Senin, 30 Juli 2012

Singgah ke Samosir

*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (18)

kelanjutan dari : Semalam Diantara Padang - Parapat


samosir!


Bus jurusan Medan – Padang ini terus berjalan menembus pagi. Dari kampung ke kampung dilewati, pemandangan pedesaan di Sumatra Utara ini sungguh membuat perasaan hati jauh lebih nyaman. Hilmy dan Melyn yang duduk di depan saya juga sudah bangun. Hilmy kemudian sibuk dengan peta yang ia bawa. 

Tak lama kemudian, bus berbelok ke dalam sebuah terminal yang tidak jelas papan petunjuknya. Bus berhenti dan kondektur bus bergegas turun. Kondektur bus memanggil seorang laki-laki muda yang sedang duduk di depan biro wisata yang ada di terminal. Kami sendiri masih ragu apakah kami sudah sampai di Parapat atau belum. Lelaki muda tadinya duduk di depan biro wisata itu kemudian naik ke dalam bus. Ia memberitau dengan bahasa Inggris yang fasih kepada seorang Marco bahwa ini sudah sampai di Parapat.

Saya, Hilmy dan Melyn kemudian turun mengemas barang bawaan kami. Marco dan Vera juga turun disini. Tas-tas yang besar diturunkan dari bagasi. Ternyata dari Terminal Parapat menuju dermaga ke Danau Toba kami harus menggunakan angkot. Sebuah angkot datang mendekat dan menawarkan jasanya menuju ke pelabuhan. Melyn yang orang Medan sudah merasa sampai di kampung halamannya. “Opung, berapa sampai ke pelabuhan?” tanya Melyn kepada laki-laki tua yang menjadi pengemudi angkot. “Tiga ribu” pengemudi angkot menjawab dengan sangat lempeng, hampir tanpa ekspresi.

Saya, Hilmy dan Melyn kemudian naik ke dalam angkot. Diikuti Marco, Vera serta 2 orang Inggris yang tadi ikut bus ALS itu. Angkot terisi 6 penumpang namun rasanya sudah sesak sekali. Barang bawaan kami berenam nampaknya besar-besar. Kami maklum dengan bawaan mereka yang besar mengingat perjalanan mereka yang berbulan-bulan.

Tak sampai 10 menit sampailah kami di Pelabuhan Tigaraja, Parapat. Parapat ini masuk wilayah Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara. Pelabuhan ini ramai karena ini adalah jalur penghubung menuju ke Pulau Samosir. Di sekitar pelabuhan ada sebuah pasar dan beberapa biro jasa wisata. Turun dari angkot kami langsung ‘diserbu’ penawaran jasa penginapan baik di Parapat maupun di Tuktuk. Kami berusaha menolak karena kami tidak akan menginap malam ini.

Seorang opung yang menyuruh kami untuk masuk ke dalam kantornya yang sudah dipenuhi banyak wisatawan asing. Tak menyerah karena kami menolak penawaran penginapan yang ditawarkan, ia menawarkan jasa travel untuk perjalanan kami ke Medan nanti malam.

Di Pelabuhan kami naik ke sebuah kapal yang bertujuan Tuktuk di Pulau Samosir. Di kapal kami bertemu lagi dengan Vera dan Marco. Pemandangan Danau Toba yang baru pertama kali saya kunjungi ini sungguh indah. Cuaca yang sangat cerah menghiasi perbukitan di Samosir yang khas dengan cemaranya. 

penyeberangan tigaraja

ornamen pada kapal parapat-tuktuk

hilmy, saya, melyn, vera, dan marco


Di depan, Pulau Samosir terbentang begitu besarnya. Kapal kemudian perlahan mulai berjalan ‘membelah’ Danau Toba, danau terbesar di Asia Tenggara. Saya sangat bersyukur bisa sampai di tempat yang indah ini. Perjalanan dari Parapat ke Tuktuk ditempuh dalam waktu kurang dari 1 jam.
Di atas kapal, kami bertiga banyak berbincang dengan Vera dan Marco. Tentang pengalaman perjalanan mereka ke Asia Tenggara. Yang saya salut dari mereka adalah kuatnya riset. Mereka tau bahwa meskipun Indonesia mayoritas penduduknya muslim, penduduk disekitar Danau Toba ini adalah nonmuslim. Selain itu jauh-jauh hari mereka sudah memesan penginapan di Tuktuk. 

Mereka traveler yang tidak menghitung jumlah destinasi namun focus untuk menikmati interaksi terhadap tempat yang mereka kunjungi. Hal ini berbeda dengan kami, pejalan pemula yang terobsesi mendatangi banyak tempat namun kadang jauh dari interaksi dengan tempat yang kami kunjungi.
Semakin lama, Pulau Samosir semakin dekat. Dari kejauhan kami melihat perkampungan di Samosir dengan cemara-cemaranya. Di tebing sebuah bukit ada tulisan Samosir. Mungkin seperti tulisan “Hollywood” di Hollywood Hills.

Kami mengira di Tuktuk adalah sebuah pelabuhan. Nampaknya kami yang kurang mencari informasi sebelum keberangkatan menjadi kecele. Tuktuk adalah sebuah perkampungan dengan banyak hotel persis di pinggir Danau Toba. Di Tuktuk, kapal akan berhenti di depan hotel-hotel yang persis ada di pinggir Danau Toba. Jadi setiap hotel yang di pinggir danau semacam mempunyai ‘dermaga’ sendiri-sendiri. 

tomok dari kejauhan, dengan gereja tua yang menjulang

parapat dari kejauhan

tomok dan bukit-bukitnya

di atas kapal menuju tuktuk

'kondektur' kapal dengan pemandangan hotel-hotel tuktuk di depannya


Vera dan Marco yang tadi bersama kami juga sudah turun di sebuah hotel. Kami berpamitan ketika mereka harus turun setelah melewati perjalanan bersama dari Bukittinggi. Kami kemudian berbagi alamat jejaring sosial untuk tetap saling berkomunikasi.

Sebagian penumpang sudah turun di hotel-hotel yang mereka tuju. Kini giliran kami yang bingung akan turun dimana. Akhirnya kami turun di tempat perhentian terakhir kapal. Bukan di sebuah pelabuhan, namun di belakang rumah yang persis ada di tepi Danau Toba. Dari belakang rumah itu kami berjalan melalui sebuah jalan setapak kecil menuju ke jalan besar.

Di sebuah jalan yang agak besar dengan kondisi yang rusak, kami berjalan tak tentu arah. Yang penting kami sudah sampai di Samosir pikir kami. Ketika kami berjalan, saya berandai-andai ke Hilmy dan Melyn. “Andaikan di depan kita tiba-tiba ada persewaan sepeda atau motor ya”. Baru beberapa detik kalimat pengandaian itu keluar, di depan sebuah tanjakan yang kami lewati tiba-tiba ada sebuah toko dan persewaan sepeda motor di kiri jalan. Tuhan maha baik.

Seorang ibu menyambut kami dengan sumringah. Di depan tokonya di pinggir jalan perkampungan Tuktuk, ia menawarkan sewa sepeda motor kepada kami. “Tidak mahal, ini murah karena minyak sekarang susah didapat” ibu itu bergeming ketika kami menawar biaya sewa sepeda motor agar murah. Setelah tercapai kesepakatan biaya sewa, kami menitipkan tas-tas kami di toko milik ibu ini. “Tidak disertai STNK? Nanti kalau ada polisi bagaimana?” tanya Hilmy. Ibu pemilik sepeda motor menjawab “Tidak apa-apa, kalau polisi bilang saja kalian turis”

Sebelum pergi, Hilmy kembali bertanya “Bu, di sini tempat yang paling bagus view-nya dimana?”. Ibu ini menjawab dengan lantang dan tanpa ekspresi, namun menurut saya sangat mantap. “Semua tempat disini bagus, kalau tidak bagus bukan Samosir namanya!”. Tegas. Mantap.

Dari tempat persewaan,  kami kemudian pergi ke daerah Tomok. Sebuah perkampungan yang mengingatkan saya akan desa-desa yang digambarkan pada buku-buku dongeng ketika saya masih kecil. Dengan perbukitan hijau, jalanan yang sepi dan gereja-gerejanya. Di Tomok ini pula terdapat berbagai makam dan benda-benda peninggalan zaman megalitik dan purba. Berdiri di depan sebuah rumah adat besar yang ada di Tomok membuat kami terpukau dengan kebudayaan disini.

Berputar-putar diantara Tomok dengan Tuktuk dengan jalan yang ada di tepian Danau Toba membuat kami mengiyakan kenapa banyak wisatawan dari luar negeri datang kesini. Mungkin tidak seindah beberapa puluh tahun silam, namun bagi kami ini salah satu keindahan yang orang Indonesia akan rugi jika melewatkan. 

buku bacaan kami di jalan untuk mengusir suntuk

saya, melyn dan hilmy

selamat datang di samosir!

rumah adat di tomok


Setelah putar-putar tak tentu arah dan hanya duduk-duduk di tepian Danau Toba melihat lalu lalang kapal, menjelang sore kami mengembalikan motor dan mengambil tas kami. Kami berencana untuk kembali ke Parapat lagi. Kami duduk disebuah dermaga pinggir danau di untuk menunggu kapal menuju Parapat yang lewat.

Beberapa anak kecil nampak mandi dan mencuci di pinggir danau. Cuaca yang panas terik membuat saya, Hilmy dan Melyn lebih banyak duduk di bawah pohon sambil mengamati anak-anak kecil ini mandi. Kapal tak kunjung lewat, sementara air danau menarik-narik kami untuk merasakan kesegarannya. Hilmy mengajak saya untuk berenang di danau. Panas terik dan dahaga karena puasa menjadikan saya tak kuasa untuk menolaknya. Kami turun ke danau dan mandi di tengah terik matahari siang. Rasanya begitu menyegarkan namun seketika muka kami menjadi belang-belang. 

menunggu kedatangan kapal


Celana masih basah karena berenang ketika kapal kemudian lewat, Melyn segera memberi aba-aba agar kapal merapat karena kami akan naik. Dengan celana yang masih basah, saya dan Hilmy kemudian naik ke kapal. Saking panasnya matahari, baru beberapa saat masuk ke kapal, celana saya perlahan-lahan kering dengan sendirinya. Kapal kemudian banyak berhenti untuk menaikkan penumpang di depan hotel-hotel di sekitar Tuktuk. Rasa segar setelah mandi di danau membuat saya mengantuk. Saya tertidur di dalam kapal, sementara Hilmy sibuk jalan-jalan di bagian atas kapal.

Sesampai di Parapat kami bergegas pergi ke kamar mandi umum yang ada di pasar untuk mandi dan  berganti pakaian. Berenang di danau dengan kondisi cuaca yang sangat terik membuat kulit mulai bersisik. Saya ingin cepat-cepat mandi dengan air yang bersih. Air mengalir dengan deras di bak kamar mandi. Saya penasaran dari mana datangnya air deras ini, sedangkan ibu-ibu di Samosir yang sempa kami temui tadi mengeluh kekurangan air bersih disana. Selepas mandi saya kemudian berjalan menuju belakang kamar mandi untuk menghilangkan penasaran saya dari mana datangnya air disini. Nampaknya sebuah selang tersambung menuju ke danau. Berarti air yang mengalir deras ke bak tadi berasal dari air danau juga. Kalau gitu tidak ada bedanya saya mandi di danau sama mandi di kamar mandi umum dong. Sama-sama air danau. Ah, sudahlah.

1 komentar:

the note mengatakan...

lanjutannya gimana gan?.. kapan nyampe jakartalagi?..

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...