Selasa, 06 Maret 2012

Bus Siput dan Panasnya Lampung


*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (1)
Peta rute Purwokerto -  Bandar Lampung

Entah berapa banyak gelengan dan senyuman paling manis yang sudah saya persembahkan sedari pagi. Badan kucel dan tampilan kumal karena belum mandi sejak kemarin rupanya tak menyurutkan orang-orang ini untuk menjauh dari kami. Mereka terus mendekat, bahkan sambil menarik-narik ransel kami. Tidak, mungkin itu kata paling sederhana yang kami ucapkan untuk menolaknya. Kami terus berjalan melangkah, bak artis yang cuek dikerubuti wartawan yang begitu menantikan jawaban dari kami atas gosip-gosip terbaru.
Mereka tak putus asa, terus merancau dengan pertanyaan-pertanyaan mereka. Kami sok dingin dengan muka yang kami buat sedatar mungkin untuk menjaga penampilan kami. 

Ups, mungkin saya kebanyakan berkhayal setelah semalam suntuk duduk terpaku di bus malam. Setelah saya pikir, tidak mungkin wartawan bertanya kepada artis “Mau kemana mas? Naik ojek mari”, “Mau naik travel mas? Bisa kami antar sampai tujuan”, atau pertanyaan “Sudah sarapan mas? Kalau belum mari mampir kemari. Ada rames, telur, teh hangat juga ada kok mas, monggo” 

Nampaknya siang ini kami sudah sampai di Pelabuhan Bakaheuni, Provinsi Lampung. Inilah pintu gerbang Pulau Sumatra. Dari pelabuhan di ujung paling timur Pulau Sumatra ini, kami akan memulai perjalanan kami. Semua masih nampak lancar ketika kami bisa keluar dari komplek pelabuhan setelah harus berjejal dengan penumpang lain yang turun dari kapal. Juga banyaknya kondektur bus, driver travel, ataupun calo yang menjajakan jasanya. Bak berasa artis yang diserbu wartawan untuk diwawancarai.

Keluar dari pelabuhan, kami segera naik ke sebuah bus yang sudah terparkir di Terminal Bakaheuni. Ransel-ransel kami naikkan, duduk kami di bangku paling belakang agar bisa leluasa memandang ke seluruh sudut bus.

“Selamat Datang di Sumatra! Para penumpang yang terhormat, selamat datang di dalam bus ini. Bus ini akan membawa anda sampai di Bandar Lampung kira-kira dalam waktu 2 jam. Bus ini dilengkapi dengan 2 pintu masing-masing 1 di depan dan 1 di belakang. Jika menemui kesulitan silahkan menghubungi staff kami yang akan melayani. Semoga perjalanan ini menyenangkan dan selamat sampai tujuan”.

Jangan bayangkan rangkaian kalimat tersebut keluar dari suara ‘pramugari’ cantik yang ada di bus ini. Itu hanya kata-kata imajinasi saya yang memang sudah saya siapkan untuk menghadapi segala kemungkinan transportasi yang kami naiki. Bisa dibilang, untuk sekedar menghibur diri. Secara kasat mata kita sudah bisa menilai bagaimana kondisi transportasi di negara kita ini. Dan kami pun sudah memprediksi bahwa tranportasi seperti inilah yang akan kami dapatkan di kota-kota lain yang akan kami datangi kelak

Bus ini nampak tua dan tak terawat. Jok dan kaca beberapa sudah terlepas dari tempatnya. Seperti layaknya bus ekonomi pada umumnya. Tapi mungkin inilah “menu” selamat datang kepada kami. Bus dengan tulisan “FULL MUSIC” tapi sunyi senyap berganti dengan derit suara bus tua yang nampak berat menanjak. Serta erangan suara knalpot yang menghaburkan gulungan asap hitam sebagai jejaknya.

Perlahan bus mulai berjalan keluar dari terminal. Jalanan nampak terus menanjak meninggalkan pelabuhan. Kalau bus ini boleh mengeluh, mungkin ia sudah mengeluh. Laju bus ini sangat lambat, bahkan saking lambatnya sampai beberapa kali didahului oleh truk-truk besar yang membawa barang-barang berat. Kondektur bus mondar mandir dari depan ke belakang untuk menarik ongkos dari para penumpangnya. Dari label yang dipasang di kaca depan, tarif sudah terpampang dengan tulisan besar : Rp. 17.000. Itulah ongkos bus ekonomi dari Bakaheuni sampai Bandar Lampung.

Kami duduk di barisan kursi belakang sambil terkantuk. Jalanan mulus, tapi kondisi bus memang sudah sangat memprihatinkan. Panas juga debu beterbangan. Pemandangan di luar nampak kering dan gersang. Kami mencoba menikmatinya dan tidak boleh mengeluh. Ini baru titik awal dan akan banyak hal lain entah itu manis atau pahit yang akan alami yang lebih “menakjubkan” dari ini.

Di sepanjang jalan kami menemukan banyak nama desa yang sepertinya sudah familiar kami dengar. Karena Provinsi Lampung ini dulunya adalah daerah tujuan transmigrasi, sehingga banyak sekali nama daerah yang menggunakan nama-nama layaknya kampung di Pulau Jawa. Blambangan, Kedaton, Pringsewu, Pekalongan, Sidomulyo, Sri Menanti juga nama sebuah daerah yang sama persis dengan kampung saya di Jawa yakni Wonosobo. Menurut data di Wikipedia, demografi penduduk di Provinsi Lampung hampir 60% lebih berasal dari Suku Jawa.

Bus sudah melaju lebih dari 2 jam namun kami masih belum sampai di kota Bandar Lampung. Beberapa kali bus sudah berhenti untuk menurunkan penumpang. Mungkin, jarak ke kota Bandar Lampung sudah dekat. Kami hanya bisa menebak-nebak saja meski memang nama jalan yang kami lalui ini, masih belum nampak di peta kota Bandar Lampung yang ada di buku Lonely Planet. Buku inilah yang kami bawa sebagai pegangan dalam perjalanan kali ini.
Yang kami lihat di luar masih debu, kering dan panas. Inilah menu selamat datang kami. Kami baru sampai di titik ujung perjalanan kami. Masih ada ribuan kilometer di depan yang akan menyambut. Entah itu dengan panas, dingin, terik, ataupun hujan. Dan kami akan menikmati perjalanan ini. Seperti sebuah perjalanan kehidupan yang menguatkan dan menyenangkan. Karena letupan setiap peristiwanya yang tak bisa kita tebak alurnya. I’m excited!

Melyn dan Hilmy di atas kapal Merak - Bakaheuni
Saya dan Hilmy di atas kapal Merak - Bakaheuni

Tidak ada komentar:

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...