Jumat, 30 April 2010

Pagi Ini

Pagi ini..
Telah kukemasi fotonya dari dompetku
Agar kamu tau..
Aku tak mau terbelenggu dengan masa lalu..

Pagi ini..
Telah kuterima pesan singkatnya
Bertutur kata..
Sedang berbahagia menanti kelahiran buah hatinya..

Pagi ini..
Esok hari..
Kita akan terus menguatkan..
Dengan cinta..

Meski hanya diam

Kamis, 29 April 2010

The Pursuit of Happyness



Cerita film ini dimulai pada tahun 1981 di San Francisco, California. Linda dan Chris Gardner hidup di sebuah apartemen kecil bersama anak mereka yang berusia 5 tahun, Christopher. Chris adalah seorang salesman yang menghabiskan seluruh tabungan keluarga untuk membeli franchise untuk menjual scanner tulang (Bone Density Scanner) portable. Scanner ini memang mampu menghasilkan gambar lebih baik dari X-ray, tetapi kebanyakan dokter yang ditemui Chris beranggapan bahwa harganya terlalu mahal. Linda, istrinya, bekerja sebagai buruh di sebuah laundry. Keluarga kecil ini mulai terpecah ketika mereka menyadari bahwa mereka tak mampu membayar sewa rumah dan tagihan-tagihan yang semakin menumpuk. Keadaan diperparah oleh kebiasaan Chris yang memarkir mobilnya sembarangan. Karena tak mampu membayar surat tilang, mobil Chris akhirnya disita. Puncaknya, Linda pergi meninggalkan Chris dan pergi ke New York City. Awalnya ia hendak membawa serta Christopher, namun urung atas permintaan Chris.

Dalam keadaan putus asa, Chris tak sengaja berjumpa dengan seseorang yang membawa Ferari warna merah. Chris bertanya kepada orang itu, pekerjaan apa yang ia lakukan sehingga mampu membeli mobil mewah? Orang tersebut menjawab bahwa ia adalah seorang pialang saham. Sejak saat itu Chris memutuskan untuk berkarir sebagai pialang saham.

Chris menerima tawaran magang tanpa dibayar di sebuah perusahaan pialang Dean Witter Reynolds yang menjanjikan pekerjaan bagi peserta magang terbaik. Dalam masa magang yang tak dibayar itu, Chris mulai kehabisan uang. Akhirnya ia diusir dari rumah sewanya dan menjadi tuna wisma. Selama beberapa hari ia tidur di tempat-tempat umum, namun kemudian ia memutuskan untuk tidur di rumah singgah Glide Memorial Chruch. Karena keterbatasan tempat, mereka harus mengantri untuk mendapatkan kamar. Kadang mereka berhasil, kadang gagal dan terpaksa tidur diluar. Kemiskinan dan ke-tunawisma-an ini semakin mendorong tekad Chris untuk menjalankan tugas dengan giat dan mendapatkan pekerjaan di Dean Witter Reynolds.
Di akhir cerita, Chris berhasil menjadi peserta terbaik dan diterima bekerja di sana. Beberapa tahun kemudian, ia mendirikan perusahaan pialang sendiri, Gardner Rich. Pada tahun 2006, ia menjual sebagian kecil sahamnya dan berhasil mendapatkan jutaan dolar dari penjualan itu.

Rabu, 28 April 2010

Planning Keuangan


Setelah membaca tulisan di blog www.ilmapratidina.com yang berjudul Terima Kasih Agenda, saya terinspirasi juga untuk melakukan hal yang sama. Agenda yang membantu untuk berdisiplin, memotivasi untuk bergerak, membuat planning serta mengontrolnya. Awal bulan ini saya mencoba membuat agenda keuangan saya. Menurut saya ini hal yang paling urgent karena ketidakbecusan saya mengatur keuangan pribadi. Boros, kata tepatnya. Dengan membuat planning ini saya berharap lebih bisa mengendalikan keuangan saya dan tentunya cukup sampai detik-detik akhir anti kembang kempis lagi. :)

Awal bulan setelah gajian saya mencoba membuat rancangan keuangan untuk bulan ini. Saya bagi kebutuhan primer dan kebutuhan tambahan. Memang semuanya serba saya efisienkan seminimal mungkin, bukan bermaksud pelit, tapi lebih kepada planning. Toh, pelaksanaanya juga tak harus selalu baku dan kaku. Harus bisa goyang sana goyang sini biar semuanya cukup, karena keterbatasan pendapatan. Hehe.

Setelah saya mencoba memplaningkan semua dan mencoba untuk tetap berjalan dengan koridor yang sudah saya planingkan, alhamdulillah semua berjalan lancar. Akhir bulan yang sebelumnya menjadi momok alhamdulillah tidak lagi karena masih ada recehan di kantong berkat penghematan di awal bulan. Kebutuhan bulan ini yang banyak juga alhamdulillah tercukupi karena ada pemasukan tambahan yang lumayan. Alhamdulillah ya Allah.. Mudah-mudahan bulan depan tetap bisa memplaningkan dan apa yang menjadi kebutuhan bisa tercukupi.. Amin..

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Aku Tak Tau Alasanmu

Sudah 3 hari ini aku mencari jejakmu. Dari inbox, facebook, gtalk, dan YM kucari accountmu. Tapi ku tak temukan dirimu disana. Aku yakin, pasti ada yang salah denganku, dengan sikapku, dengan langkahku, dengan ucapku bahkan mungkin dengan diamku. Beberapa hal sudah kita lewati, ketika kita saling diam, berbagi senyum, berbagi peluh ketika diri kita dihadapkan dengan masalah, berbagi bahagia ketika kita bisa bermimpi akan hari depan kita..

Kita telah melewati banyak hari dimana hari-hariku dipenuhi dengan motivasimu yang membuat semangatku membuncah setiap hari. Dengan pertanyaan-pertanyaan sederhanamu yang membosankan tapi membuat hidupku berwarna. Mungkin kamu telah bosan dengan diamku. Telah bosan dengan sikapku. Mungkin menjadi salahku, ketika aku tak bisa menunjukkan sikap seperti orang lain mencintai pasangannya. Aku terlalu egois dengan diriku dan problematikaku. Aku sangat mengakui itu..

Yang aku tau, wanita membutuhkan kepastian. Ketika kita menyusuri sebuah jalan di negeri antah berantah yang belum pernah kita jejaki. Kita pasti tidak tau apakah ending dari jalan itu akan seindah yang kita bayangkan. Tapi minimal kita harus tau seperti apa jalan yang kita lalui, apakah akan lurus tanpa halangan, atau berbelok-belok, naik turun dan banyak lobang. Mungkin itu definisi kepastian yang kamu inginkan. Dan meskipun aku punya peta, tapi sampai sekarang tidak bisa mendefinisikan jalan yang akan kita lalui itu seperti apa karena problematika-ku yang mungkin untuk sementara mengalihkan fokusku untuk kamu dan aku..

Tapi mungkin ini aku, orang yang kamu coba pahami. Ini aku dengan karakter tak sebaik yang kamu tau. Aku dengan egoisku, aku dengan segala problematikaku yang kubuat sendiri dan akan menjadi bom waktu buatku. Aku sebagai gambaran keluargaku. Hari ini aku tak tau alasanmu pergi. Bukan aku tak mau menghubungimu, membalas pesanmu. Aku menganggap kamu lebih jujur kepadaku ketika menuliskannya di blogmu.

Selasa, 27 April 2010

Mempertimbangkan Tradisi - Prie GS

IZINKAN saya mengutip salah satu judul buku WS Rendra ini: Mempertimbangkan Tradisi. ”Bangsa tanpa tradisi adalah bangsa yang hilang,” kata penyair ini.

Rendra sudah pergi, tetapi pesan-pesannya atas tradisi mengganggu saya hingga kini. Sementara tradisi kita melemah, tradisi pihak lain menguat. Sementara mereka menengah, kita meminggir. Kepada mereka tersedia seluruh peran utama, kepada kita hanya tersisa peran-peran figuran saja.

Sementara pihak lain membuat handphone kita cuma  sanggup menjual pulsa. Sementara mal-mal raksasa dibangun kita cuma kebagian menjadi penjaga. Sementara mereka membuat mobil, kita sekadar tukang kreditnya. Inilah hasil dari kekalahan tradisi itu.

Pihak yang kalah itu terpaksa mengenakan seluruh pakaian yang ukurannya ditetapkan pihak lawan. Kita menjadi serupa tawanan perang, pihak yang setelah kalah pun masih harus membayar pampasan. Bentuknya adalah kekalahan peran yang telak: yakni sekadar menjadi pelayan, pembuat chasing, tukang servis, tukang catat, kuli angkut, jago kepruk dan seterusnya.

Serendah itulah derajat manusia Indonesia? Tidak, jika bangsa ini sukses memperkembangkan tradisinya. Tapi jangankan diperkembangkan, tradisi itu, dipertimbangkan saja sering tidak. Jika sebuah jalan tol dibangun, siapakah pemegang tradisi besar di sebaliknya? Pasti bukan para petani, karena banyak petani malah kehilangan sawahnya demi proyek ini.

Jika sebuah mal raksasa dibangun, adakah ia bertumpu pada kepentingan masyarakat terbesar kita? Saya ragu, jika kehadiran pusat belanja malah menyebabkan kematian pasar tradisional dan warung-warung kelontong sebagai basis ekonomi publik yang nyata.

Maka gerakan besar bangsa ini ke depan harus segera diselenggarakan. Apa bentuknya? Perlawanan tradisi. Jika Eropa  sanggup mengembalikan mebel kita cuma karena keliru cara kita memaku, itulah keteguhan tradisi namanya. Mereka memiliki keteguhan membangun harga. Kepada mereka, akhirnya kita terpaksa cuma menjual barang dengan standar yang mereka tetapkan.

Sementara kepada kita, rasanya orang lain boleh berjualan apa saja: sampah, barang rongsok, ban bekas, kosmetik beracun, makanan berpengawet, zat warna berbahaya dan seterusnya.  Inilah kekalahan tradisi. Tradisi kita dalam menghargai diri sendiri memang terkenal rendah sekali.

Maka menjadi jelas, bahwa para penjaga tradisi itu, terutama, bukanlah publik semata-mata, tetapi para politikus, para  pemimpin, pembuat undang-undang dan aparat penegak hukum.

Karena  jangan lupa, ujung dari kebangkitan tradisi sebetulnya adalah kebangkitan moral.
Meskipun secara tradisi kita mengerti bahwa sebuah lahan sangat layak dikonservasi sebagai sawah abadi, tetapi jika secara moral kita goyah, sawah itu boleh saja diubah menjadi pencakar langit  karena besarnya komisi.

Jadi banyak sekali  tradisi yang dikorbankan bukan karena kita buta tradisi, melainkan karena kita amat hobi kepada komisi.

Gagal tradisi di lapis atas itu  akan merembet ke bawah sebagai gagal lanjutannya. Bentuknya adalah mental yang rapuh di depan persaingan. Kehadiran aneka pusat belanja yang bersih dan gemerlapan  itu memang ancaman  bagi toko-toko kelontong kita.

Tetapi banyak toko yang menolak berubah  dan malah mempercepat sendiri kematiannya. Ada toko yang begitu hemat lampu hingga memasukinya pembeli seperti masuk kuburan, ada yang malas mengecat temboknya yang kusam, ada pemilik yang melayani dengan ogah-ogahan dan ada pula pelayan toko yang bertugas sambil kerokan.

Banyak sekali pihak yang harus mati bukan karena persaingan tetapi mati oleh perilakunya sendiri. Maka mari mempertimbangkan tradisi agar terhindar dari aneka tradisi yang membangkrutkan. (35)

Senin, 26 April 2010

Lagi Suka

Lagi suka banget dengerin lagunya :

1. Laskar Pelangi - Nidji
2. Jangan Menyerah - D Masiv

Lagi suka banget nonton film :

1. 3 Idiots
2. (500)days of summer

Surat Kelulusan

Koran pagi memberitakan akan ada pengumuman hasil Ujian Akhir Nasional untuk SMA hari ini. Mungkin akan menjadi hari yang manis bagi banyak siswa sekolah, tapi akan menjadi hari yang mengecewakan juga bagi banyak siswa. Membaca berita ini, pikiran saya melayang jauh saat saya mengalaminya tepat 5 tahun yang lalu. Saat itu sekolah saya ada di Purwokerto, sedang rumah saya ada di Wonosobo yang berjarak kira-kira 90 km.

Seusai Ujian Nasional, sekolah menyarankan kami untuk kembali ke kota masing-masing. Jarak antara ujian dan pengumuman hampir ada 1 bulan lebih. Kami sangat menikmati waktu menunggu itu meskipun dengan perasaan was-was akan hasil ujian. Tiba-tiba sekitar 1 minggu sebelum pengumuman sekolah memberitahukan bahwa hasil pengumuman akan dikirim via pos ke alamat masing-masing. Busyet cing! Sekolah yang katanya standart Internasional. Dengan jurusan yang mentereng, Teknik Informatika. Kenapa nggak dipasang aja di web sekolah, apa via email masing siswa aja yaaa.. Kebijakan yang aneh! :))

Tiba hari saat pengumuman, pagi itu rasanya deg-degan bukan kepalang. Bukan apa-apa, seluruh silsilah dalam keluarga pasti akan gegeran kalau sampai tidak lulus. Hehehe. Setengah hari berjalan ketika tak ada surat datang ke rumah, wah pikiran udah kalang kabut. Bayang-bayang kelulusan semakin hambar.. Hahaha

Menjelang sore mas Ade, mbak Ari, dan mbak Uwik ngajak makan di kota. Pertemuan yang mengakrabkan kami dan kebersamaan kami sampai beberapa bulan kemudian saya merasakan status sebagai pengangguran. Dari dalam angkot menuju ke kota, kami melihat banyak anak-anak sekolah sedang merayakan kelulusannya, coret-coretan, konvoi-konvoi. Dan riuh rendah suara itu semakin menghanyutkan pikiran saya tentang surat kelulusan saya. Yang entah baru sampai kantor pos cabang mana. Bergelanyut sampai kemudian saya lupa tentang kelulusan. Sampai tiba disuatu siang ketika Pak Pos datang mengantar surat setelah 3 hari entah mengendap dimana. Pelan-pelan kubuka, dan alhamdulillah tulisannya : LULUS. Lega rasanya perjuangan orang tua saya waktu itu di tebus dengan 5 huruf itu.

*untuk mas Ade, mbak Ari & mbak Uwik yang mengisi hari-hariku setelah itu. Moment itu begitu saya tunggu, mudah-mudahan suatu saat kami bisa dipertemukan kembali

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...