Senin, 19 Maret 2012

Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi - Goenawan Mohamad (@gm_gm)


Salah satu puisi favorit saya karya Goenawan Mohamad berjudul "Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi". Puisi ini ada di buku Asmaradana ( Gramedia Widiasarana, 1992). Pernah dibacakan juga oleh Sujiwo Tejo di Film Telegram (cuplikannya ada di video youtube di atas). 


Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi

Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin mendesak ke arah kita

Di piano bernyanyi baris dari Rubayyat
Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba

Aku pun tahu: sepi kita semula
bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
mengekalkan yang esok mungkin tak ada

1966

Rabu, 07 Maret 2012

Sepenggal Kisah di Kereta Palembang - Muara Enim

*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (6)

kelanjutan dari : Menapak Palembang dari Sudut Jembatan Ampera

Dari Palembang ke Muara Enim

Selepas kemarin seharian menghabiskan waktu di Palembang dan beristirahat semalam, pagi ini kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan kami. Rute hari ini, dari Palembang menuju Tanjung Enim kemudian lanjut lagi ke Bengkulu. Di Tanjung Enim kami akan mampir ke teman kami yang tinggal disana.

Pagi ini kami beranjak pergi ke Stasiun Kertapati Palembang. Dari rumah kerabat Hilmy tempat kami menginap, kami pamit. Kemudian melanjutkan perjalanan kami menggunakan Trans Musi. Karena jalur Trans Musi tidak ada yang melewati Stasiun Kertapati, maka kami berhenti di sebuah halte untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke stasiun dengan sebuah bus kota. Berbeda dengan bus kota pertama yang kami pakai di Palembang kemarin, bus yang ini nampak lebih ‘ramai’. Kondisi bus meski tidak bagus, namun jauh lebih nyaman karena dijaga kebersihannya. Di langit-langit bus di pasang banyak hiasan kartun-kartun berwarna pink yang lucu.

Musik yang diputar didalam bus sangat keras. Lagu dangdut yang berpadu dengan disco. Kami duduk di jok panjang paling belakang. Tetapi aneh, karena setiap hentakan musik yang keras di dalam bus, selalu kami rasakan juga di (maaf) pantat kami. Usut punya usut, setelah kami lihat ternyata di bawah jok yang kami duduki ini adalah loadspeaker yang besar yang saking kerasnya suara, getarannya sampai di pantat kami. 

Lagu yang diputar adalah lagu Cinta Satu Malam yang dibuat disco. Sehingga setiap alunan music yang ‘jedug jedug jedug’, getarannya akan menjadi ‘jedug jedug jedug’ pula menekan pantat kami. Kami tertawa-tawa masih sambil merasakan sensasi getaran ini. Mungkin bagi kawan yang punya masalah susah buang air besar, cobalah naik bus ini dan duduk di jok belakang. Keluar dari bus dijamin lancer buang air besar!

Keluar dari bus kami kemudian menuju ke loket pembelian tiket di Stasiun. Pagi ini kami berencana untuk naik kereta ekonomi tujuan Lubuk Linggau, namun kami akan turun di stasiun Muara Enim. Sesampai di loket kami agak khawatir kalau tiket habis, namun rupanya keberuntungan berpihak kepada kami. Masih ada 3 tiket tersisa meskipun salah satu tiketnya duduknya harus berjauhan tetapi masih dalam satu gerbong.

Sampai di dalam gerbong, Hilmy kembali mengalah untuk duduk terpisah dari saya dan Melyn. Suasana kereta begitu panas dan sesak, mungkin karena ini hari Minggu sehingga banyak orang bepergian. Seperti layaknya kereta ekonomi, para penumpang duduk saling berhadapan. Jarak yang sempit memaksa kaki kita harus bersenggolan dengan kaki orang yang duduk di depan kita. Saya dan Melyn mendapat kursi yang menghadap ke belakang sehingga di perjalanan nanti kami harus duduk mundur. 

Saya duduk di ujung dekat jendela, Melyn di tengah, serta ada laki-laki setengah baya di samping kanannya. Duduk di sebelah depan saya, suami istri yang sudah tua, istri duduk di sampung jendela persis di depan saya, suaminya duduk di tengah di depan Melyn, serta di sebelahnya lagi seorang bapak tua.

Laki-laki disebelah Melyn mengira kami membeli tiket dari calo begitu saya bilang kami beli tiket di loket dan baru saja beli tidak lama sebelum kereta berangkat. Dia bilang biasanya kalau beli tiket dan dapat duduknya terpisah-pisah itu belinya di calo. Saya menjelaskan kepadanya, bahwa kami baru saja beli di loket dan masih tersisa 3 tiket meskipun memang terpisah.

Dari obrolan berikutnya antara dia dan beberapa penumpang lain, saya baru tau kalau pembelian tiketnya katanya susah. Harus pesan beberapa hari dulu atau terpaksa beli di calo jika tiket di loket sudah habis. Jadi orang itu setengah tidak percaya kami mendapat tiket dengan mudah tanpa lewat calo. Dalam hati saya hanya bisa bersyukur, beruntungnya kami mendapat kemudahan. Beli hanya beberapa menit sebelum keberangkatan di loket, dan tiket masih tersisa untuk kami.
Kereta mulai berjalan perlahan meninggalkan Palembang. Yang saya lihat di luar hanya lahan-lahan kosong yang penuh dengan rumput dan beberapa rawa. Panas terik menghiasi perjalanan kami ini. Tangan tak pernah jauh dari selembar kertas untuk sekedar berkipas. Kereta penuh sesak, panas dan pengap.

Suami istri yang duduk di depan saya juga merasakan panas sepertinya. Tangan ibu yang duduk di depan saya ini terus mengibaskan kipasnya sambil bercakap dengan suaminya yang duduk di tengah. Mereka bercakap dengan bahasa jawa yang dialegnya tidak asing bagi saya. Beberapa saat kemudian beliau membuka percakapan menanyakan tujuan kami akan pergi kemana. Saya menjawab pertanyaannya dengan bahasa jawa juga. Suasana kemudian menjadi lebih cair. Saya mengobrol dengan mereka berdua menggunakan bahasa jawa kromo untuk orang yang lebih tua. Melyn di sebelah saya hanya duduk sambil senyum-senyum saja karena tidak terlalu banyak menguasai Bahasa Jawa.

Dari obrolan ini saya baru tau bahwa mereka akan pulang ke rumah mereka di Lubuk Linggau setelah semalam pentas siaran wayang kulit di sebuah stasiun radio di Palembang. Bapak ini adalah seorang dalang. Beliau dan istrinya ini berasal dari Yogyakarta namun pindah ke Sumatra ini. Meskipun jauh dari kampung halaman di  Yogyakarta, bapak dan komunitasnya masih mempertahankan budaya asal mereka di Jawa untuk tetap berkembang termasuk di tanah perantauan mereka di Sumatra. 

Nampaknya tradisi wayang kulit juga berkembang di daerah Sumatra dibawa oleh para perantau Jawa yang ada di Sumatra. Bukan hanya wayang kulit, namun berbagai kesenian Jawa seperti Campursari, Gending Jawa, Tayub, dan Ketoprak. 

Kereta terus melaju dan panas membuat kami sedikit terkantuk. Bapak dan Ibu yang duduk di depan saya ini mulai tertidur, meskipun sang istri tidak sepenuhnya tidur karena setiap bapaknya terbangun selalu ikut bangun untuk menawarkan minum kepada suaminya. Lalu jika suaminya ingin minum, langsung dituangkannya minum dari termos yang mereka bawa. Ah, di usia yang sudah tak muda, pasangan di depan saya ini sungguh romantis.

Layaknya kereta ekonomi pada umumnya. Banyak sekali pedagang asongan di kereta ini. Dari yang umum seperti jualan minuman dan makanan ringan sampai ada yang jualan wingko babat! Tentu yang jual juga menggunakan bahasa jawa. Namun yang menarik perhatian saya adalah banyaknya perempuan yang menjajakan sawo matang. Entah karena daerah ini penghasil buah sawo atau didatangkan dari daerah lain.

Selain pedagang, kereta ini juga dipenuhi dengan banyaknya pengamen yang mengamen secara berkelompok. Datang silih berganti dari satu kelompok ke kelompok lain. Sepanjang jalan hampir ada pengamen yang menyanyi di gerbong ini. Tapi yang membuat heran adalah lagu yang mereka nyanyikan sama. Sama-sama lagu menye-menye! Entah saya yang tidak update dengan lagu jaman sekarang atau emang lagunya yang tidak terkenal, lagunya sungguh benar-benar membuat saya ingin menutup telinga. Padahal suara pengamen dan kemampuan musik pengamen di kereta ini bagus-bagus. Sayangnya lagunya kok ya yang model seperti itu. Lama-lama saya gemes juga, lalu saya pasang headset di telinga kemudian menyalakan musik dari hp saya. Tiba-tiba sepenggal lirik lagu Jangan Ada Luka - Nicky Astria menggema di telinga saya. 

Ohh.. Rindu..
Rindu lagu tentang ketegaran jiwa
Ohh.. Jiwa
Jiwa yang menggeliat bukan gelisah

***

Kereta beberapa kali berhenti dari stasiun ke stasiun. Beberapa kali berhenti juga ketika harus bersinggungan dengan kereta pengangkut batubara. Perjalanan panas, sementara kaki harus bersesakan dengan penumpang lain. Di luar ya nampak hanya kebun yang gersang dan terik. Sungguh ini pengalaman yang tak ternilai harganya. Naik kereta ekonomi menyusuri daerah tengah yang membelah Sumatra Selatan. Keberuntungan mendapatkan tiket, bertemu dengan suami istri dari Jawa, pengamen lagu menye-menye.

Setelah 4 jam berlalu akhirnya sampai juga kami di Stasiun Muara Enim. Saya menjabat tangan dan berpamitan dengan bapak ibu di depan saya. Sang Ibu berpesan dengan tutur kata yang lembut untuk berhati-hati di perjalanan dan diberikan kemudahan. Mungkin itulah pertemuan pertama dan terakhir kami. Pertemuan singkat namun bagi saya penuh makna.

Saya, Hilmy dan Melyn beranjak keluar dari kereta.  Di luar, teman kami Tata dan keluarganya sudah menunggu. Dari Stasiun Muara Enim kami menuju ke rumah mereka di Tanjung Enim. Kira-kira menempuh waktu kurang dari 1 jam. Di dalam perjalanan tiba-tiba suara pengamen di kereta dengan lagu menye-menyenya mengantui saya. Sial.

Selasa, 06 Maret 2012

Menapak Palembang dari Sudut Jembatan Ampera


*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (5)

kelanjutan dari : Semalam Menikmati Limex Sriwijaya

Dalam kondisi terkantuk kami bertiga keluar dari Stasiun Kertapati, Palembang. Inilah pengalaman pertama kami menjejakkan kaki di Palembang. Suasana stasiun nampak kotor dan semrawut. Di Palembang ini kami akan mampir ke rumah dari kerabat dekat Hilmy. Ke tempat saudaranya yang sudah lama tinggal di Palembang.

Dari stasiun kami keluar untuk mencari bus ke arah Jembatan Ampera. Sesampai di depan stasiun nampaknya sudah banyak bus yang berjejar. Setelah bertanya ke beberapa orang, kami naik sebuah bus kota yang akan melewati Jembatan Ampera.

Keadaan bus tak jauh berbeda dengan bus-bus umum lain pada umumnya. Bus yang rusak, dekil tapi tetap dipaksakan jalan. Kondektur yang teriak-teriak tidak jelas malah menambah kebingungan kami. Entah saya yang kurang tidur atau saya yang belum sarapan, naik bus ini lebih terasa seperti naik odong-odong.

Pagi ini kami kurang menikmati perjalanan dengan bus ini, rasanya kami sudah ingin segera untuk sampai ke rumah kerabat Hilmy dan beristirahat disana. Pengemudi mengemudikan bus ini dengan ngebut dan beberapa kali harus berhenti mendadak. Ah, pagi ini rasanya saya mual. Tidak ada ramah-ramahnya sedikitpun.

Tapi saya akhirnya bersyukur karena kami naik bus itu hanya sebentar. Sesaat saya melihat ke depan dan yang saya lihat adalah sebuah jembatan besar yang biasanya hanya bisa saya lihat di berita-berita. Jembatan yang nampaknya kokoh menjulang di tengah kota Palembang. Saya takjub, kami takjub juga. Bus yang kami tumpangi ini berjalan melewati Jembatan Ampera.Berada di atasnya kami bisa melihat Sungai Musi yang bersejarah ini. Sungai terpanjang di Pulau Sumatra. Di sungai ini pula, salah satu sejarah besar Indonesia bernama Sriwijaya di catatkan. Sebuah kerajaan maritim terbesar dalam sejarah bangsa ini.

Di ujung jembatan kami turun dari bus dan segera berlarian ke sebuah taman dimana kita bisa melihat pemadangan Jembatan Ampera. Taman ini ada di depan sebuah benteng. Kalau yang saya baca nama bentengnya adalah Benteng Kuto Besak. Sungai Musi memisahkan Kota Palembang menjadi 2 kawasan yakni
Seberang Ilir  di bagian utara dan Seberang Ulu di bagian selatan. Saya tidak tau kami ada di kawasan mana pagi ini karena saya masih bingung dimana sebelah utara, dimana pula sebelah selatan.

Seseorang datang mendekati kami ketika kami tengah asik menikmati indahnya Jembatan Ampera. Nampaknya orang yang datang ini menawarkan sewa perahu kepada kami. Dengan perahu itu, ia bisa mengantarkan kami ke Pulau Kemaro. Pulau Kemaro itu semacam delta kecil di tengah Sungai Musi yang berjarak 6 km dari Jembatan Ampera.

Orang yang datang kepada kami ini menjelaskan kepada kami bahwa di Pulau Kemaro itu ada sebuah kuil/kelenteng Budha yang sangat bagus untuk obyek foto. Namun begitu kami menanyakan berapa biaya jika kami menyewa perahu untuk bisa sampai ke Pulau Kemaro? Ia menjawab sebuah bilangan ratusan ribu rupiah yang membuat kami segera yakin untuk menolak tawarannya.

Dari taman di depan Benteng Kuto Besak ini kami melanjutkan perjalanan kami ke rumah kerabat dari Hilmy. Dengan petunjuk jalan yang di informasikan, kami beranjak pergi ke sheter bus Trans Musi. Model transportasi kota seperti ini kalau di Indonesia mungkin mengadopsi dari model Trans Jakarta meski di Palembang belum ada jalur khusus. Lebih mirip dengan Trans Jogja atau BRT Semarang. Warna bus dan harga tiketnya hampir mirip dengan Trans Jakarta. Harganya 3000 rupiah. Tapi nampaknya informasi tentang rute dan cara menggunakannya agak membingungkan bagi orang yang baru pertama menggunakannya. Saya mencoba bertanya kepada salah satu penumpang yang juga sedang menunggu Trans Musi. Sayangnya wanita yang saya tanya sangat jutek sehingga malah membuat bingung.
Setelah menunggu beberapa saat, datanglah bus yang menuju ke tujuan kami di daerah Bukit Atas meski kami masih bingung karena minimnya informasi. Kami naik dengan bawaan ransel kami yang besar-besar sehingga menjadi bahan pandangan orang-orang yang ada di bus ini.

Bus-nya lumayan nyaman dengan AC yang dingin. Hilmy bertanya ke petugas yang ada di bus tentang rute yang harus kami lalui untuk sampai di daerah Bukit Atas tujuan kami. Petugas itu menyarankan kami untuk transit ke sebuah shelter. Dari shelter transit kami pindah ke bus yang lain dengan arah Bukit Atas. Kami masih bingung dengan rute dan arah bus Trans Musi ini. Di dalam bus kedua saya mencoba bertanya ke petugas yang ada di dalam bus. Oleh petugas saya disarankan untuk turun di halte SMA 1 Palembang. Sesampai di halte kami turun. Hilmy mencoba untuk menghubungi kerabatnya kalau kami sudah sampai di depan sekolah di daerah Bukit Atas. Setelah Hilmy telfon, kami baru tau kalau kami salah turun! Ini bukan tempat yang dimaksud.

Kami bertiga seperti orang hilang di halte itu. Duduk kelelahan karena perjalanan dan barang bawaan. Saya iseng memfoto Hilmy dan Melyn yang tertunduk lemas di bawah halte beserta tas mereka. Hahaha. Mendengar kami kebingungan, kerabat Hilmy akhirnya yang akan menjemput kami ke halte ini. Tak lama beliau datang, dan sedikit nampak kaget dengan penampilan kami. Terlebih setelah sampai rumah mendengar penuturan tentang perjalanan yang akan kami lakukan menyusuri Sumatra.

Akhirnya kami bisa beristirahat meluruskan kaki di rumah ini. Keluarga ini menyambut kami dengan sangat ramah dan baik. Melyn menyuruh saya dan Hilmy untuk mandi. Memang sejak terakhir mandi kemarin di Museum Lampung, kami belum mandi lagi. Saya dan Hilmy menyuruh Melyn untuk mandi terlebih dahulu. Tapi saya dan Hilmy langsung terlelap tidur setelah meluruskan punggung ini. Tidur kali ini sangat lelap, mungkin karena badan masih terasa capek. Begitu bangun, kami tidak sadar kalau jam sudah beranjak begitu siang. Melyn masih protes karena dia merasa tertipu. Dia disuruh mandi oleh saya dan Hilmy, tapi kami malah tidur. Hahaha.

****

Ketika hari beranjak sore dan udara tidak terlalu menyengat. Kami dipinjami sepeda motor untuk pergi melihat Kota Palembang.Tujuan kami adalah pergi ke Jembatan Ampera lagi. Dengan menyusuri jalan di sisi Sungai Musi kami mencoba menikmati Palembang di sore hari. Kota ini nampak ramai terlebih dengan akan diselenggarakannya SEA Games 2011 di Palembang sehingga dibeberapa tempat sedang dipercantik.

Kami melewati sebuah kampung yang masih mempertahankan rumah-rumah tradisional mereka. Rumah panggung yang lebih dikenal sebagai Rumah Limas, yang merupakan prototype dari rumah tradisional Palembang. Kampung ini ada di pinggir sungai. Saya sangat suka dengan model dan pewarnaannya. Klasik namun sungguh indah.

Selepas melewati beberapa rumah tradisional, kami melewati sebuah jembatan. Saya mencoba melihat ke sungainya. Namun yang kami lihat adalah ironi. Layaknya kota besar di Indonesia pada umumnya. Sebuah sungai kotor dengan pemandangan rumah kumuh di kedua sisinya. Di sungai yang kotor kehitaman itu banyak sekali anak-anak kecil yang sedang berenang di sungai. Mereka nampak tertawa dan nampak tidak terlalu memusingkan keadaan di lingkungan mereka juga air yang mereka pakai untuk berenang.

Ya ironis, di saat kota ini sedang menata diri dengan uang ratusan milyar untuk penyelenggaraan SEA Games, namun di sisi lain masih banyak warganya yang harus tinggal di tempat-tempat kurang layak seperti ini. Di saat puluhan milyar rupiah dari anggaran daerah di alokasikan untuk tim sepakbola kebanggan mereka Sriwijaya FC, namun di sisi lain masih banyak warganya yang harus berteduh di tempat-tempat kumuh pinggir sungai.

***

Setelah menyusuri jalanan di pinggir Sungai Musi, sampailah kami di Jembatan Ampera lagi. Di depan Benteng Kuto Besak ini suasananya lebih ramai ketika kami datang tadi pagi. Banyak sekali pedagang yang menjajakan makanannya. Mungkin karena sekarang adalah malam minggu sehingga suasana nampak ramai. Kami hanya duduk-duduk santai di taman sambil mengamati sekeliling. Di taman ini kami berkenalan dengan seorang pemuda yang tinggal di Palembang. Ia memperkenalkan dirinya dengan nama Tommy. Seorang mahasiswa di sebuah universitas di Palembang. Ia sendiri bukan asli Palembang. Kampung halamannya ada di Pulau Bangka sehingga ia kost di Palembang.

Saya, Hilmy dan Melyn akhirnya bercerita banyak bersama Tommy. Ia bercerita tentang kampungnya di Bangka yang memiliki pantai yang indah. Kehidupan di Palembang juga rasa senangnya bisa berkenalan dengan orang Jawa seperti kami. Ia belum pernah pergi ke Jawa sehingga ia bertanya kepada kami tentang Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Kami bercerita juga dengan suka cita. Kami bertanya tentang kampungnya di Bangka, akses kesana juga keindahan pantainya. Mungkin ini salah satu kesan dan pembelajaran dalam perjalanan. Yaitu mengenal orang-orang baru dan cerita baru yang tentunya membuat sudut pandang kami bertambah.

Sore ini kami menikmati senja dari sudut Jembatan Ampera dengan nyaman setelah kemarin menikmati senja dalam antrian tiket kereta di Lampung. “Belum ke Palembang rasanya kalau belum menikmati empek-empek langsung di Palembang” begitu pesan beberapa orang. Tak ingin melewatkan kesempatan, kami dengan mengajak Tommy untuk mengantar kami membeli empek-empek. Lalu diantarkannya kami membeli empek-empek di sebuah tempat yang terkenal dengan empek-empek istimewa di Palembang.  

Saya baru tau kalau empek-empek itu memiliki banyak pilihan seperti Takwan, Leksan, Model dan Celimpungan. Sebenarnya bahan pembuatannya sama, hanya komposisi, proses pengolahan akhir dan penyajiannya yang berbeda. Namun entah kenapa lidah saya nampaknya kurang cocok dengan makanan ini.

Selepas dari tempat penjual empek-empek, kami bertiga harus berpisah dengan Tommy. Dia pamit pulang karena transportasi untuk pulang ke kostnya lumayan susah kalau malam. Kami berpisah dengan saling bertukar nomor telefon untuk kemudian tidak tau apakah kami bisa bertemu lagi atau tidak.

Saya, Hilmy dan Melyn kembali lagi ke Jembatan Ampera untuk ketiga kalinya hari ini! Untuk apa kami kembali ke Jembatan Ampera lagi? Setelah pagi dan sore kami datang kesini, kami ingin ke sini lagi untuk melihat Jembatan Ampera di waktu malam. Tadi sore ketika kami disini, lampu di pilar-pilar jembatan masih belum nyala. Kami ingin melihat jembatan dengan hiasan lampu yang menyala pada pilar-pilarnya.

Sungguh pemandangan Jembatan Ampera pada malam hari sangat indah. Kilau warna warni lampunya memberi kesan yang berbeda dibanding jembatan ketika siang hari. Namun sayangnya indahnya jembatan berbanding terbalik dengan suasana taman yang kurang nyaman buat kami malam ini. Dari banyaknya pengemis, orang gila, sampai ada anak kecil yang ingin merebut tripod kami sambil memaksa meminta uang. Yang lebih membuat miris adalah anak kecil itu sambil ‘ngelem’ (menciumi bau lem agar mabuk). Duh.

Jembatan ini pernah pula menjadi korban sejarah. Jembatan yang diresmikan pada tahun 1965 ini sebelumnya dinamakan dengan Jembatan Soekarno. Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Jembatan ini pada dasarnya pada bagian tengahnya bisa diangkat ke atas agar dapat dilalui kapal besar menggunakan peralatan mekanis. Namun mulai tahun 1970 sudah tidak pernah lagi dilakukan aktivitas naik turun ini untuk menghindari kemacetan di atas jembatan ketika jembatan ini sedang dinaikkan.

Kami pulang dari Jembatan Ampera untuk kembali ke rumah kerabat Hilmy. Palembang hari ini memberi banyak pembelajaran bagi kami. Besok kami harus melanjutkan perjalanan panjang ini lagi. Malam ini kami tertidur pulas dengan empek-empek yang masih melayang-layang di perut kami.


Ada bemo di depan stasiun Kertapati, Palembang

Wajah Melyn dan Hilmy setelah kami salah turun naik Trans Musi

Saya, Melyn, Hilmy serta Tommy, kenalan kami di Palembang

Empek-empek

Salah satu tepian Sungai Musi

Masih di Tepi Musi

Warung Apung, warung dalam perahu di tepi Musi

Sudut Palembang dari atas Jembatan Ampera

Dari atas Jembatan Ampera

Kami dan Jembatan Ampera

Kami dan Jembatan Ampera

Jembatan Ampera

Melyn, Hilmy dan beratnya tas mereka

Ada saya :)

Semalam Menikmati Limex Sriwijaya


*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (4)

kelanjutan dari : Terkunci di Stasiun Tanjung Karang 

Setelah antri hampir 2 jam di depan loket. Akhirnya kami bisa mendapatkan tiket juga. Kereta yang akan berangkat ini namanya kereta Limex Sriwijaya. Melayani jurusan Tanjung Karang sampai Palembang (Stasiun Kertapati). Kereta ini terdiri dari rangkaian gerbong kelas bisnis dan eksekutif. Kami memilih yang kelas bisnis untuk menghemat biaya. Tetapi kenyataannya, kereta bisnis di Sumatra ini sekelas kereta ekonomi di Jawa. Saya dan Hilmy bercanda, mungkin kalau di kelas eksekutif mirip dengan kelas bisnis di Jawa.

Begitu masuk ke dalam kereta, situasi kelas bisnis ini memang tak ubahnya kelas ekonomi. Banyak orang yang merokok, dan yang paling banyak adalah orang yang tidak duduk dikursi tetapi dengan alas koran mereka tidur dibawah kursi. Kereta belum berjalan tetapi semua orang sudah mencari tempat terbaiknya. Ada yang tiduran di kursi. Ada yang tiduran di bawah dan sela-sela kursi. Melihat pemandangan seperti ini nampaknya Hilmy heran. “Kok kereta bisnis seperti ini ya”. Tak ubahnya kereta bisnis, begitu pikir Hilmy. Tapi tak apa, kita akan menikmati perjalanan ini.

Kami bertiga duduk terpisah. 3 tiket yang kami punya ternyata hanya 2 tiket saja yang duduknya bersebelahan. 1 tiket lagi duduknya terpisah meskipun masih dalam 1 gerbong. Hilmy “ngalah” untuk duduk di kursi yang agak berjauhan itu. Sedang saya dan Melyn duduk bersebelahan. 

Pukul 21:00 kereta mulai berjalan perlahan. Saya tidak tau seperti apa kondisi di luar karena yang nampak dari jendela hanya gelap. Saya dan Melyn hanya tertegun melihat pemandangan di dalam kereta ini. Semua orang sedah menempatkan dirinya masing-masing. Mencoba terlelap mengikuti alur laju dari kereta ini. Saya mencoba untuk ikut tidur, namun mata ini rasanya tak bisa terpejam. Iseng-iseng saya pinjam “sleeping bag” punya Hilmy. Dengan sleeping bag ini, di sela-sela kursi saya mencoba tidur seperti penumpang lain.. Ternyata enak juga. Dengan sleeping bag dan bantal menggunakan sarung, saya langsung terlelap. Malam ini, di sebuah kereta di antara Tanjung Karang dan Palembang kami menikmati perjalan ini. Dengan semilir angin serta kegelapan di luar kami mencoba mengikuti alurnya. Saya terus tertidur dibawah, Melyn tertidur di kursi sedang Hilmy entah sedang apa di kursi bagian belakang. 

Kereta beberapa kali berhenti di stasiun pemberhentian. Banyak pedagang asongan yang masuk. Beberapa goncangan pada kereta seperti mengusik tidur. Saya dan Melyn mencoba bertukar posisi. Dia tidur di bawah dengan sleeping bag dan saya tidur di kursi. Tetapi sepertinya ia tidak bisa nyenyak tidur di bawah sehingga kami bertukar posisi lagi. Entah Palembang masih jauh atau sudah dekat, yang ada di luar masih gelap dan gelap.

***

Suasana di luar sudah mulai terang. Kereta masih melaju dan saya sudah terbangun. Melyn sepertinya juga sudah terbangun sedari tadi. Hilmy yang tadinya duduk di belakang sekarang sudah bergabung bersama. Entah kami sudah sampai mana, tapi sepertinya Palembang masih jauh. Jam sudah menunjuk pukul 6 pagi. Suasana fajar di luar begitu indah, warna langit yang biru kemerahan, dan matahari yang masih malu-malu untuk keluar dari peraduannya. Saya dan Hilmy kemudian duduk di sambungan antar gerbong. Rupanya ada juga penumpang yang duduk disambungan antar gerbong ini. Ada 3 orang yang sudah tua duduk disana, dari percakapannya bisa dipastikan mereka adalah orang Jawa yang sedang merantau ke Sumatra. Saya mencoba membuka percakapan. Mereka adalah para transmigran dari Jawa yang sudah bermukim lama di Pulau Sumatra ini. Logat jawanya masih kental. Melihat kakek dan nenek ini saya jadi ingat kakek nenek saya di kampung.

Kereta terus berjalan. Yang kami lihat diluar adalah tanaman sawit, pohon karet juga tanah kering yang penuh rerumputan. Kadang kala diselingi dengan alang-alang yang tinggi. Dari sela-selanya kami bisa melihat pancaran matahari pagi yang mulai merambat naik. Tetapi kereta ini sering juga berhenti. Di Pulau Sumatra ini, kereta penumpang harus “mengalah” dengan kereta pengangkut batubara. Jadi misal berpapasan dengan kereta batubara, maka kereta harus berhenti terlebih dahulu. Akhirnya setelah hampir 11 jam kami di kereta, tibalah kami di Stasiun Kertapati, Palembang. Ya, kami baru sampai di Palembang jam 8 siang. 

Hilmy berbincang dengan salah seorang penumpang di sambungan gerbong

Berpapasan dengan kereta pengangkut batu bara

Hilmy menikmati perjalananya haha

Suasana pagi dari dalam kereta

Keadaan di dalam kereta

Sepasang kakek nenek yang terpaksa duduk disambungan kereta

Terkunci di Stasiun Tanjung Karang

*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (3)

kelanjutan dari : Rajabasa dan Anggur Jamu 

Siang ini kami ke Stasiun Bandar Lampung (Tanjung Karang) dengan tujuan untuk membeli tiket kereta malam ke Palembang, sekaligus numpang mandi di stasiun kereta tersebut.  Sejak kemarin dari Purwokerto, kami belum mandi sama sekali. Sesampai di stasiun kami mencoba melihat jadwal kereta ke Palembang. Namun sayang tak ada loket buka sama sekali. Dari informasi diketahui bahwa loket di buka 2 jam sebelum kereta jalan. Lucunya, kalau di loket hanya bisa dibeli 2 jam sebelum kereta berangkat, tiket bisa dibeli di agen tiket jauh-jauh hari. Jadi misalnya untuk hari ini kereta akan berangkat pukul 9 malam, maka loket di stasiun baru buka jam 7 malam. Tapi anehnya di agen sudah di jual, bahkan jauh-jauh hari kita bisa memesan. Yang jadi pertanyaan, apabila tiket sudah terjual habis di agen, apakah loket akan tetap buka?

Beberapa orang menawari kami untuk membeli tiket di agen. Kami menolak, dengan pertimbangan harga tiket di agen pasti jauh lebih mahal dibanding dengan tiket yang di jual di loket. Kami mencoba berspekulasi nanti malam saja, meski agak khawatir mendengar penuturan banyak orang tentang susahnya membeli tiket di loket karena keterbatasan jumlahnya. Ah, inilah potret jasa di negara ini, meski sudah diurus oleh perusahaan yang ‘katanya’ milik negara sekalipun!

Dari loket-loket yang masih kosong melompong itu kami mencoba masuk ke dalam stasiun. Dengan membayar peron Rp.7500 untuk 3 orang kami diperbolehkan. Sesampai di dalam, Hilmy mondar-mandir mengambil foto. Melyn duduk melepas lelah. Ada kereta penuh penumpang yang akan berangkat. Selang beberapa waktu, kereta itu berjalan mengikuti alur perjalannya. Dari deretan kursi ruang tunggu, kami duduk melepas lelah. Hilmy berjalan agak menjauh mencari kamar mandi umum di stasiun untuk mandi. Namun tiba-tiba beberapa petugas pengamanan datang ke arah kami.
“Keluar-keluar, pintu akan di tutup! Silahkan mau keluar apa terkunci disini sampai malam”
Kami bertiga kebingungan. Kenapa kami di suruh keluar? Bukankah stasiun kereta buka 24 jam? Tapi begitu masuk ke stasiun kereta ini kami disuruh keluar lagi.

Kami keluar dari stasiun sambil bertanya-tanya. Adakah kesalahan yang kami buat sehingga kami diusir dari dalam stasiun kereta ini. Yang kami tau, di Pulau Jawa stasiun kereta buka 24 jam. Jam berapapun kita bisa masuk. Kalaupun tidak bawa tiket, bisa masuk dengan tiket peron. Tapi nampaknya di Sumatra ini berbeda. Jadi stasiun kereta hanya buka ketika akan ada kereta yang berhenti atau berangkat saja. Di luar jam itu ya stasiun ditutup!

Kami terusir keluar, dengan kondisi di dalam stasiun tadi kami belum sempat mandi. Badan kumal, kucel, dengan menggotong tas ransel besar. Tapi dengan PD-nya kami masih foto-foto di depan stasiun sampai beberapa orang yang ada disitu melihat kami dengan perasaan iba hahaha.

Di tengah kebingungan, tiba-tiba Febs telfon. Febs ini adalah teman baik dari Filipina. Saya pernah bertemu dengan dia di Jakarta, dan sering mengobrol meski hanya lewat YM atau sms. Kebetulan saat ini dia sedang ada pekerjaan di Lampung. Sebenarnya siang ini dia harus kembali ke Jakarta sehingga tidak bisa menemui kami. Tetapi, mungkin karena mendengar suara saya yang terdengar ‘kelaparan’, dia mengajak kami bertemu terlebih dahulu sebelum dia berangkat ke Bandara. Asik, makan gratis!

Febs dan driver yang akan mengantar dia ke Bandara menyempatkan datang ke stasiun. Kemudian kami diajak ke sebuah tempat makan yang tidak terlalu jauh dari stasiun. Inilah makan pertama kami di Sumatra. Saya, Hilmy, dan Melyn masih dengan tampilan kucel kami yang belum mandi dari kemarin. Bahkan belum tersentuh air sama sekali hari ini. Dengan tisu di tempat makan saya mencoba membersihkan muka. Busyet! Begitu diusapkan ke muka saya, tisunya langsung hitam penuh debu. Melyn senyum-senyum melihat bentuk tisu yang menghitam begitu menyentuh muka saya yang penuh debu ini. Kotor sekali tampilan kami siang ini.

Sempat ngobrol beberapa saat dengan Febs. Namun kami tak bisa lama-lama. Dia sudah harus ke Bandara karena sore ini harus bergegas ke Jakarta. Saya minta diantarkan ke Musem Lampung. Diantarkannya kami bertiga ke Museum Lampung yang kebetulan searah dengan jalan menuju bandara. Sesampainya di museum kami turun, kemudian Febs dan drivernya melanjutkan perjalanan ke Bandara. Febs berpesan untuk menceritakan apa yang ada di dalam museum kepada dia nantinya.
Kami sendiri masuk ke Museum Lampung, suasana sangat sepi. Hampir tak ada orang yang kami temui. Nampaknya museum ini sudah tutup. Entah tutup karena memang sudah jam tutup, atau tutup karena tak ada orang yang datang menyambanginya. Agak kecewa karena kami tak bisa masuk ke dalamnya. Namun satu hal luar biasa yang kami temukan di kompleks museum ini, sesuatu yang bahkan tidak bisa kami dapatkan di stasiun karena sudah terlebih dahulu terusir. Di museum ini ada kamar mandi! Dan untuk pertama kalinya di Sumatra, setelah 24 jam kami di jalan. Di tempat yang tidak terduga ini kami bisa mandi!

Jadi kalau di kemudian hari Febs tanya, “Saya ingin ke Museum Lampung, apa ada yang menarik di dalamnya?” Saya menjawab “Ada satu yang menarik” “Apa?” “Kamar mandi. Karena kami juga tidak tau apa isi dari Museum Lampung itu selain kamar mandinya.” 

Selepas mandi di Museum yang nampak kosong ini, kami melanjutkan perjalanan. Rencananya kami akan jalan-jalan ke kota Bandar Lampung. Tapi ada hal yang membuat saya bingung sebenarnya. Semua orang Indonesia ketika ditanya Ibukota Provinsi Lampung pasti menjawab Bandar Lampung. Di buku-buku sekolah, di internet bahkan dalam tata pemerintahan, Ibukota Provinsi Lampung adalah Bandar Lampung. Tetapi yang saya temui di kota ini, entah itu di petunjuk jalan, papan nama toko, semuanya tertulis Tanjung Karang. Lalu di mana yang namanya Bandar Lampung ibukota Provinsi Lampung? 

Sebelumnya ketika makan, saya sudah mencoba bertanya kepada teman Febs. “Mas, kalau Bandar Lampung itu dimana? Dari tadi semua petunjuk kok nyebutnya daerah ini namanya Tanjung Karang ya? Bukan kita ini sudah di  Bandar Lampung?”. “Ya Bandar Lampung ya disini ini mas”. “Tapi dari tadi kok tulisannya Tanjung Karang ya mas?”. “Ya Bandar Lampung ya Tanjung Karang ini”. Duh, saya semakin bingung saja. 

Menurut beberapa informasi, dulunya Ibukota Lampung adalah Tanjung Karang. Namun pada tahun 1983 Ibukota Lampung diganti dengan nama Bandar Lampung. Bandar Lampung sendiri adalah gabungan dari 3 daerah yang terintegrasi yakni Tanjung Karang, Teluk Betung, dan daerah Panjang (Kedaton). Jadi ketika Bandar Lampung di jadikan nama kota termasuk sebagai nama Ibukota Provinsi, maka secara otomatis Tanjung Karang menjadi nama kecamatan. Mungkin karena nama Tanjung Karang sudah melekat sebagai nama kota sebelum adanya Bandar Lampung, maka nama di stasiun, nama tempat, papan nama, pasar, tetap dinamai dengan Tanjung Karang. Toh, daerah itu juga masih masuk wilayah Kecamatan Tanjung Karang.

**


Selepas dari Museum kami naik angkot lagi ke arah pusat kota. Definisi ‘pusat kota’ ini beragam. Ada yang menyebut pusat kota adalah pusat ekonomi suatu daerah atau pun pusat pemerintahan. Sore ini kami tidak tau dimana pusat kota Bandar Lampung. Kami hanya berpatokan sederhana. Pusat kota adalah tempat yang paling ramai disuatu daerah. Nah, sepertinya daerah di dekat stasiun yang kami datangi tadi adalah salah satu pusat keramaian di kota Bandar Lampung. Penampilan kami sudah berubah. Penampilan kucel dan bau sudah berganti dengan semerbak wangi dan rapi karena sudah mandi di museum. Di angkot pun sudah berani mencuri pandang ke arah cewek. 

Ketika hampir dekat dengan pasar di dekat stasiun, kami meminta turun. “Stop Pak, kiri.. kiri.. kiri” Tetapi angkot masih saja jalan. Nampaknya isyarat untuk turun dari angkot berbeda-beda tiap daerah. Seorang ibu di dalam angkot memberitahu kami, caranya turun dari angkot di daerah sini adalah dengan ucapan “minggir”. Kamipun serentak berteriak “MINGGIRR!”, dan dalam sekejap sopir angkot langsung memberhentikan angkotnya. Luar biasa keanekaragaman di Indonesia. Isyarat berhenti dari angkot pun berbeda-beda tiap daerah.  

Dari daerah tempat kami turun, kami berjalan-jalan. Menyusuri keramaian pasar di dekat stasiun Tanjung Karang. Pasar di sini tak ubahnya seperti pasar tradisional di Jawa. Kebersihan tidak terjaga, sampah berserakan, tetapi banyak sekali barang yang di jual. Lelah karena muter-muter, kami berhenti di sebuah Masjid. Duduk di serambi sambil ngobrol-ngobrol. Tak terasa, dalam waktu 24 jam kami sudah sampai di Bandar Lampung. Sebuah kota di seberang pulau, Sumatra. 

Setelah agak lama kami istirahat di masjid, kami beranjak kembali ke stasiun. Berharap stasiun sudah buka dan kami sudah bisa membeli tiket. Tetapi sesampai di stasiun pintunya masih ditutup. Suasananya sudah lebih ramai, banyak sekali orang di depan stasiun. Entahlah bagaimana nasib kami, apakah malam ini kami bisa melanjutkan perjalanan ke Palembang, atau harus menerima kenyataan tidak mendapatkan tiket dan bingung kami akan menginap dimana. Entah orang-orang ini siapa, kami juga tak mengenalnya. Apakah mereka juga akan mengantri tiket seperti kami, atau hanya orang yang sedang singgah ke stasiun ini.

Tak lama kemudian, setelah semakin banyak orang berdatangan dan berkumpul di bukalah pintu stasiun oleh petugas. Secara refleks, orang-orang yang tadinya di luar itu berhamburan masuk dan berebutan ke arah loket penjualan tiket. Ternyata orang-orang yang tadi berkumpul di depan stasiun adalah orang yang sore ini akan antri membeli tiket juga. Mereka berhamburan ke dalam dean loket dan secara otomatis membentuk antrian panjang ke belakang. Beruntung, di tengah tidak sadarnya kami akan hal ini, Hilmy dan Melyn sudah ikut berlari ke arah loket penjualan tiket sehingga otomatis kami sudah ikut antri untuk membeli tiket. 

Tapi taukah kawan? Loket penjualan kereta ini baru akan di buka pukul 19.00 untuk keberangkatan kereta pukul 21:00. Dan saat orang berhamburan untuk antri itu jam di tangan kiriku ini masih menunjuk pukul 17:30. Ya kami akan menunggu sampai loket ini buka pukul 19:00 nanti.

Itulah senja pertama kami di Pulau Sumatra. Menikmati antrian di dalam stasiun yang gelap. Dengan harap-harap cemas apakah kami masih dapat tiket untuk malam ini. Tapi semua akan kami nikmati, senja yang samar ini. Pada saat nantinya akan kami temui senja yang lebih indah dari ini.

"The road of life twists and turns and no two directions are ever the same. Yet our lessons come from the journey, not the destination.” - Don Williams, Jr

Di depan Stasiun Tanjung Karang

Masih di depan Stasiun Tanjung Karang

Terusir dari dalam stasiun :D

Antri tiket...

Suasana pasar di dekat stasiun..

Masih duduk antri tiket..

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...