Selasa, 10 Juli 2012

Dieng, Di Akhir Juni..

"Tak ada yang lebih tabah.. Dari hujan bulan Juni.. Dirahasiakannya rintik rindunya.. Kepada pohon berbunga itu.." | Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

Sepenggal puisi berjudul 'Hujan Bulan Juni' dengan irangin musik akustik sayup-sayup saya dengarkan pagi ini. Ini hari terakhir di bulan Juni. Meskipun musikalisasi puisi itu bisa didengarkan kapan saja, tetapi saya lebih merasakan kesyahduan ketika mendengarnya di Bulan Juni. Tentu, besok tidak akan saya jumpai lagi kesyahduannya sampai bulan Juni tahun depan. Sekali lagi, ini hari terakhir di Bulan Juni. Bulan yang indah menurut saya. Karena kampung saya Wonosobo, sedang indah-indahnya. Hujan di bulan Juni yang digambarkan dalam puisi Sapardi hanya turun beberapa kali. 

Bulan Juni sampai September adalah puncak keindahan kampung ini. Musim kemarau memang menambah dingin suasana. Tetapi diantara dingin itu, setiap pagi kita bisa melihat pemandangan gunung yang cerah. Siangnya bisa melihat birunya langit, senja yang indah disore hari dan tentunya langit berbintang pada malam hari. Saya sangat menikmati keberadaan saya di kampung pada bulan-bulan antara Juni sampai September itu. Di luar bulan itu, Wonosobo lebih banyak turun hujan setiap harinya.

Pagi ini saya duduk di sebuah sudut alun-alun Wonosobo. Menunggu kedatangan teman-teman baru saya yang sedang dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Wonosobo. Teman baru yang saya kenal di jejaring twitter dan sebelumnya kami belum pernah bertemu. Jadi ini adalah pertemuan pertama kami. Kami kenal secara tidak sengaja di twitter karena kebetulan saya punya account twitter tentang 'Wonosobo' (account dirahasiakan hehe)  dan mereka juga punya account twitter untuk majalah online mereka The Travelist. Mereka datang dari Yogyakarta ke Wonosobo untuk menghadiri sebuah acara yang akan dilangsungkan di Dieng. Acara tahunan bertajuk Dieng Culture Festival III. Ini semacam acara ritual potong rambul gimbal (orang Wonosobo seperti saya menyebutnya 'rambut gembel'). Kami berjanjian untuk pergi bersama ke Dieng dalam 2 hari ini.

Tidak berselang lama, sampailah mereka di alun-alun Wonosobo. Untuk pertama kalinya kami bertemu. Dari perkenalan singkat secara langsung, saya mengenal mereka dengan nama Zy, Dino, dan Jombat. Mereka adalah mahasiswa dari sebuah universitas negeri di Yogyakarta. Dalam perjalanan ke Dieng bersama mahasiswa yang masih muda-muda ini tiba-tiba saya merasa menjadi tua. Padahal memang sudah tua sih ;)

Perjalanan dari alun-alun Wonosobo menuju Dieng yang berjarak 26 km kami isi dengan beberapa obrolan kecil. Cuaca sangat cerah pagi ini, langitnya biru, seperti langit-langit di luar Jawa. Zy, Dino dan Jombat pergi ke Dieng kali ini adalah memang untuk datang ke acara Dieng Culture Festival III yang akan diselenggarakan hari ini dan besok. Saya kemudian bertanya kepada mereka apakah mereka pernah ke Dieng sebelumnya. Dino baru pertama kali ini pergi ke Dieng, Jombat untuk kedua kalinya, dan Zy menjawab ragu antara kedua atau ketiga.

Dieng Culture Festival ini adalah sebuah acara ritual potong rambut anak gembel di Dataran Tinggi Dieng. Pemkab Banjarnegara membuatnya menjadi sebuah paket wisata dengan berbagai macam acara seperti jalan sehat, wayang kulit, hiburan musik dan tentunya acara inti yakni prosesi cukur rambut gembel. Acara ini dikemas agar menarik banyak wisatawan untuk hadir ke Dieng. Dataran Tinggi Dieng ada diperbatasan antara Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Namun orang lebih mengenal Dieng ada di Wonosobo karena kemudahan akses Dieng dari kota Wonosobo dibandingkan dari Banjarnegara. Acara Dieng Culture Festival III ini diselenggarakan oleh Pemkab Banjarnegara tanpa keikutsertaan Pemkab Wonosobo. Dalam pengelolaan Dieng, terlihat 2 kabupaten ini saling berebut restribusi.

Di tengah perjalanan, kami berhenti sejenak di gardu pandang Tieng. Dari gardu pandang di pinggir jalan antara Wonosobo - Dieng ini kami bisa melihat Gunung Sindoro dengan indahnya, serta dari kejauhan nampak puncak Gunung Merbabu, kalau tidak salah. Gardu pandang nampak ramai pagi ini, nampaknya acara Dieng Culture Festival ini menarik perhatian banyak wisatawan. Zy, Dino, dan Jombat sibuk mengabadikan pemandangan di bawah dengan foto. Hawa dingin mulai masuk disela-sela jaket yang saya kenakan.

Selepas dari gardu pandang Tieng, kami melanjutkan lagi perjalanan kami ke Dieng. Jalanan terus menanjak, pemandangan di luar hanya nampak lahan-lahan pertanian. Lahan pertanian disini bisa dibilang gila-gilaan. Mereka bertani bahkan sampai lereng-lereng bukit tanpa menyisakan hutan. Hawa dingin namun ladang-ladang petani itu nampak kering ditanami beraneka sayuran. Hal ini memang menjadi masalah di kawasan ini. Hutan habis untuk pertanian sehingga sering terjadi longsor dan menurunnya debit air Sungai Serayu (sungai terpanjang di Jawa Tengah) yang berhulu di Dieng. Menurunnya debit air ini hingga menyebabkan sedimentasi Waduk Mrican di Banjarnegara yang mengairi irigasi pertanian untuk Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga dan sekitarnya serta digunakan sebagai pembangkit listrik.

Tak berapa lama kemudian sampailah kami di Dieng. Matahari panas menyengat meski udara tetap dingin. Kami langsung menuju Dieng Theater. Dieng Theater adalah sebuah tempat pemutaran film dokumenter tentang Dieng. Lokasinya di atas bukit, persis diatas Telaga Warna. Di Dieng Theater kami parkir untuk kemudian berhenti sebentar membeli minum dan tempe kemul. Jombat dengan candaannya terus menerus menyuruh Dino untuk mencoba purwaceng. Haha. Mereka berdua selalu bercanda, candaan mereka nampak asik, dan kami menikmatinya.

Dari Dieng Theater kami kemudian berjalan mengikuti jalan setapak ke Telaga Warna. Jalan setapak ini turun ke arah Telaga Warna. Tidak terhitung berapa jumlah anak tangganya, namun kami menikmatinya karena sambil jalan kami bisa melihat pemandangan Telaga Warna dari atas bukit. Trik ini sebenarnya juga dipakai untuk masuk ke Telaga Warna tanpa lewat pintu masuk agar tidak perlu membayar restribusi hehe. Tapi perkiraan saya salah, karena hari ini ramai pengunjung, sehingga ada petugas yang menarik restribusi di ujung jalan setapak ini sebelum sampai Telaga Warna. Tau gitu tadi langsung lewat depan Telaga Warna aja biar tidak perlu jalan hehe. Padahal berulangkali pergi ke Dieng, trik ini sudah saya coba dengan sukses. Tapi kali ini memang harus membayar :P

Telaga Warna nampak sangat indah hari ini. Mungkin karena matahari yang terik sehingga pantulannya membuat warna di telaga berwarna lebih indah. Memang tidak seindah warna-warni telaga yang saya lihat waktu saya masih kecil, namun setidaknya ini lebih baik dibandingkan warna telaga yang biasanya cuma hijau. Benar memang, acara Dieng Culture Festival yang bertepatan dengan liburan anak sekolah membuat tempat ini jauh lebih ramai dibandingkan dengan sebelumnya.

Selepas dari Telaga Warna kami jalan kaki lagi ke atas bukit untuk kembali ke Dieng Theater mengambil kendaraan. Jalan yang menanjak membuat saya ngos-ngosan. Ingin menyalahkan diri yang jarang olahraga namun pembelaan diri selalu menyebut ini karena faktor U, Usia. Sampai diatas, kami langsung duduk melepas lelah. Jarang keringat bisa keluar di sini. Dino nampak tidak punya lelah, tetap hilir mudik kesana kemari mengumpulkan beberapa bunga yang ia rangkai untuk kemudian (katanya) ingin ia larung di kawah. Anak muda sekarang memang gampang galau. Hahaha

Dari Dieng Theater kami melanjutkan perjalanan ke Komplek Candi Dieng. Sesampai di Candi Dieng, banyak sekali keramaian di sini. Nampaknya, rangkaian acara jalan santai baru selesai. Ada pembagian doorprize dan segala macamnya. Ada beberapa balon udara yang besar-besar, sehingga saking besarnya harus dipegang oleh banyak orang. Sekalinya bisa terbang, ketika Bupati sedang foto didepannya, balon terlepas dari kontrol orang-orang yang memegangnya.

Zy kemudian mengurus akses untuk mendapatkan tanda pengenal pers dari panitia agar dapat melihat prosesi cukur rambut gembel besok dengan lebih dekat. Ada juga tanda peserta yang bisa didapatkan dengan harga Rp.25.000 agar masyarakat umum selain pers bisa melihat dengan jelas prosesi potong rambut besok secara eksklusif lebih dekat. Setelah mendapat tanda pengenal untuk acara besok, kami kemudian pergi ke Kawah Sikidang. Dengan sedikit trik, kami bisa masuk ke Kawah Sikidang dengan gratis. Tindakan tidak terpuji hahaha

Di dalam kawasan Kawah Sikidang banyak sekali orang yang datang. Dari nomor kendaraannya, nampaknya mereka berdatangan dari luar kota. Dino dan Jombat lalu mendekat ke pinggir kawah. Saya dan Zy memilih duduk di pasar kecil sebelum masuk ke kawahnya. Bau belerang menyengat di tempat ini.

Selepas dari Kawah Sikidang kami pergi putar-putar Dieng untuk mencari makan siang. Tidak ketemu yang cocok, kami akhirnya memutuskan untuk turun ke Wonosobo lagi. Dalam perjalanan kami memutuskan untuk mampir ke Telaga Menjer, sebuah telaga berjarak kira-kira 12 km dari pusat kota Wonosobo. Saya bilang ke Jombat bahwa ini salah satu tempat paling romantis di Wonosobo. Sayangnya sampai di telaga cuaca mendung, sedangkan perahu rakit sewaan yang biasanya melayani jasa keliling telaga sudah tidak beroperasi karena hari sudah sore. Dari Telaga Menjer kami kemudian balik lagi ke alun-alun Wonosobo.

Di alun-alun Wonosobo kami menunggu teman saya dari Purwokerto, Hilmy dan Rini yang besok juga ingin datang juga ke Dieng Culture Festival. Alun-alun Wonosobo yang sejuk, bersih dan ada layanan free wifi lumayan nyaman sebagai tempat menunggu. Selepas maghrib, Hilmy dan Rini sampai di alun-alun Wonosobo. Kini rombongan ini menjadi 6 orang. Hilmy, Rini, Zy, Dino, Jombat dan saya. Dari alun-alun kemudian kami pergi ke sebuah tempat ngopi yang sepi di sebelah timur alun-alun. Kurang nyaman di tempat ini, kami kemudian pindah lagi ke sebuah kedai kopi di utara alun-alun Wonosobo. Sempat ngobrol dengan pemilik kedai kopi yang menyambut kami dengan antusias.

Tak lama kami kemudian beranjak pulang.. zzzttzztttt...

Hari ke-2..

Pagi ini suasana seperti hari-hari sebelumnya, dingin. Seperti biasa, hawa dingin di pagi hari lebih dingin dibandingkan malam hari. Kabut masih tipis-tipis nampak menyelimuti Sindoro dan Sumbing. Ditempat yang berjarak 35 km dari Dieng saja sudah sedingin ini apalagi yang menginap di Dieng ya. Badan rasanya masih ingin berselimut rapat-rapat namun acara di Dieng juga sayang untuk dilewatkan. Kami berenam kemudian bersiap untuk kembali ke Dieng lagi. Jam belum beranjak dari pukul 7 pagi ketika kami berangkat.

Jalanan kota Wonosobo masih sepi ketika kendaraan yang kami naiki melaju ke Dieng. Cuaca tidak secerah hari kemarin, tetapi tanpa bermaksud mendahului ketentuan Tuhan, hari ini kami optimis tidak akan hujan. Gunung Sindoro nampak kokoh menyambut di sisi kanan ketika kami naik perlahan menuju Dieng. Sesampai di Dieng, dingin langsung kami rasakan lebih dingin dibandingkan di Wonosobo. Brrrr.

Kami kemudian pergi ke tempat dimana iring-iringan anak rambut gembel akan diarak keliling desa untuk kemudian melakukan prosesi potong rambut gembel di komplek Candi Dieng. Di tempat ini sudah banyak sekali orang lengkap dengan peralatan untuk memotret. Sambil menunggu iring-iringan ini dimulai, saya berbincang dengan beberapa warga setempat. "Semalam penuh mas, perayaan tahun ini sangat ramai lho dibanding tahun-tahun lalu. Semua rumah penduduk penuh, bahkan sampai ada yang tidak kebagian penginapan" kata seorang ibu.

Iring-iringan rambut gembel terdiri dari anak rambut gembel disertai orang tuanya naik andong, diiringi dengan sesepuh desa dengan pakaian tradisional lengkap dengan uborampe-nya. Dibelakang mereka ada juga kesenian-kesenian khas Dieng. Banyaknya orang yang datang untuk mengabadikan moment terbaik membuat acara ini berkurang kesakralannya, karena setiap orang berebut untuk mengambil foto dari sudut terbaiknya. Setiap orang memang berhak menikmati acara sekaligus mencari moment yang terbaik menurutnya. Namun seharusnya respek terhadap sakralnya acara tetap harus dijaga.

Iring-iringan kemudian berjalan keliling desa untuk mencapai kompleks Candi Dieng, tempat berlangsungnya prosesi potong rambut gembel. Sesampai di komplek Candi Dieng, ternyata area untuk pers, peserta dengan tanda pengenal, dan masyarakat umum sudah terbagi-bagi. Masyarakat umum tanpa tanda pengenal peserta dilarang masuk dan hanya bisa melihat acara dari luar area yang sudah dibatasi oleh kain putih. Maksud panitia memang bagus untuk mengatur berjalannya area. Namun menjadi hal yang lucu kalau masyarakat setempat dalam hal ini masyarakat Dieng (yang sejatinya sebagai pemilik acara) tidak punya akses untuk membayar 25 ribu hanya bisa melihat dari kejauhan. Miris.

Acara di bawah terik matahari ini pun menjadi berkurang kesakralannya ketika kemudian kain pembatas itu sudah jebol tanpa panitia bisa mencegahnya. Ribuan orang kemudian berbaur penuh sesak ingin mengabadikan acara ini. Suasana menjadi semrawut ketika orang mulai saling berdesak-desakan tanpa mengindahkan sakralnya tradisi.Terik matahari yang panas semakin menambah suasana yang riuh rendah karena banyaknya pengunjung berdesakan.

Saya tidak bisa menikmati sakralnya acara ini, sebuah acara yang ketika saya kecil bermakna sangat indah bercampur dengan tradisi dan filosofi masyarakat lereng Dieng. 

Kemudian kami beranjak keluar dari acara untuk kembali ke Wonosobo. Dieng yang biasanya tidak mengenal macet, kali ini macet karena tumpah ruah wisatawan. Saya, Zy, Dino, Jombat, Hilmy dan Rini kemudian beranjak turun ke Wonosobo. Sempat makan siang sebentar ke alun-alun, kemudian kami mampir ke rumah mas Farid Gaban.

Di rumah mas Farid kami banyak berinteraksi berbagai macam hal. Mas Farid, jurnalis senior ini punya cerita yang tidak ada habisnya. Dari masalah pertanian, politik, sistem sosial, koperasi serta pengamannya keliling Indonesia. Kami beruntung bisa berinteraksi langsung dengan beliau. Apalagi suasana rumah mas Farid yang nyaman, dengan kolam ikan disamping dan pemandangan sawah serta bukit yang dihiasi sungai di belakangnya. Kami duduk menghabiskan sore dengan lesehan di belakang rumahnya. Suasana nyaman yang tidak bisa saya dapatkan di Jakarta.

Hilmy menuliskan dalam blognya seperti ini :

di sore yang cerah seperti ini, ilmu rasanya berdatangan, seperti sinar matahari yang menerobos dari sela-sela daun. ya, sore itu, aku dan teman-teman seperti ketiban berkah. bisa mengunjungi mantan wartawan tempo, yang sudah keliling indonesia dengan berjuta pengalaman, ilmu dan hikmah, dan dirumahnya pula. ya, mas farid gaban. kami bertemu beliau di rumahnya, diwonosobo. wow!

aku datang bersama teman-teman trip Dieng. ada adhi, zy, rini, jo dan dino. kami asyik ngobrol ngalor ngidul. dari aktivitas mas farid gaban, pertanian, sistem sosial, konsep hidup, masa remaja, filosofi hidup, petualangan, hingga politik. ah, sangat menarik sekali, sayang, kami tak bawa perekam suara.

lebih indah lagi sebenarnya suasana yang khidmat. sore yang indah, lesehan santai di belakang rumah, melihat bukit, pohon, dan mendengarkan suara gemericik kali di suangai belakang rumah. ah, mahal sekali nampaknya.

ditemani dengan jajanan super banyak. apalagi sesudah itu makanan berat datang, ternyata mas farid gaban sudah menyiapkan sedari tadi. nasi jagung dan teman-temannya. ada lodeh daun lumbu (keladi), lodeh tempe dan ikan asin. ay, dunia, apalagi yang kucari boi!

aku mendapatkan banyak hikmah disini, mas farid gaban membagikan ilmu seperti tak pernah ada habisnya. 

"simple living", kata beliau. ini begitu berkesan bagiku. apalagi diperkuat dengan interaksi kami, cara dia melayani tamu, konsep rumah, pemikiran dan idealisme. 

ya, yang seperti ini yah..
Menjelang maghrib kami pamit. Sebelum pamit kami sempat ditunjukkan beberapa koleksi fotonya, dan tidak lupa kami minta foto bareng :)

dicopy dari kameranya Dino...

Selepas mengantar saya pulang ke rumah, Hilmy dan Rini pamit pulang ke Purwokerto. Zy, Dino dan Jombat kemudian juga pamit pulang ke Yogyakarta. Suasana menjadi sepi. Dingin musim kemarau mulai terasa lagi.  Sayup-sayup saya dengarkan lagi puisi Sapardi, "Tak ada yang lebih bijak.. Dari hujan bulan Juni.. Dihapusnya jejak-jejak kakinya.. Yang ragu-ragu di jalan itu".

Ah, ini sudah bulan Juli.. 1 Juli 2012.

4 komentar:

Journal Kinchan mengatakan...

sedihnya, saya gajadi ikut zy ke Dieng gara2 ada kerjaan. dan saya iri banget kalian bisa ketemu Mas Farid Gaban! semoga saya dikasih kesempatan besok buat mengunjungi Dieng yang cantik ini :)

Ginanjar A Yuwana mengatakan...

@Journal Kinchan Ya, harus ke Dieng, sebelum cantiknya semakin lama semakin pudar.. Kayaknya Zy juga akan mengundang beliau ke acaranya The Travelist di Jogja lho..

Hilmy Nugraha mengatakan...

kapan ke farid gaban lagi?

Rizky mengatakan...

nice trip nih...

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...