Senin, 05 Oktober 2015

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015

Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang tersisa. 


Jarum menunjuk pukul 8 malam, pesawat tujuan Semarang juga sudah tidak ada. Ingin rasanya saya memiliki pintu kemana saja milik Doraemon untuk kemudian bisa sampai disebelah istri saya yang sedang menunggu dengan cemas di ruang operasi. Untuk menemani salah satu hari bersejarah bagi hubungan kami. Melewati hari besar kami, menunggu kelahiran anak kami yang pertama.

Satu jam sebelum saya sampai di Stasiun Gambir, saya masih ada di rumah sendirian karena istri sudah beberapa hari sebelumnya saya antar pulang ke kampung halaman untuk bersiap melahirkan di kota Kudus. Tiba-tiba malam ini, istri saya yang sedang periksa kehamilan biasa/reguler dengan diantar bapak dan ibu mertua, diminta oleh dokter untuk operasi malam ini juga karena air ketuban sudah menipis dan sudah terdapat pengkapuran. 

Istri kemudian menelfon saya untuk kemudian dokternya berbicara langsung untuk menjelaskan alasannya sekaligus meminta ijin. Saya langsung mengiyakan karena pasti dokter lebih tau mana yang terbaik. Hal ini tentu diluar perkiraan kami karena kami merencanakan operasi kelahiran sekitar 1 minggu lagi. Semua yang mendadak ini membuat persiapan kami berantakan, dari jadwal pulang kampung, jadwal cuti, persiapan operasi dll. Saya lalu bergegas mencari cara tercepat agar bisa sampai ke Kudus. Mengejar jadwal pesawat ke bandara sudah tidak memungkinkan, satu-satunya cara adalah naik kereta, namun tiketnya habis tak tersisa.

Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang tersisa. 

Saya akhirnya kembali pulang ke rumah sambil memesan tiket pesawat paling pagi. Sesampai di rumah saya mencoba melupakan rasa kecewa tidak bisa mendampingi istri saya, pada akhirnya berkirim doa dan pengharapan adalah jalan terbaik. Malam ini saya sebenarnya ada pekerjaan di kantor client, namun saya batalkan karena pikiran saya sudah kemana-mana. Saya terus berkomunikasi melalui telfon dengan istri saya untuk menguatkan. Alhamdulillah dia nampak tidak terlalu tegang karena merasa mules saja tidak katanya. Di ruang operasi, dia harus antri menunggu pasien lain yang sedang dioperasi juga.

Akhirnya tiba saatnya dia untuk operasi dan kami sudah tidak bisa berkomunikasi lagi. Bismillah, hanya doa yang bisa saya sertakan untuk mendampinginya. Selang beberapa saat, lewat pukul 12 malam, kakak ipar saya yang menunggu di rumah sakit memberitahukan bahwa operasi sudah selesai dan baik ibu maupun anaknya semua sehat. Air mata saya tidak bisa saya bendung lagi. Saya melompat-lompat histeris sendirian di rumah. Sujud syukur saya panjatkan untuk kemudian saya melihat anak saya untuk pertama kalinya melalui : LINE! 

Nak, bapakmu ini tukang sinyal. Kerjanya berurusan sama sinyal handphone. Tapi masa' untuk meng-adzan-imu saja harus pakai sinyal juga. Hehehe.

Semalam suntuk saya tidak tidur, jam 3 sudah berangkat ke bandara untuk pulang dan menjumpai untuk pertama kalinya; Lintang Damar Panuluh.

Sekarang setiap melihat iklan LINE ini, saya bergidik sekaligus menggumam 'saya tau rasanya!'



---

Selasa, 04 Agustus 2015

Suwung

Sekuat apapun seorang manusia berjuang dan bisa survive pada kondisi buruk sekalipun, tetap ada ruang kosong dalam dirinya.

Meninggalkan rumah sedemikian lamanya sebagai perantau, tentu kemampuan untuk beradaptasi terhadap lingkungan di luar rumah sudah tertanam dengan kuatnya. Kemampuan tersebut salah satunya adalah bersiap terhadap situasi tidak aman. Namun sekuat-kuatnya kita bertahan terhadap pasang suruh kehidupan di luar rumah/kampung halaman, tetap ada 'ruang kosong' di dalam diri kita. Dan setelah sekian lama, saya menyadari bahwa 'ruang kosong' itu bisa terisi ketika kita pulang. Entah oleh suasana aman di rumah atau adanya kehadiran orang tua kita. Ini mungkin disebabkan karena dari mulai 'njedul' ke dunia, salah satu tempat kita mendapat perlindungan dalam tumbuh kembang kita ya dari orang tua kita atau orang-orang terdekat.

13 tahun saya merantau, pernah ke daerah konflik sekalipun, saya tetap merasa memiliki ruang kosong itu. Namun, setiap pulang ke rumah atau bertemu orang tua, saya merasa ruang kosong itu terisi, lalu ada perasaan nyaman dan aman yang hadir menyertai. Seperti ada yang melindungi kita, setua apapun kita. Meskipun kita sudah tidak anak-anak lagi.

Jika kita ibaratkan hidup kita ini puzzle. Selengkap apapun pencapain kita, tetap akan ada serpihan puzzle yang tidak bisa kita capai dengan usaha kita sendiri. Serpihan puzzle itu hadir dengan bentuk orang yang ketika kita ada disampingnya, kita merasa terlengkapi dan terlindungi. Lalu lengkaplah puzzle hidup kita.

Mungkin ruang kosong itu bisa diartikan dengan suwung.

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...