pergi ke agen Bus ALS. Maksud kami untuk datang terlebih dahulu ke agen bus ini selain untuk membeli tiket bus ke Prapat adalah untuk menitipkan tas-tas berat kami. Kami ingin sejenak menyusuri kota Padang dengan ringan.

Setelah sampai di agen, kami membeli 3 tiket bus jurusan Padang – Medan. Namun dengan rute yang melalui Prapat karena kami berencana untuk turun disana. Bus yang akan kami naiki berangkat pukul 2 siang. Sedangkan jam saat ini sudah menunjuk angka 10 lebih. Masih ada beberapa jam untuk pergi ke pusat kota Padang. Setelah menitipkan tas di agen bus ini, kami kemudian naik angkot menuju pusat kota Padang. Tidak ada yang kami tuju di kota Padang ini, hanya untuk melihat-lihat suasana kotanya saja.

Dalam perjalanan menuju ke kota, saya baru ingat bahwa ada teman saya yang sedang tugas kerja di kota ini. Namanya Polo, teman yang sudah beberapa bulan ini mengerjakan sebuah project di Sumatra Barat. Saya segera menghubunginya untuk minta bertemu. Kami janjian di sebuah tempat di dekat Polres Padang. Kami yang sudah hampir 4 tahun tidak bertemu akhirnya bisa bertemu kembali. Kini kami duduk berempat di sebuah taman di seberang Polres Padang. Sebuah taman dengan sebuah lapangan sepakbola di tengahnya. Tribun penonton lapangan bola itu atapnya khas rumah gadang. 



Dari lapangan, kemudian saya, Hilmy, dan Melyn diantar ke sebuah museum yang tidak jauh dari tempat itu. Namanya museum Adityawarman. Begitu akan masuk ke museum saya heran, karena masuk ke museum ini dikenakan biaya yang tidak lazim. Biaya untuk 1 orang dewasa adalah Rp.2050. Kenapa tidak digenapkan saja, bukankah saat ini sangat susah ditemukan uang Rp.50. Melyn yang penasaran bertanya kepada petugasnya kenapa harus pakai 50 rupiah? Petugas yang ada di loket menjelaskan bahwa 50 rupiah tadi adalah biaya asuransi. 

Dari bagian depan, Museum Adityawarman ini berbentuk khas rumah gadang besar. Di depannya ada sebuah tugu. Sebelum naik tangga masuk ke dalam, ada patung sepasang manusia mengggunakan baju tradisional khas Minang. Seperti kondisi museum pada umumnya di Indonesia, kondisi disini sangat sepi. Di dalam museum menyimpan berbagai macam koleksi sejarah dan budaya Minangkabau. Di ruang utama kami melihat berbagai miniatur rumah adat dan pelaminan yang dipakai untuk pengantin Minang dengan segala pernak perniknya. Juga berbagai tradisi yang ada di Minangkabau ini.

di depan musem

arca adityawarman

sudut museum


Entah kenapa badan saya lemas sekali, tidak ada gairah lagi untuk menyusuri museum ini. Polo, Hilmy dan Melyn kemudian berjalan dari ruangan ke ruangan. Saya memilih untuk duduk dan menunggu mereka di depan saja. Rasa-rasanya ingin makan, tetapi kami masih berpuasa hari ini.
Setelah mereka selesai mengunjungi semua ruangan, kami berempat keluar dari museum. Saya, Hilmy dan Melyn kemudian berpamitan dengan Polo. Kami akan pegi ke agen bus ALS, sedangkan Polo harus melanjutkan perjalanannya kembali.

Dengan sebuah angkot kami menuju ke agen bus ALS. Cuaca Padang siang ini sangat terik, rasa haus menggelayut di tenggorokan. Menjelang Agustus, jalanan sudah mulai berwarna merah putih. Banyak sekali penjual bendera di pinggir jalan. Di sebuah persimpangan menuju agen bus kami turun, lalu berjalan kaki menuju agen bus. Jalan yang tadinya kami pikir tidak jauh, nampaknya jauh juga. Panas dan lelah menambah emosi. Saya berjalan cepat di depan sementara Hilmy dan Melyn di belakang. Rasanya ingin cepat-cepat sampai ke agen bus. Pikiran rasanya sudah buntu. Sesampai di agen bus, saya langsung membeli air minum. Glek, glek, glek. Batal sudah puasa saya hari ini. Pikiran kemudian (rasanya) menjadi terang benderang lagi. Ah, godaan memang selalu nampak lebih indah.

Senin, 23 Juli 2012

Menjelang Sore di Bukittinggi..

*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (15)

kelanjutan dari : Danau Singkarak dan Padang Panjang 

Suasana berdesak-desakan di travel yang membawa kami dari Padang Panjang menuju Bukittinggi tidak begitu saya rasakan. Meski berdesak-desakan namun pemandangan di luar begitu indah. Gunung Singgalang disisi kiri memberikan panorama yang menyejukkan mata. Terlebih dengan aroma mobil yang diselimuti aroma durian. 

Selepas kota Padang Panjang, disisi kiri menuju Bukittinggi kami melewati sebuah papan nama bertuliskan Rumah Puisi Taufiq Ismail. Ada keinginan untuk turun dan berkunjung ke rumah puisi itu, namun diantara ragu akhirnya kami memutuskan untuk tidak turun dan melanjutkan perjalanan kami ke Bukittinggi.

Hampir satu jam ketika beberapa penumpang lain sudah mulai turun dan keadaan travel tidak sesesak sebelumnya. Menjelang masuk ke kota Bukittinggi, beberapa kali kami mengalami kemacetan. Kota ini lumayan ramai, tidak heran kalau menjadi kota yang paling padat penduduknya di Sumatra Barat.

Menjelang masuk tengah kota, pengemudi travel memberi tau kepada kami bahwa ia tidak bisa mengantar sampai ke Jam Gadang. Sehingga kami turun dan berpindah ke angkot agar bisa sampai ke Jam Gadang.

Hilmy sibuk membaca peta kota Bukittinggi di buku Lonely Planet yang ia bawa. Ia menyarankan kami untuk pergi ke Ngarai Sianok terlebih dahulu sebelum pergi ke Jam Gadang. Di sebuah perempatan diantara Jam Gadang dan Ngarai Sianok kami turun dari angkot. Kemudian berpindah angkot lagi menuju Ngarai Sianok.

Sekilas kota Bukittinggi ini adalah kota wisata. Bisa dilihat dari banyaknya penginapan juga wisatawan asing yang kami lihat berlalu-lalang. Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Bukit Barisan yang membujur di sepanjang pulau Sumatra. Kota ini berbukit-bukit (namanya juga sudah pakai bukit ya hehe). Hawa sejuk kami rasakan di kota yang berada pada tepi sebuah lembah bernama Ngarai Sianok ini.

Tak berapa kemudian angkot berhenti persis di pintu gerbang Taman Panorama Ngarai Sianok. Kami bergegas turun, namun sebelum masuk ke Ngarai, kami tertarik untuk masuk ke sebuah museum yang ada di depan Ngarai. Sebuah pesawat AT-16 buatan Amerika Serikat yang ada di depan museum membuat kami penasaran apa yang ada di dalam museumnya.

Namanya Museum Tri Daya Eka Dharma. Kondisi museum ini sangat sepi, hanya kami bertiga yang memasuki museum ini. Namun sesampainya di dalam ternyata pintu masuk museum terkunci. Tidak ada orang sama sekali di museum ini. Sampai pada akhirnya seorang yang masih muda dengan rambut cepak berperawakan tentara keluar dari bagian dalam museum ini. Ia bertanya kepada kami bertiga apakah akan masuk ke dalam museum. Kami mengiyakan bahwa kami akan masuk ke dalam museum. Lalu kami disuruh untuk mengisi buku tamu dan membayar biaya masuk museum seikhlasnya. Seumur-umur baru kali ini saya masuk ke museum yang retribusi masuknya seikhlasnya.

Di dalam museum disajikan berbagai macam persenjataan tentara Indonesia dan asing, termasuk alat-alat komunikasi untuk militer. Seperti museum-museum di Indonesia pada umumnya, kondisinya ya begitu-begitu saja. Selain kota wisata, Bukittinggi ini memang salah satu kota bersejarah di Indonesia. Bukittinggi pernah menjadi ibukota Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang dipimpin oleh Syafruddin Prawinegara.

Keluar dari museum kami lalu masuk ke Ngarai Sianok. Kami berdecak kagum pada keindahan Ngarai ini. Sebuah lembah curam (jurang) yang membentuk patahan panjang dengan dinding curam bahkan ada yang tegak lurus. Membentuk lembah hijau dibawahnya dengan sungai kecil memanjang mengikuti alur dari Ngarainya. Di seberang Ngarai nampak Gunung Singgalang berdiri gagah.

Di dalam Taman Panorama Ngarai Sianok ini banyak kami temui pedagang-pedagang yang menjual oleh-oleh khas dari tanah Minang ini. Ada kain tenun, replika rumah gadang dan juga ada lukisan-lukisan dengan panorama khas Minang yang biasa saya lihat di rumah makan Padang.

Masih di dalam kawasan Taman Panorama Ngarai Sianok ini, kami kemudian masuk ke dalam Lubang Jepang. Dulu dalam masa penjajahan Jepang, karena lokasinya yang sangat strategis di tengah-tengah Pulau Sumatra. Bukittinggi dijadikan sebagai pusat komando pertahanan tentara Jepang di Sumatra. Jepang membangun tempat ini selain sebagai pertahanan, dipakai juga sebagai tempat untuk menyimpan amunisi dan perbekalan. Di dalamnya terdapat banyak ruang dengan berbagai macam keperluan tentara Jepang. Saya bergidik ngeri ikut turun memasuki lubang ini. Sampai dibawah suasana remang-remang, jalanan juga bercabang-cabang. Bangunannya sangat kokoh, seperti bangunan-bangunan Jepang lainnya. Bahkan gempa Sumatra Barat ditahun 2009 tidak merusaknya. Entah berapa romusha yang dikerahkan untuk ikut membangun lubang ini. 

salah satu lembah di Ngarai Sianok

Ngarai Sianok
sekitar Ngarai Sianok..

pelukis di Ngarai Sianok

Melyn :P

Tak berapa lama kemudian kami kemudian kembali naik. Saya dan Melyn lalu mencoba menghitung berapa jumlah anak tangga sampai ke atas. Namun antara haus dan lelah berjalan menanjak saya sudah tak mampu menghitungnya lagi. Ada ratusan anak tangga agar kami bisa sampai ke atas lagi. Sesampainya di atas, kami seperti sekelompok orang yang tanpa daya selepas bekerja begitu keras.



Lubang Jepang

Ngos-ngosan sehabis dari Lubang Jepang


Dari Taman Panorama Ngarai Sianok ini kami bergegas naik angkot lagi menuju ke Benteng Fort de Kock. Ini adalah sebuah benteng yang dibangun oleh Belanda di sebuah puncak bukit di Bukittinggi. Benteng ini dibangun tentara Belanda untuk menghadapai rakyat Minangkabau pada saat Perang Paderi. Dari atas bukit ini kita bisa melihat pemandangan kota Bukittinggi dari atas. Disekitar benteng ini kini dibuat menjadi sebuah taman yang hijau dan sejuk.

Dari benteng ini kemudian kami berjalan lagi menuju Jembatan Limpapeh. Jembatan ini menghubungan antara Benteng Fort de Kock ke Kebun Binatang Bukittinggi. Jembatan ini persis diatas sebuah jalan utama di Bukittinggi, Jalan Ahmad Yani.  Setelah sampai di kebun binatang ini, saya memisahkan diri dari Hilmy dan Melyn. Saya tidak suka dengan sebuah kebun binatang dengan konsep mengurung binatangnya. Bagi saya hal itu semacam penyiksaaan yang dipertontonkan. Saya duduk menunggu di depan pintu masuk kebun binatang dimana ada replika rumah gadang juga disini.

Selepas Hilmy dan Melyn berkeliling, kemudian kami bertemu kembali di depan pintu gerbang kebun binantang. Dari tempat itu kami kemudian berjalan kaki ke arah Pasar Ateh yang ada di dekat Jam Gadang.

Di dekat pasar kami mampir untuk shalat asar di Masjid Raya Bukittinggi. Saya dan Hilmy kemudian bergegas mengambil wudhu dan shalat asar. Suasana masjid begitu ramai, terlebih ini adalah bulan ramadhan. Selesai shalat berjamaah berdua kami keluar dari masjid. Saat kami keluar, banyak sekali orang yang berjalan masuk ke masjid. Dan tak beberapa lama kemudian terdengar adzan. Saya dan Hilmy berpadangan sambil bertanya-tanya. Kok baru adzan asar ya. Padahal kami mengira sudah asar sehingga kami langsung bergegas shalat asar. Nampaknya kami masih berpegang kepada jadwal shalat asar di Jawa, padahal ini sudah di Sumatra. Bahasa Belandanya kegasiken!

Di depan Masjid Raya Bukittinggi ada semacam pasar wisata. Namanya ‘Pasar Pabukoan Wisata Bukittinggi’. Di pasar ini dijajakan berbagai macam makanan khas Minang. Kondisi pasarnya sangat ramai dengan banyak orang yang membeli makanan untuk berbuka puasa. Ini seperti surganya kuliner makanan khas Minang. Kami kemudian membeli beberapa untuk bekal kami buka puasa hari ini.

Jembatan Limpapeh

Dari atas Jembatan Limpapeh




Dari pasar pabukoan ini kami berjalan lagi ke arah Jam Gadang. Menuju Jam Gadang kami melewati Pasar Ateh yang sedang ramai orang hilir mudik. Meskipun ramai, namun suasananya tetap saja nyaman. Akhinya, setelah putar-putar sampailah kami ke Jam Gadang. Sebuah menara jam sebagai simbol kota Bukittinggi. Kota bersejarah tempat kelahiran tokoh-tokoh besar seperti Mohammad Hatta dan Agus Salim. 

Jam Gadang tahun 1926 pada masa pemerintahan Hindia Belanda sebagai hadian dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, controleur Fort de Kock. Jam ini digerakkan secara mekanik oleh mesin yang di dunia hanya ada 2 yaitu Jam Gadang ini dan Big Ben di London Inggris. 




Namun sayang ketika kami sampai di Jam Gadang cuaca sangat mendung dan akhirnya turun hujan. Kami bertiga berteduh persis di sebuah bangunan di sekitar Jam Gadang. Lama berteduh namun hujan tak reda, akhirnya ditengah rintik hujan kami nekat mencari angkot untuk pergi ke Terminal Air Kuning. Terminal dimana kami harus mencari travel untuk kembali ke Solok. Sesampainya di Air Kuning hujan belum reda. Sementara travel ke Solok sore ini jarang kami temukan.

Kami bertiga berdiri di emperan toko sambil kedinginan. Di samping saya, ada ibu-ibu penjual es yang nampak cemberut dagangannya tidak laku karena hujan. Kadang hujan memang menyejukkan, namun ada kalanya hal seperti ini yang kami temui. Setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya kami menemukan travel menuju Solok. Kami bergegas masuk dengan kondisi baju agak basah. Menikmati perjalanan kami pulang ke Solok.

Di jalan menuju pulang, hari mulai gelap. Kami membatalkan puasa kami dengan jajan yang kami beli tadi di pasar dekat Masjid Raya Bukittinggi. Travel melaju dengan cepatnya, samar-samar diantara kegelapan saya melihat lagi Danau Singkarak di sisi kanan. Ah, hari ini saya merasakan banyak kesyahduan.

Danau Singkarak dan Padang Panjang


*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (14)

kelanjutan dari : Manisnya Buka Puasa di Solok

Dulu, ketika belum pernah datang ke Sumatra Barat, saya selalu membayangkan bahwa daerah ini sangat indah. Keindahannya saya imajinasikan seperti lukisan-lukisan yang saya lihat di rumah makan Padang yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.  Dalam lukisan-lukisan di rumah makan Padang biasanya digambarkan tentang indahnya rumah gadang, bukit-bukit, sawah-sawah dan danau.

Kini hal tersebut ada semua di hadapan saya. Dalam sebuah perjalanan menggunakan travel dari Solok ke Padang Panjang, semua imajinasi saya tentang lukisan itu kini benar-benar nyata. Diantara riuh rendah kecepatan travel dengan pengemudi yang terobsesi menjadi pembalap, saya berdecak kagum.

Di sisi kiri saya melihat Danau Singkarak dengan rumah-rumah gadang di tepiannya. Sementara gugusan bukit dan persawahan hijau yang lapang di sisi kanan begitu menyejukkan mata. Jalanan yang berkelok-kelok persis di pinggir danau nampak tidak terlalu ramai. Ah, saya kira ini salah satu puncak keindahan perjalanan kami ke Sumatra kali ini.

Hilmy dan Melyn duduk di depan samping pengemudi. Sementara saya duduk di belakang sambil termangu mendengar bapak-bapak berbicara dengan Bahasa Minang yang sama sekali saya tidak paham maksudnya. 

Di tepi Danau Singkarak, terlihat juga sebuah jalur kereta. Rel kereta penghubung antara Padang Panjang – Solok – Sawahlunto. Dulunya, jalur kereta ke Sawahlunto dibangun pemerintahan kolonial Belanda karena melihat Sawahlunto sebagai kota penghasil batubara. Sehingga jalur kereta ini lebih difungsikan sebagai jalur transportasi batubara. Namun ketika produksi batubara dari Sawahlunto ini sudah menurun, jalur kereta ini dipakai untuk kereta wisata. Salah satu kereta wisatanya bernama “Mak Itam”. Sayangnya kereta wisata ini hanya beroperasi pada akhir pekan sehingga kami tidak bisa mencobanya.

Merasakan lekak-lekuk tepian Danau Singkarak dengan pengemudi travel yang terobsesi menjadi pembalap sungguh membuat hati gundah gulana. Terlebih tadi malam nenek di rumah Solok bercerita tentang Danau Singkarak ini dari sisi ‘lain’. Beliau bercerita tentang beberapa kejadian mobil tercebur ke danau ini dan tidak dapat ditemukan. Juga tentang mistisnya danau ini. Mengingat cerita tadi malam dan merasakan pengemudi travel ini begitu ngebutnya, dalam hati hanya bisa beristighfar. Astaghfirullah yang berselang-seling dengan Subhanallah melihat indahnya danau ini.

salah satu sudut pasar diantara Solok - Padang Panjang

Tak berapa lama kemudian, gapura bertuliskan ucapan selamat datang di Padang Panjang nampak di depan kami. Di sebuah pertigaan setelah gapura kami turun dari travel untuk kemudian berganti ke sebuah angkot untuk menuju pusat kota. 

Saya memperhatikan di Padang Panjang ini banyak sekali sekolah dan universitas. Mungkin bisa disebut sebagai ‘kota pelajar’-nya Sumatra Barat. Suasana kotanya lebih ramai dibandingkan dengan Solok yang kami datangi sebelumnya. 

Di angkot kami bertanya-tanya kepada para penumpang lain bagaimana kami bisa sampai ke tujuan kami, Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minang (PDIKM). Seorang ibu dengan anaknya yang masih kecil memberi informasi detail bagaimana cara kami agar sampai kesana.

Untuk menuju ke PDIKM  kami harus berganti angkot lagi. Di angkot kedua, nampak 2 wanita muda yang jaim. Untuk memastikan kami tidak salah angkot, kami bertanya kepada mereka. Ternyata mereka juga punya tujuan yang searah dengan kami. Namun selepas pertanyaan itu, kami tidak melanjutkan percakapan lagi. Rasanya enggan untuk bertanya lagi ketika melihat wajah mereka yang begitu jaim

Tidak jauh dari pusat kota, hanya sekitar 15 menit sampailah kami ke tujuan kami. Sebuah gapura penunjuk Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minang (PDIKM) terpampang besar di pinggir jalan. Kami turun dari angkot untuk kemudian berjalan tidak seberapa jauh ke pintu gerbang PDIKM.





Sebuah bangunan besar bergaya Minang kini ada di depan kami. Antara perasaan takjub dan bersyukur bisa sampai di sini. Tempat ini begitu luas dengan banyak pepohonan dan rerumputan hijau. Di tengahnya berdiri gagah sebuah rumah gadang besar, seolah-olah menjadi simbol kejayaan Minangkabau dimasa lalu.

Padang Panjang Kota Serambi Mekah

Di depan PDIKM

Serombongan wisatawan asing nampak keluar dari dalam dengan bus yang sudah menunggu di luar. Saya, Hilmy dan Melyn bergegas masuk. Ini pengalaman pertama saya masuk ke dalam rumah gadang. Melewati tangga depan, kami masuk ke anjungan. Anjungan adalah bagian yang lebih tinggi dari bagian dasar rumah, ditandai dengan adanya anak tangga.

Di dalam saya merasakan agak goyang dengan suara berderit. Mungkin karena baru pertama kalinya. Kalau diibaratkan ini rumah yang dihuni sebuah keluarga, setiap ada orang yang berjalan menghentak, seluruh anggota keluarga akan merasakan.


Di dalam bangunan utama ini, disajikan beberapa cerita sejarah Minangkabau yang terdapat pada koleksi-koleksi fotonya. Ada juga perpustakaan dengan koleksi buku-buku sejarah Minangkabau. Termasuk tentang berbagai macam model rumah gadang dan asal muasalnya. Salah satu proklamator kemerdekaan Indonesia yang berasal dari Sumatra Barat Moh Hatta, mendapat apresiasi yang sangat baik di tempat ini. 

Kami kemudian turun ke lantai dasar. Di lantai dasar ini disajikan beberapa pakaian tradisional Sumatra Barat. Karena tidak ada orang yang menunggu di lantai dasar ini maka kami iseng-iseng mencobanya. 








Selepas dari bangunan utama ini, kami kemudian bergegas keluar untuk melanjutkan perjalanan kami ke Bukittinggi. Melewati pintu lain yang berbeda dengan pintu masuk kami tadi, kami melewati sebuah jembatan gantung yang indah. Sungguh tempat ini menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi dan menjadikannya indah.

Kemudian kami kembali ke jalan raya untuk menunggu transportasi ke Bukittinggi. Jalan raya di dekat PDIKM ini adalah jalan raya penghubung antara Padang – Padang Panjang – Bukittinggi. Seorang ibu pemilik warung di pinggir jalan sekitar PDIKM menunjukkan cara kami untuk pergi ke Bukittinggi. Untuk pergi ke Bukittinggi, ibu itu menyarankan kami untuk naik travel yang banyak lewat di jalan ini. Travel yang dimaksud ibu ini adalah mobil-mobil plat hitam (rata-rata model avanza, xenia dan apv) yang melayani rute Padang – Bukittinggi.

Tak berapa lama, sebuah mobil APV berhenti. Kami kemudian naik ketika sudah ada beberapa penumpang di dalamnya. Mobil ini agak penuh sesak dengan penumpang hampir lebih dari 10 termasuk anak-anak. Di tengah sesak penumpang itu kami mencoba menikmatinya. Namun yang membuat saya tidak terlalu mengeluh dengan sesaknya bus ini adalah aroma durian di mobil ini. Sebelumnya saya kira ini adalah parfum mobil yang rasa durian. Namun ternyata aroma durian itu berasal dari buah durian yang sebenarnya. Dibagian belakang mobil,ada seorang ibu yang membawa durian dengan jumlah banyak untuk dijual di Bukittinggi. Bau durian menghinggapi seluruh bagian mobil. Bau durian ini sungguh enak, bisa dipastikan isinya tak kalah enaknya. Seenak durian yang saya rasakan di Muaraenim tempo hari. Saya dan Melyn senyum-senyum dengan semerbak durian ini karena kami sama-sama suka durian. Sedangkan Hilmy tertunduk lesu, entah karena mual atau karena apa. Ia masih tidak suka durian dan mungkin sangat tersiksa dengan aroma ini.

Tapi percayalah, dalam suatu perjalananan di lain tempat nanti, ia akan makan durian untuk pertama kali dalam hidupnya. Karena durian Sumatra nomor 1 di kelasnya

Jumat, 13 Juli 2012

World Stamp Championship - Indonesia 2012

Jakarta, 24 Juni 2012. Sebuah mobil VW bernomor polisi S 74 MP yang dimodifikasi menjadi sebuah 'stamp car' terpajang lobi sebelum pintu masuk. Sementara 2 lukisan dari perangko bergambar Ratu Elizabeth dan Presiden RI ke-2 Soeharto terpajang disisi kanan dan kiri pintu masuk. Saya kemudian masuk ke dalam arena pameran. Di bagian informasi setelah pintu masuk, sebuah souvenir bertuliskan "Philatelic Passport" bisa didapatkan secara gratis.

Hari ini adalah hari terakhir sebuah pameran bertajuk "World Stamp Championship - Indonesia 2012" yang diselenggarakan di JCC Jakarta. Di Pameran ini, dipamerkan berbagai macam benda-benda pos khususnya perangko dan ada juga beberapa booth untuk barang-barang antik. Saya sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan perangko. Tujuan saya pergi ke pameran ini adalah untuk mencari kartu pos.

Ketika masuk ke dalam arena pameran, saya mendapat sebuah buku kecil bertuliskan Philatelic Passport. Buku ini berisi halaman-halaman dengan nama negara peserta pameran, lengkap dengan keterangan lokasi, jumlah penduduk, bahasa, dan tahun pertama kali perangko diterbitakan di negara tersebut. Setiap orang yang berkunjung, bisa membeli perangko di booth negara yang ia kehendaki. Kemudian ditempel pada Philatelic Passport di halaman yang sesuai dengan negara tempat perangko tersebut berasal. Lalu dapat dicap pos di stan negara tersebut. Rata-rata harga perangko seharga 5-10 ribu rupiah. Dan kalau tidak salah, ada sekitar 58 negara peserta.

Berkeliling dari booth ke booth seperti membuka wawasan baru bagi saya. Ternyata sebuah komunitas pecinta benda-benda pos (perangko, kartu pos dsb) yang di Indonesia dianggap hobi kuno, sepele dan buang-buang uang, ternyata masih mempunyai komunitas besar. Dunia memang semakin simple, kita bisa berkomunikasi dengan siapapun dengan orang di manapun dan di belahan dunia manapun dengan cepat karena perkembangan teknologi. Namun berkirim pesan dengan menggunakan media pos, perangko, kartu pos dan sebagainya tentu memiliki seni dan kesan yang lain dari pada yang lain. Memang, komunikasi model seperti ini sekarang lebih banyak sebagai hobi saja, bukan sebagai alat komunikasi yang utama.

Philatelic Passport
Sayangnya saya datang pada hari terakhir, sehingga ada beberapa booth yang sudah menutup lapaknya. Peserta pameran sebagian berasal langsung dari kantor pos negara-negara tersebut, namun ada juga yang hanya perwakilan agen. Saya kemudian berkeliling dan mendapatkan beberapa perangko yang saya beli dari negara-negara yang saya nilai unik. Di booth Arab Saudi saya mendapat sebuah perangko dengan harga Rp.3000. Sepertinya ini booth dengan harga perangko paling murah :)

perangko gambar kilang minyak dari Arab Saudi
Kemudian saya dapatkan perangko dari Korea Utara. Ya, Korea Utara membuka booth-nya pada pameran ini. Orang yang berjaga di booth, wajahnya dingin sekali, tanpa senyum sama sekali. Mungkin sedingin negara ini.

perangko Korea Utara
Ada beberapa negara Eropa yang ikut pameran ini. Namun saya tertarik dengan 3 negara Eropa Timur ini. Berharap suatu saat saya bisa sampai kesana. Sayang di booth Bulgaria tidak ada perangko bergambar Dimitar Berbatov :)

Azerbaijan

Belarus

Bulgaria
Ada juga booth dari Taiwan yang penjaganya ramah :)

Taiwan
Selain itu dapat pula perangko dari negara tetangga, Singapura. Saya suka gambar gedung yang ada di perangkonya.


Berbagai macam perangko ada dari belahan dunia manapun. Sayangnya, pameran yang diadakan di Indonesia ini relatif sepi pungunjung. Entah karena kurangnya minat tentang filateli atau karena kurang publikasi. Padahal entah berapa tahun lagi pameran ini akan diadakan di Indonesia kembali.

Salah satu yang menarik bagi saya adalah booth Korea Selatan. Petugas yang menunggu booth, sekilas mirip pemeran di serial drama Korea yang ditayangkan di Indonesia :)

booth Korea Selatan

Amplop spesial untuk pameran ini dari Korea Selatan
Dan yang paling ramai nampaknya booth Pos Indonesia.

Pos Indonesia
Ada banyak hal lucu, seperti salah satunya petugas di booth Singapura yang geleng-geleng kepala melihat leceknya uang kertas rupiah kita. Tapi memang benar sepertinya, uang kertas dinegara kita ini lecek-lecek, terlebih uang kertas kembalian dari bus, atau budaya orang tua yang sering menyelipakan uangnya dalam beha :D

Semoga ditahun-tahun mendatang ada pameran-pameran seperti ini lagi :)

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...