kelanjutan dari : Semalam Diantara Padang - Parapat
samosir! |
Bus jurusan Medan – Padang ini terus
berjalan menembus pagi. Dari kampung ke kampung dilewati, pemandangan pedesaan
di Sumatra Utara ini sungguh membuat perasaan hati jauh lebih nyaman. Hilmy dan
Melyn yang duduk di depan saya juga sudah bangun. Hilmy kemudian sibuk dengan
peta yang ia bawa.
Tak lama kemudian, bus berbelok ke dalam
sebuah terminal yang tidak jelas papan petunjuknya. Bus berhenti dan kondektur
bus bergegas turun. Kondektur bus memanggil seorang laki-laki muda yang sedang
duduk di depan biro wisata yang ada di terminal. Kami sendiri masih ragu apakah
kami sudah sampai di Parapat atau belum. Lelaki muda tadinya duduk di depan
biro wisata itu kemudian naik ke dalam bus. Ia memberitau dengan bahasa Inggris
yang fasih kepada seorang Marco bahwa ini sudah sampai di Parapat.
Saya, Hilmy dan Melyn kemudian turun
mengemas barang bawaan kami. Marco dan Vera juga turun disini. Tas-tas yang
besar diturunkan dari bagasi. Ternyata dari Terminal Parapat menuju dermaga ke
Danau Toba kami harus menggunakan angkot. Sebuah angkot datang mendekat dan
menawarkan jasanya menuju ke pelabuhan. Melyn yang orang Medan sudah merasa
sampai di kampung halamannya. “Opung, berapa sampai ke pelabuhan?” tanya Melyn
kepada laki-laki tua yang menjadi pengemudi angkot. “Tiga ribu” pengemudi
angkot menjawab dengan sangat lempeng, hampir tanpa ekspresi.
Saya, Hilmy dan Melyn kemudian naik ke
dalam angkot. Diikuti Marco, Vera serta 2 orang Inggris yang tadi ikut bus ALS
itu. Angkot terisi 6 penumpang namun rasanya sudah sesak sekali. Barang bawaan
kami berenam nampaknya besar-besar. Kami maklum dengan bawaan mereka yang besar
mengingat perjalanan mereka yang berbulan-bulan.
Tak sampai 10 menit sampailah kami di
Pelabuhan Tigaraja, Parapat. Parapat ini masuk wilayah Kabupaten Simalungun,
Sumatra Utara. Pelabuhan ini ramai karena ini adalah jalur penghubung menuju ke
Pulau Samosir. Di sekitar pelabuhan ada sebuah pasar dan beberapa biro jasa
wisata. Turun dari angkot kami langsung ‘diserbu’ penawaran jasa penginapan
baik di Parapat maupun di Tuktuk. Kami berusaha menolak karena kami tidak akan
menginap malam ini.
Seorang opung yang menyuruh kami untuk
masuk ke dalam kantornya yang sudah dipenuhi banyak wisatawan asing. Tak
menyerah karena kami menolak penawaran penginapan yang ditawarkan, ia
menawarkan jasa travel untuk perjalanan kami ke Medan nanti malam.
Di Pelabuhan kami naik ke sebuah kapal
yang bertujuan Tuktuk di Pulau Samosir. Di kapal kami bertemu lagi dengan Vera
dan Marco. Pemandangan Danau Toba yang baru pertama kali saya kunjungi ini
sungguh indah. Cuaca yang sangat cerah menghiasi perbukitan di Samosir yang
khas dengan cemaranya.
penyeberangan tigaraja |
ornamen pada kapal parapat-tuktuk |
hilmy, saya, melyn, vera, dan marco |
Di depan, Pulau Samosir terbentang
begitu besarnya. Kapal kemudian perlahan mulai berjalan ‘membelah’ Danau Toba, danau
terbesar di Asia Tenggara. Saya sangat bersyukur bisa sampai di tempat yang
indah ini. Perjalanan dari Parapat ke Tuktuk ditempuh dalam waktu kurang dari 1
jam.
Di atas kapal, kami bertiga banyak
berbincang dengan Vera dan Marco. Tentang pengalaman perjalanan mereka ke Asia
Tenggara. Yang saya salut dari mereka adalah kuatnya riset. Mereka tau bahwa
meskipun Indonesia mayoritas penduduknya muslim, penduduk disekitar Danau Toba
ini adalah nonmuslim. Selain itu jauh-jauh hari mereka sudah memesan penginapan
di Tuktuk.
Mereka traveler yang tidak menghitung jumlah destinasi namun focus untuk
menikmati interaksi terhadap tempat yang mereka kunjungi. Hal ini berbeda
dengan kami, pejalan pemula yang terobsesi mendatangi banyak tempat namun
kadang jauh dari interaksi dengan tempat yang kami kunjungi.
Semakin lama, Pulau Samosir semakin
dekat. Dari kejauhan kami melihat perkampungan di Samosir dengan
cemara-cemaranya. Di tebing sebuah bukit ada tulisan Samosir. Mungkin seperti
tulisan “Hollywood” di Hollywood Hills.
Kami mengira di Tuktuk adalah sebuah
pelabuhan. Nampaknya kami yang kurang mencari informasi sebelum keberangkatan
menjadi kecele. Tuktuk adalah sebuah
perkampungan dengan banyak hotel persis di pinggir Danau Toba. Di Tuktuk, kapal
akan berhenti di depan hotel-hotel yang persis ada di pinggir Danau Toba. Jadi
setiap hotel yang di pinggir danau semacam mempunyai ‘dermaga’ sendiri-sendiri.
tomok dari kejauhan, dengan gereja tua yang menjulang |
parapat dari kejauhan |
tomok dan bukit-bukitnya |
di atas kapal menuju tuktuk |
'kondektur' kapal dengan pemandangan hotel-hotel tuktuk di depannya |
Vera dan Marco yang tadi bersama kami
juga sudah turun di sebuah hotel. Kami berpamitan ketika mereka harus turun
setelah melewati perjalanan bersama dari Bukittinggi. Kami kemudian berbagi
alamat jejaring sosial untuk tetap saling berkomunikasi.
Sebagian penumpang sudah turun di
hotel-hotel yang mereka tuju. Kini giliran kami yang bingung akan turun dimana.
Akhirnya kami turun di tempat perhentian terakhir kapal. Bukan di sebuah
pelabuhan, namun di belakang rumah yang persis ada di tepi Danau Toba. Dari
belakang rumah itu kami berjalan melalui sebuah jalan setapak kecil menuju ke
jalan besar.
Di sebuah jalan yang agak besar dengan
kondisi yang rusak, kami berjalan tak tentu arah. Yang penting kami sudah
sampai di Samosir pikir kami. Ketika kami berjalan, saya berandai-andai ke
Hilmy dan Melyn. “Andaikan di depan kita tiba-tiba ada persewaan sepeda atau
motor ya”. Baru beberapa detik kalimat pengandaian itu keluar, di depan sebuah
tanjakan yang kami lewati tiba-tiba ada sebuah toko dan persewaan sepeda motor
di kiri jalan. Tuhan maha baik.
Seorang ibu menyambut kami dengan sumringah. Di depan tokonya di pinggir
jalan perkampungan Tuktuk, ia menawarkan sewa sepeda motor kepada kami. “Tidak
mahal, ini murah karena minyak sekarang susah didapat” ibu itu bergeming ketika
kami menawar biaya sewa sepeda motor agar murah. Setelah tercapai kesepakatan
biaya sewa, kami menitipkan tas-tas kami di toko milik ibu ini. “Tidak disertai
STNK? Nanti kalau ada polisi bagaimana?” tanya Hilmy. Ibu pemilik sepeda motor
menjawab “Tidak apa-apa, kalau polisi bilang saja kalian turis”
Sebelum pergi, Hilmy kembali bertanya “Bu,
di sini tempat yang paling bagus view-nya
dimana?”. Ibu ini menjawab dengan lantang dan tanpa ekspresi, namun menurut saya
sangat mantap. “Semua tempat disini bagus, kalau tidak bagus bukan Samosir
namanya!”. Tegas. Mantap.
Dari tempat persewaan, kami kemudian pergi ke daerah Tomok. Sebuah
perkampungan yang mengingatkan saya akan desa-desa yang digambarkan pada
buku-buku dongeng ketika saya masih kecil. Dengan perbukitan hijau, jalanan
yang sepi dan gereja-gerejanya. Di Tomok ini pula terdapat berbagai makam dan benda-benda
peninggalan zaman megalitik dan purba. Berdiri di depan sebuah rumah adat besar
yang ada di Tomok membuat kami terpukau dengan kebudayaan disini.
Berputar-putar diantara Tomok dengan
Tuktuk dengan jalan yang ada di tepian Danau Toba membuat kami mengiyakan
kenapa banyak wisatawan dari luar negeri datang kesini. Mungkin tidak seindah
beberapa puluh tahun silam, namun bagi kami ini salah satu keindahan yang orang
Indonesia akan rugi jika melewatkan.
buku bacaan kami di jalan untuk mengusir suntuk |
saya, melyn dan hilmy |
selamat datang di samosir! |
rumah adat di tomok |
Setelah putar-putar tak tentu arah dan
hanya duduk-duduk di tepian Danau Toba melihat lalu lalang kapal, menjelang
sore kami mengembalikan motor dan mengambil tas kami. Kami berencana untuk
kembali ke Parapat lagi. Kami duduk disebuah dermaga pinggir danau di untuk
menunggu kapal menuju Parapat yang lewat.
Beberapa anak kecil nampak mandi dan
mencuci di pinggir danau. Cuaca yang panas terik membuat saya, Hilmy dan Melyn
lebih banyak duduk di bawah pohon sambil mengamati anak-anak kecil ini mandi.
Kapal tak kunjung lewat, sementara air danau menarik-narik kami untuk merasakan
kesegarannya. Hilmy mengajak saya untuk berenang di danau. Panas terik dan
dahaga karena puasa menjadikan saya tak kuasa untuk menolaknya. Kami turun ke
danau dan mandi di tengah terik matahari siang. Rasanya begitu menyegarkan
namun seketika muka kami menjadi belang-belang.
menunggu kedatangan kapal |
Celana masih basah karena berenang
ketika kapal kemudian lewat, Melyn segera memberi aba-aba agar kapal merapat
karena kami akan naik. Dengan celana yang masih basah, saya dan Hilmy kemudian
naik ke kapal. Saking panasnya matahari, baru beberapa saat masuk ke kapal,
celana saya perlahan-lahan kering dengan sendirinya. Kapal kemudian banyak
berhenti untuk menaikkan penumpang di depan hotel-hotel di sekitar Tuktuk. Rasa
segar setelah mandi di danau membuat saya mengantuk. Saya tertidur di dalam
kapal, sementara Hilmy sibuk jalan-jalan di bagian atas kapal.
Sesampai di Parapat kami bergegas pergi
ke kamar mandi umum yang ada di pasar untuk mandi dan berganti pakaian. Berenang di danau dengan
kondisi cuaca yang sangat terik membuat kulit mulai bersisik. Saya ingin
cepat-cepat mandi dengan air yang bersih. Air mengalir dengan deras di bak
kamar mandi. Saya penasaran dari mana datangnya air deras ini, sedangkan
ibu-ibu di Samosir yang sempa kami temui tadi mengeluh kekurangan air bersih
disana. Selepas mandi saya kemudian berjalan menuju belakang kamar mandi untuk
menghilangkan penasaran saya dari mana datangnya air disini. Nampaknya sebuah
selang tersambung menuju ke danau. Berarti air yang mengalir deras ke bak tadi
berasal dari air danau juga. Kalau gitu tidak ada bedanya saya mandi di danau
sama mandi di kamar mandi umum dong.
Sama-sama air danau. Ah, sudahlah.
1 komentar:
lanjutannya gimana gan?.. kapan nyampe jakartalagi?..
Posting Komentar