Minggu, 26 Februari 2012

Suatu Hari Yang Pasti...

    gambar dari sini
"Suatu hari yang pasti. Aku akan membuang segenap imajinasi tentangmu ke dalam sebuah botol. Membuangnya ke laut. Ke tengah deburan ombak. Melayang dan terombang-ambing meninggalkan bayangmu. Kamu, yang akan melewati sisa hidup bersama takdirmu itu"

#Sayup

Sayup-sayup aku mendengarmu..
Bagai gugusan lagu..
Dan kumandang syair kesayangan kita dari radio..

Sedang bintang di luar sana nampak berkilauan..
Batas keindahan nampak jauh
Berkedip dalam fatamorgana
Terurai seiring langkah kita

Suatu malam di tengah Jakarta
Aku melihat bintang
Juga bayang..
Bayang yang kini jauh terbentang..

Jumat, 24 Februari 2012

Cahaya Bulan - Eross & Okta

Lagu yang selalu menemani malam-malam sepi ketika di Jakarta..



Perlahan sangat pelan hingga terang kan menjelang
Cahaya kota kelam mesra menyambut sang petang
Di sini ku berdiskusi dengan alam yang lirih
Kenapa matahari terbit menghangatkan bumi?

*

Aku orang malam yang membicarakan terang
Aku orang tenang yang menentang kemenangan oleh pedang

Perlahan sangat pelan hingga terang kan menjelang
Cahaya nyali besar mencuat runtuhkan badai
Di sini ku berdiskusi dengan alam yang lirih
Kenapa indah pelangi tak berujung sampai di bumi?

Aku orang malam yang membicarakan terang
Aku orang tenang yang menentang kemenangan oleh pedang

**

Cahaya bulan menusukku, dengan ribuan pertanyaan
Yang takkan pernah kutahu, di mana jawaban itu
Bagai letusan berapi, bangunkanku dari mimpi
Sudah waktunya berdiri, mencari jawaban kegelisahan hati

Terangi dengan cinta di gelapku
Ketakutan melumpuhkanku
Terangi dengan cinta di sesatku
Di mana jawaban itu?

Sujiwo Tejo - Jancuk

Senin, 20 Februari 2012

Terpaksa atau Tidak Terpaksa

Sabtu sore yang padat ketika saya ada janji dengan seorang kawan di daerah Lebak Bulus. Dari kost, saya beranjak pergi untuk naik Trans Jakarta melalui Halte Sarinah. Meskipun hari Sabtu, nampaknya Trans Jakarta masih penuh sesak juga. Setiap hari Trans Jakarta selalu penuh, tak peduli itu hari kerja atau hari libur. Mungkin aja saking banyaknya penduduk di kota ini ya. Tak berapa lama naik Trans Jakarta dari Halte Sarinah, saya sampai di Blok M. Dari Blok M, saya harus berpindah bus ke arah Lebak Bulus. Tapi sore itu nampaknya saya sudah terlambat beberapa menit dari jam janjian saya dengan kawan saya. Saya harus buru-buru sampai Lebak Bulus. Dan satu-satunya solusi transportasi di Jakarta ketika macet adalah ojek!

Saya mengurungkan niat saya untuk melanjutkan perjalanan dengan bus. Dari Blok M menuju Lebak Bulus saya naik ojek. Abang ojeknya mencoba membuka percakapan ketika sudah jalan.
"Nanti turun dimana mas? Terminal Lebak Bulus? Mau pulang kampung?" tanya Abang Ojek
"Turun di Point aja ya bang, mau ketemu teman"
"Saya kira mau pulang kampung. Biasanya kalau ke Lebak Bulus bawa tas kan mau mudik"
"Oh enggak kok. Mau ketemu teman saja"

Melihat logat percakapan dari Abang Ojek yang nampaknya bukan dari Jawa, saya mencoba bertanya.
"Kalau Abang, dari mana asalnya bang?"
"Saya merantau disini mas, saya dari Padang"
"Padangnya mana bang?
"Tepatnya di Solok mas, Sumatra Barat"
"Oh Solok, kebetulan saya juga punya saudara disana bang. Baru bulan puasa kemarin saya kesana"
"Ada acara apa mas kesana?"
"Ya silaturahmi aja bang, ke tempat saudara. Sudah lama bang merantau di Jakarta?" saya mencoba bertanya.
"Sejak umur 19 tahun saya sudah kesini mas" jawab abang itu.
"Sumatra Barat itu bagus banget ya bang alamnya."
"Iya mas, kalau bagus emang iya, Cuma cari uang di kampung susah mas. Ya mau nggak mau harus ke Jakarta"
"Tapi kan orang dari daerah sana mudah beraptasi dimana aja bang?"
"Ya karena terpaksa mas. Karena di daerah sendiri susah. Jadi kami harus merantau. Prinsip kami merantau itu yang penting rajin sama nggak usah royal atau boros. Pokoknya diusahakan caranya biar bisa menabung. Mas kan pernah ke daerah saya, menurut mas gimana?"
"Kalau yang saya tau, disana makanannya enak-enak bang. Hehe. Pemandangannya bagus-bagus"
"Iya mas, mudah-mudahan keadaan di kampung makin lama makin mudah buat cari uang. Semakin enak seperti alamnya. Sekarang keadaan mulai lebih baik. Sudah banyak teman-teman saya yang pulang kampung"

Sepenggal kutipan percakapan sore itu membuat saya berfikir. Dalam minggu ini saya sudah beberapa kali mendengar ucapan "cari penghidupan di kampung susah". Kalau di pikir-pikir benar juga. Kalau kehidupan di kampung mudah, tentu orang tak berlomba-lomba pergi ke kota. Termasuk orang-orang di kampung saya tak perlu jauh-jauh jadi TKI ke luar negeri. Penghidupan memang susah di kampung. Tetapi kalau semua orang pergi beranjak ke kota, siapa yang akan 'nguri-nguri' adiluhung kehidupan di desa?

Saya mungkin termasuk bagian dari orang yang pergi ke kota untuk mencari penghidupan juga. Bukannya tidak percaya bahwa saya bisa menghadapi keterbatasan di desa, namun sepertinya saya belum mencobanya saja. Atau bisa juga saya terbawa "mainstream" kebanyakan orang. Mainstream bahwa pekerjaan yang baik itu harus di kota, di perusahaan ternama yang akan memberi kita kemampuan finansial untuk hidup di kota. Sebatas itu? Harusnya tidak. Bahkan saya juga terpaksa tinggal dan hidup di kota.

Tetapi minimal sore itu saya harus belajar suatu hal dari Abang Ojek itu. Pelajaran bahwa ketika kita harus merantau, terpaksa atau tidak terpaksa, tekankan pada diri kita untuk jadi orang yang rajin. Juga rasa syukur kita atas apa yang sudah kita jalani. Kadangkala keterpaksaan akan membawa kita jauh lebih mensyukuri atas apa yang bisa kita hasilkan dari sebuah impian.

Selasa, 14 Februari 2012

Surat Terakhir Untukmu, Mbul :(

Hai Mbul..

Seharian ini entah kenapa aku kebayang kamu mbul. Sudah lama ya kita tidak berbincang-bincang seperti dulu. Siang tadi ketika sedang menyetrika baju, tiba-tiba aku teringat kamu. Lalu aku lihat twitter kamu mbul, kamu sudah lama nggak nulis apa-apa di twitter. Aku liat BBM, tapi sepertinya punyamu juga tidak aktif. Di YM kamu gak online.

Kamu ingat nggak mbul pertama kali dulu kita kenal? Lewat YM juga kan mbul. Aku masih ingat waktu itu aku masih jadi pegawai baru di kantor. Dapat tugas untuk mengerjakan complain dari customer service. Kamu yang waktu itu jadi customers service menyampaikan complain dari pelanggan ke aku. Kita komunikasi pakai YM. Dari situ kita saling akrab, jadi sahabat dekat. Waktu itu aku masih memanggilmu pakai sebutan 'mbak', meski kemudian kamu protes karena lebih akrab langsung manggil nama saja. Setelah itu kita lebih sering saling memanggil pakai sebutan 'mbul', 'sayyur' atau penggilan 'sri'.

Dulu aku selalu mengejek kamu 'tua' karena umur kita yang terpaut. Tapi tetep lebih tua kamu mbul.. Hehehe. Mungkin dulu kita bisa jadi sahabat akrab karena kita sama-sama suka iseng. Kamu inget nggak mbul, malam-malam kita pernah pergi ke Stasiun Tawang, bayar peron, masuk dan duduk hanya untuk duduk memandangi kereta. Pernah juga jalan-jalan keliling Semarang sampai jam 2 dini hari, lalu karena bingung rumahmu sudah terkunci dan kostku sudah tutup akhirnya kita menunggu pagi di sebuah warnet. Kalau diinget-inget konyol juga ya mbul.

Eh tapi ada yang lebih konyol lagi menurutku mbul. Minggu pagi saat kita sama-sama tidak ada pekerjaan dan bingung mau ngapain. Kita berdua naik motor ke Stasiun Poncol, lalu motor kita parkirkan. Kita masuk ke stasiun, dan naik kereta terserah kemana yang penting pemberangkatan pertama dari saat kita datang ke stasiun. Kita baru tau ternyata kereta yang kita tumpangi itu kereta jurusan Semarang - Solo. Hahaha. Pertama kalinya kita pergi ke Solo naik kereta. Yang membuatku salut, kamu nggak pernah mengeluh meski sepanjang perjalanan kita harus merasakan panas. Sampai di Solo, kita bingung mau ngapain. Iseng lagi, akhirnya kita naik becak ke tempat makan. Selesai makan kita balik ke Semarang naik bus. Judulnya numpang makan siang di Solo hehe. Naik bus dari Solo ke Semarang turunnya di Stasiun Poncol. Ngambil motor di parkiran lalu kita menghabiskan malam dengan ketawa-ketawa karena akhirnya untuk pertama kalinya kita bisa makan sate kuda. Haha

Kamu masih ingat kan mbul? Kamu baik-baik disana kan mbul?

Oiya, kamu juga pernah ikut aku mudik ke Wonosobo ya mbul. Kita pergi ke Dieng dan Telaga Menjer. Aku selalu mengejekmu ketika kamu di Wonosobo. Waktu itu kan kamu gak berani mandi saking dinginnya. Katamu, air mandinya seperti air es. Ah, banyak sekali kenangan bersamamu mbul. Aku ingat ketika setiap malam kamu menjemputku ke kantor, menghabiskan makan malam ke tempat-tempat baru yang belum pernah kita datangi. Atau sekedar duduk di balkon kantor dan berdebat tentang jumlah bintang yang kita hitung malam itu. Setelah itu aku mengantarmu pulang dan kamu selalu menghitung berapa menit perjalananku dari rumahmu ke kostku. Kalau menitnya lebih cepat dari waktu standar pasti kamu sms : 'jangan ngebut mbul!'

Aku pernah mengantarmu ke rumah sakit ketika kamu sakit. Setelah kamu cek darah, kita harus menunggu hasilnya. Kita duduk di ruang tunggu berdua. Karena capek seharian bekerja, aku tertidur di kursi ruang tunggu. Bangun-bangun kamu malah ketawa karena kamu berhasil memfoto aku waktu aku tertidur. Kamu hebat, meski sakit tapi kamu tetap ceria dan tak pernah menampakkan rasa sakitmu.

Kita melewati hari-hari yang sangat bersahabat itu begitu lama. Namun kemudian kita terpisah ketika aku memutuskan resign dari kantor dan pindah ke Jakarta. Dua bulan berselang sejak aku resign, kamu juga resign karena ingin mempersiapkan pernikahanmu dan mengikuti suami yang kerja di Papua. Akhirnya kamu nikah juga ya mbul. hehehe. Bersama laki-laki hebat yang kamu cintai dan selalu kamu ceritakan kepadaku itu. Aku turut senang ketika kamu juga akhirnya bersahabat dengan teman-teman STM-ku.. :)

Sore ini aku pulang kantor menyusuri sebuah jalan. Di jalan itu aku melihat bapak penjual bunga. Bunganya sangat cantik mbul. Tapi sepertinya bunga itu tak ada artinya bagiku ketika aku mendapat sebuah bbm dan beberapa teman menelponku. Aku nggak percaya mbul! Sungguh! Beberapa bulan lalu kamu memang sering cerita keadaanmu. Tapi aku tak pernah menyangka akan seperti ini mbul. Kita pasti mengharapkan yang terbaik. Kamu pernah juga mengirim foto terakhirmu yang membuat aku begitu sedih.

Mbul,

Aku baru tau kenapa dari pagi aku keinget kamu. Mungkin itu yang dinamakan isyarat ya mbul. Akhirnya kamu bisa terlepas dari penyakitmu. Aku yakin kamu bahagia disana mbul. Banyak orang mengenangmu dengan indah. Suamimu akan jadi orang yang kuat karena cinta darimu. Aku percaya itu. Kamu juga pasti percaya kan mbul?

Aku tau kamu tak akan membaca surat ini mbul. Tapi setidaknya biarkan aku bilang bahwa kamu akan melihat pelangi. Seperti ada di twitt terakhirmu : "Bs liat pelangi, km?"

Kamu tidak pergi, kamu hanya sedang pulang..
Innalillahi Wa Innailaihi Rajiuun.. Selamat Jalan.. Sampai berjumpa lagi disana :(

Rabu, 08 Februari 2012

mBolang Yogyakarta - Pacitan (hari ketiga)

Hari ketiga kami mulai dengan asik ketika pagi-pagi kami sudah beranjak pergi ke pusat kota Pacitan. Semalaman kami tidur di rumah Noe yang nyeyak setelah melewati mBolang Yogyakarta - Pacitan (hari kedua) yang sungguh indah. Pagi yang gerimis itu kami berangkat ke kota dengan melewati barisan hutan yang hijau bermetafosis dengan udara dingin pagi. Kota Pacitan memang sepi menurut kami. Sebelum sampai di pusat kota, kami terlebih dahulu mampir ke sebuah pantai yang begitu dekat dengan pusat kota Pacitan. Pantai Teleng Ria namanya. Pantainya biasa saja, tapi sepertinya pantai ini lebih terkenal karena lebih dekat dengan pusat kota serta banyaknya pemukiman di sekitar pantai. Di pinggir pantai juga ada semacam penginapan. Di sisi kanan pantai ada pelabuhan ikan yang ramai dengan nelayan yang kembali dari laut.

Suasana pantai masih sepi karena gerimis, mungkin juga karena hari ini adalah hari Senin.Hanya kami berempat yang ada di pinggir pantai. Duduk-duduk menikmati pemandangan pagi. Kami lebih banyak diam, mungkin saja karena terlalu pagi sehingga nyawa belum terkumpul sepenuhnya. Selang beberapa saat, ada 2 orang orang datang untuk bermain bola. Hilmy dan Noe bergabung ikut bermain. Vira duduk di pasir memandang laut. Saya mencoba jalan ke sisi kanan pantai, ke arah pelabuhan. Pantai ini luas, tetapi nampaknya terlalu komersil. Bentuk cekung pantai ini bisa juga terlihat dari atas bukit. Dari pantai ini saya mengambil kesimpulan kalau Kabupaten Pacitan ini di kelilingi oleh gunung dan laut.

 

Dari pantai ini kami melanjutkan perjalanan kami ke arah pusat kota. Keliling-keliling sebentar sampailah kami di pusat kotanya. Suasananya sangat sepi menurut saya. Bahkan alun-alun Pacitan juga sepi. Entah bagaimana kalau Julia Perez jadi Bupati di Kabupaten ini, akankah beliau bisa betah hidup di sini hehe. Kami mencoba mencari sarapan, namun tidak ada warung makan yang sudah buka pagi itu. Sempat bertanya ke orang di pinggir alun-alun, namun dia juga tidak mengerti.

Bosan dengan sepi di Pacitan kami melanjutkan perjalanan kami kembali ke rumah Noe. Beristirahat sampai agak siang kemudian kami pamit untuk kembali pulang ke Yogyakarta. Perjalanan Pacitan - Yogyakarta kali ini nampak lebih cepat dibanding ketika kami berangkat dari Yogyakarta ke Pacitan. Sempat ingin mampir ke Pantai Paranggupito di Wonogiri namun kami urungkan ketika di Pracimantoro, Wonogiri kami bertanya kepada orang di pasar apakah jarak ke Pantai Paranggupito jauh atau tidak. Dari penuturan orang di pasar itu mereka menuturkan kalau jarak ke pantai sekitar 30 km dengan jalan berkelok. Kami percaya saja, untuk kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta.

Sesampai di Yogyakarta kami mampir ke sebuah pabrik coklat di Kotagede. Sejak berangkat ke Yogyakarta, Vira memang sudah ingin sekali untuk membeli coklat di tempat ini. Namanya "Coklat Monggo" Di sini ada berbagai macam produksi coklat. Bahkan bermacam-macam rasa juga. Mungkin semacam tempat yang 'mbetahin' bagi penggemar coklat.



Selesai dari Pabrik Coklat Monggo, kami beranjak lagi ke Pantai Depok di selatan Yogyakarta. Pantai ini dekat dengan Pantai Parangtritis. Sehari sebelumnya kami begitu menikmati pantai indah dan bersih di Pacitan. Begitu sampai di tempat ini rasanya seperti biasa-biasa saja. Hanya pantai dengan pasir yang kotor oleh sampai. Serta hilir mudik orang yang membuat kami terdiam. Diam duduk menikmati keramain yang mungkin tidak begitu kami nikmati. Hanya satu hal yang membuat kami ada di tempat ini. Bukan pantai, bukan pasir juga bukan keadaan pantainya. Namun senja sore ini yang luar biasa. Tidak sesyahdu senja di Pantai Lhok Nga memang. Namun setidaknya sore ini kami belajar lagi akan keagungan Tuhan yang menyertai perjalanan kami, pembelajaran kami.






Hampir magrib ketika kami keluar dari pantai kemudian kami beranjak pergi. Badan sudah terasa capek, mungkin titik puncak dalam perjalanan kali ini sudah kami lewati. Tinggal kenangan, hikmah dan rasa syukur serta teka-teki apa yang membawa kami kepada perjumpaaan-perjumpaan serta keterkejutan kami akan apa yang sudah kami lihat.

..bersambung ke hari keempat.

Selasa, 07 Februari 2012

mBolang Yogyakarta - Pacitan (hari kedua)

Selepas hari pertama mBolang Yogyakarta - Pacitan. Di hari kedua kami bersiap untuk pergi ke Pacitan, Jawa Timur. Semalaman kami menginap di kost Noe di Yogyakarta. Pagi sekitar pukul 7 kami beranjak pergi ke arah Pacitan melalui jalur Yogyakarta - Wonosari - Pacitan. Kali ini kami berempat karena Iftien sudah kembali ke Kebumen. Saya, Hilmy, Vira dan Noe. Tanpa sempat sarapan kami melaju, dingin sisa hujan tadi malam masih terasa. Lepas dari Wonosari kami melewati gugusan pegunungan kapur yang panjang. Di kanan kiri yang nampak hanya pemandangan gunung kapur. Sesekali ada ladang jagung yang luas, mengingatkan saya pada pemandangan ladang gandum di game German Truck Simulator. Indah!

Gunung kapur nampak kering dan gersang. Beberapa kali kami melewati perkampungan yang sepi. Jarang sekali melihat anak muda di daerah ini. Mungkin, karena daerah ini gersang sehingga kebanyakan anak muda lebih suka untuk merantau ke kota besar. Jalanan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini sangat mulus. Saya sempat nyelutuk, kalau jalanan sudah tidak mulus lagi berarti kita sudah masuk Jawa Tengah. Hehe. Tapi kondisinya memang demikian, jalanan di Yogyakarta dengan Jawa Tengah sangat berbeda.

Lepas dari jalan mulus di Yogyakarta, kami mulai masuk ke jalan yang 'kurang' mulus. Nampaknya, kami sudah masuk daerah Wonogiri Jawa Tengah. Pemandangan di luar masih sama, tebing-tebing gunung kapur yang indah. Kira-kira 30 km dari Wonosari ketika kami menemukan sebuah papan petunjuk Museum Kars Indonesia. Daerah ini masuk wilayah Pracimantoro,Wonogiri, Jawa Tengah. Sempat heran karena ada museum di tengah pegunungan kapur seperti ini. Kami berinisatif masuk ke areanya. Sambil masih bertanya Museum Kars Indonesia ini museum apa? Kenapa didirikan di tengah pegunungan kapur seperti ini?
Kars merupakan istilah bahasa Jerman yang diadopsi dari bahasa Slovenia yang berarti lahan gersang berbatu. Kars diartikan sebagai bentang alam yang terbentuk akibat pelarutan batuan. Umumnya batu gamping maupun dolomite oleh air. Selain itu, pembentukan kars dipengaruhi oleh faktor struktur geologi, relief, iklim dan waktu. Museum ini dibangun dan baru diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 30 Juni 2009. Prasasti peresmian itu terpasang di depan museum. Daerah Wonogiri, khususnya Wonogiri bagian Selatan seperti Pracimantoro memang merupakan daerah yang tandus dan alamnya di penuhi oleh batu-batu kapur. Museum Kars ini letaknya sekitar 2 kilometer dari pusat kota Pracimantoro. Di dalam museum, wisawatan akan disuguhi tentang berbagai gambar, diorama film dan informasi tentang Kars dari seluruh dunia. (koranjitu.com)
Ternyata daerah ini termasuk dalam kawasan kars. Sempat bingung dengan istilah kars ini, tapi setidaknya informasi di dalam museum lumayan membantu. Yang saya simpulkan dari museum ini isinya tentang batuan sebagai pembentuk kawasan kars, gua-gua disekitar museum juga tentang kehidupan masyarakat yang tinggal di daerah kars. Selebihnya bingung! mungkin harus belajar geologi dulu ya atau bisa juga saya 'gak dong' karena belum sarapan (alibi). Yang membuat salut adalah tentang bagaimana masyarakat bisa bertahan hidup di daerah yang kering dan gersang seperti kawasan kars. Kalau masih ingin tau tentang kars bisa di buka di wikipedia :)









Hanya beberapa saat kami mampir di Museum Kars untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke arah Pacitan. Kami terus melaju ke arah timur, masih di daerah Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Melewati jalanan yang naik turun di sela-sela gunung kapur. Pemandangan indah yang tentunya berbeda dengan topologi daerah di Indonesia pada umumnya.

Kami yakin sudah masuk ke wilayah Pacitan, Jawa Timur ketika kami melewati gapura selamat datang dengan tulisan "Selamat Datang di Bumi Kelahiran Presiden SBY". Yup, Pacitan ini memang tempat kelahiran Presiden Indonesia. Kami terus melaju sampai kemudian bertemu papan petunjuk ke arah Pantai Klayar, tujuan pertama kami. Melewati jalan rusak yang panjang dengan pemandangan desa-desa yang sepi. Jalanan rusak sehingga menggoncangkan seluruh isi mobil yang kami tumpangi ini. Semua kembali ke pengharapan awal, "Perjalanan yang jauh dan rusak harus ketemu pantai yang bagus". Masih kebingungan seberapa jauh pantai Klayar bisa kita jangkau ketika kami mampir untuk mencari pengganjal perut di sebuah kios kecil, di tengah kampung dengan jalan rusak. Bahkan sinyal hp pun tidak bisa terjangkau dari sini.

Setelah beberapa saat, sampailah kami di sebuah pantai yang luar biasa indah! Pantai Klayar Pacitan! Tidak ada yang sia-sia nampaknya. Perjalanan jauh dengan jalan rusak langsung dibayar tunai dengan indahnya pantai ini. Laut sedang pasang, ombak begitu meninggi sehingga petugas penjaga pantai tidak henti-hentinya memperingatkan pengunjung untuk tidak berenang di pantai. Kami sarapan di sebuah warung makan dengan penjual yang begitu ramah dan bersahabat. Dari percakapan dengan bapak penjualnya, kami baru tau ternyata jalan yang kami lalui tadi bukan jalan utama, pantas saja jalannya begitu rusak. Selesai makan kami langsung bergegas untuk menuju sebuah bukit di sisi kiri pantai. Pemandangan dari atas bukit sungguh indah sehingga panas terik siang tidak begitu kami rasakan.

Pantai Klayar dari atas (dari wikimapia) :



Indahnya Pantai Klayar Pacitan :







Setelah puas menikmati keindahan Pantai Klayar yang konon begitu bagus ombaknya untuk selancar. Kami melanjutkan perjalanan untuk transit ke rumah Noe yang ada di Pacitan. Istirahat sebentar di rumahnya, kami melanjutkan perjalanan kami ke Goa Gong yang masih ada di wilayah Pacitan juga. Goa Gong ini masuk dalam kawasan kars yang teorinya kami dapatkan di Museum Kars sebelumnya. Pegunungan di Pacitan adalah rangkaian pegunungan tandus di mulai dari Kebumen Jateng (Pegunungan Sewu), terputus di Wates Jogjakarta, dilanjutkan di Gunung Kidul/Wonosari (Yogyakarta) hingga Pacitan, Ponorogo, Trenggalek dan terus ke Malang dan Jember

Layaknya ketika berada di Lubang Jepang Bukit Tinggi, saya masih agak 'malas' untuk masuk ke Goa/Lubang. Semacam ada kesumpekan ketika ada di dalamnya. Ada perasaan semacam terpenjara sehingga ingin sekali keluar dari dalamnya.



Selepas dari Goa Gong kami melanjutkan perjalanan ke arah Pantai Srau, masih di Kabupaten Pacitan. Dari perjalanan ke Goa Gong ke arah Pantai Srau kami sedikit mengetahui topografi daerah Pacitan yang berbukit-bukit. Jalanan masih saja sepi sehingga kami sempat berfoto di tengah jalan yang kanan kirinya penuh dengan hutan.



Kami sampai Pantai Srau ketika langit mendung menghiasi cakrawala. Mungkin kami gagal untuk menikmati senja disini, tapi setidaknya pantai ini juga sungguh indah. Pantai ini sangat sepi, hanya ada kami berempat disini sehingga kami menyebutnya 'private beach'. Pantai yang begitu pasir putih yang membuat kita kagum akan penciptaan yang indah ini.

Di pantai ini kami akhirnya mencoba untuk mandi. Menyatukan diri dengan alam, begitu Hilmy menyebutnya. Memasrahkan diri kepada ombak, menyatu dengan pasir juga mengikuti irama setiap deburan yang membuat kita sungguh merasa kecil. Menikmati angin, gerimis dan belaian alam yang membuat kami bersyukur bisa sampai ada di tempat ini. Sore, gerimis, pantai putih, ombak, dan nada indah dari pianika. #bahagiaitusederhana










Hampir menjelang magrib ketika kami meninggalkan Pantai Srau ini. Perjalanan pulang dengan baju yang basah kuyup karena mandi di pantai. Vira memilih duduk di bak belakang agar dapat menikmati hujan katanya. Langit gelap sedang bayang-bayang tentang penciptaanNya masih membayang di benak kami sore itu. Saya buka HP, tiba-tiba saya teringat puisi Sapardi.

mencintai angin harus menjadi siut
mencintai air harus menjadi ricik
mencintai gunung harus menjadi terjal
mencintai api harus menjadi jilat
mencintai cakrawala harus menebas jarak
mencintaiMu harus menjadi aku

Sapardi - Sajak Kecil Tentang Cinta

Bersambung ke hari ke-3 --> http://ginanjaryuwana.blogspot.com/2012/02/mbolang-yogyakarta-pacitan-hari-ketiga.html

Senin, 06 Februari 2012

mBolang Yogyakarta - Pacitan (hari pertama)

Seperti tidur dalam ketidaksempurnaan. Ada semacam ketidakpuasan juga kelegaan. Ketidakpuasan karena hanya dapat tidur beberapa saat. Atau bisa juga kelegaan karena masih sempat tidur. Pagi ini saya terbangun ketika kereta yang saya tumpangi semalaman dari Stasiun Pasar Senen Jakarta, sudah sampai di Stasiun Kroya, Jawa Tengah. Sayup-sayup diperdengarkan musik keroncong dari Stasiun ketika kereta yang saya naiki berhenti untuk menurunkan penumpang meskipun sejenak. Perjalanan kereta untuk sampai di Yogyakarta masih beberapa jam lagi.

Vira yang duduk di sebelah saya masih tertidur lelap. Sementara di luar masih gelap. Sepertinya subuh baru saja berkumandang. Kereta perlahan berjalan kembali menjauh dari Stasiun Kroya. Kanan kiri yang nampak di luar kaca kereta hanya sayup-sayup gelap. Saya mencoba memejamkan mata tapi tidak bisa kembali terlelap. Mungkin ada baiknya saya menikmati kekosongan pagi ini. Melihat sisi lain kehidupan kereta di pagi hari ketika masih banyak penumpang tidur. Ketika banyak petugas kereta yang hilir mudik dari rangkaian depan ke belakang untuk mengambil bantal yang mereka sewakan ke penumpang-penumpangnya. Atau seorang bapak berjalan kesana-kemari untuk menawarkan segelas kopi.

Semalaman ini saya dan Vira naik kereta menuju Yogyakarta. Rencananya kami (ditambah Hilmy dan Iftien yang akan kami temui di Yogyakarta) akan menghabiskan beberapa hari di Yogyakarta dan Pacitan. Sebenarnya ini di luar rencana yang kami susun beberapa bulan lalu. Tujuan awal kami bertiga adalah pergi ke Karimunjawa. Segala keperluan kesana sudah kami siapkan termasuk memesan tiket kapal dari Semarang ke Karimunjawa. Manusia boleh merencanakan tapi Tuhan yang menentukan. Dua minggu sebelum keberangkatan kami ke Karimunjawa, tiba-tiba ada berita kalau untuk sementara pelayaran kapal ke Karimunjawa ditutup karena buruknya cuaca pada bulan Januari sampai Maret. Jadi, untuk sekadar menghilangkan kekecewaan kami tidak jadi pergi ke Karimunjawa, pergilah kami ke Yogyakarta dengan kereta yang kami naiki ini.

Beberapa jam selepas dari Stasiun Kroya, perlahan langit mulai menunjukkan fajarnya. Embun membasahi pepohonan di kanan kiri jalur kereta. Vira sudah terbangun ketika saya menunjukkan pemandangan indah yang kami lihat di luar. Pemandangan matahari yang beranjak bangun dari tidurnya. Kami membuka jendela yang ada di samping kami. Kami tarik nafas dalam. Fufh, segar sekali. Udara di pinggir sawah dan ladang seperti ini tak bisa kami dapatkan di Jakarta. Kereta berjalan sementara pemandangan yang sejuk menghiasi perjalanan kami ini.


Hampir 2 jam ketika kereta yang kami naiki ini mulai masuk kota Yogyakarta. Setelah Stasiun Kroya, kereta sempat berhenti di Stasiun Gombong. Udara di luar masih sejuk ketika kereta sampai di Stasiun Tugu Yogyakarta. Turun dari kereta, saya dan Vira duduk sebentar untuk melepas lelah dan cuci muka. Saya SMS ke Hilmy dan Iftin untuk bertanya apakah mereka juga sudah sampai di Yogyakarta. Ternyata mereka masih di bis dari Banyumas dan kira-kira baru sampai di Yogyakarta pukul 10! Hahaha. Padahal saat itu baru jam 7 pagi.

Saya dan Vira keluar dari Stasiun Tugu selepas cuci muka. Di depan stasiun kami sempatkan sarapan. Boleh tidak mandi, yang penting sarapan tak boleh terlewatkan. Hehe. Setelah sarapan, kami berinisiatif jalan-jalan di sekitar stasiun untuk mengisi waktu sambil menunggu kedatangan Hilmy dan Iftien. Dari Stasiun Tugu kami berjalan menuju ke arah Jalan Malioboro. Harus sabar untuk menolak banyak tawaran becak di sepanjang jalan. Jalan Malioboro masih lengang karena jam juga baru beranjak sedikit dari pukul 7 pagi. Beberapa toko baru siap-siap untuk buka. Jalan beberapa saat menyusuri Jalan Malioboro, kami sampai di depan Museum Benteng Vredeburg. Kami duduk beristirahat di depannya untuk melepaskan beban bahu kami dari ransel berat kami. Duduk agak lama disitu sambil terkantuk, sementara Hilmy dan Iftien masih belum dalam perjalanan.

Bosan duduk di depan Museum Benteng Vredeburg kami mencoba berjalan ke arah Taman Pintar. Saya sempat menawari Vira untuk masuk ke Taman Pintar. Tapi sepertinya dia ragu karena yang masuk kesitu hanya anak-anak kecil. Hahaha. Dari depan Taman Pintar kami jalan lagi ke arah Taman Budaya. Di toko-toko buku sebelum Taman Budaya kami berhenti. Vira mencari buku Asma Nadia yang dia cari sedari dulu belum ketemu, tapi masih saja tidak ada. Sambil istirahat duduk di bawah pohon kami mencoba melepas lelah. Saya mencari buku Pram, ketemu dan harganya lebih murah dibanding harga di toko buku besar. Tapi begitu terbeli, baru sadar ternyata buku yang saya beli ini buku bajakan. 

Setelah agak lama duduk-duduk di toko buku itu saya dan Vira beranjak pergi. Kami pindah ke Masjid di Taman Pintar untuk menunggu kedatangan Hilmy dan Iftien. Belum lama duduk lama disitu, mereka datang juga. Fufh, selesai penantian kami. Setelah kami berempat sudah berkumpul disitu, datanglah teman Hilmy bernama Noe, sebut saja begitu namanya karena wajahnya yang mirip vokalis Letto. Hehe. Noe ini akan mengantar kami keliling menjelajah Yogyakarta. Yey, tak perlu takut salah jalan. :)

Dari Taman Pintar rencananya kami akan menjelajah pantai-pantai di Wonosari. Wonosari adalah ibukota dari Kabupaten Gunung Kidul yang ada di sisi selatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kira-kira memakan perjalanan 1-2 jam menuju kesana. Wonosari terkenal dengan gugusan pantainya yang luar biasa indah. Perjalanan Yogyakarta - Wonosari melewati jalan yang naik turun belak belok karena melewati gugusan banyak bukit disisi selatan Kota Yogyakarta. Tapi jangan khawatir, rata-rata kondisi jalan di provinsi ini sangat bagus. Setelah mampir untuk mandi di sebuah SPBU di Playen, Gunung Kidul sampailah kami di tujuan pertama kami : Pantai Baron. Sebenarnya pantai ini tidak terlalu istimewa, sehingga tujuan kami pertama kesini adalah untuk shalat dan sarapan :) Di Pantai ini ada pasar yang banyak menjajakan ikan segar yang bisa dibeli sekaligus langsung dapat dimasak di tempat. Ada 1 menu ikan yang membuat saya agak tercengang : Ikan Hiu. Bukankah ini termasuk ikan yang dilindungi ya? CMIIW..



Tidak lama kami berada di Pantai Baron, kami berpindah ke pantai lain di sebelah timur. Jarak satu pantai dengan pantai lain saling berdekatan. Dari Pantai Baron ke sisi timur masih ada Pantai Kukup, Sepanjang, Drini, Krakal, Ngandeng, dan Sundak. Dari Pantai Baron kami memilih untuk ke Pantai Krakal. Secara umum, pantai-pantai di Wonosari ini berpasir putih dan berkarang-karang. Situasi di Pantai Krakal lebih sepi dibandingkan dengan Pantai Baron yang lebih dahulu dikenal.








Dari Pantai Krakal kita melanjutkan perjalanan ke arah timur lagi. Masih banyak gugusan pantai yang sepertinya sangat sayang jika dilewatkan. Untuk menghemat waktu kita memilih satu pantai saja yang kita kunjungi lagi, Pantai Siung. Jaraknya kira-kira 10 km ke arah timur lagi. Perjalanan ini agak jauh dengan jalan yang naik turun tetapi tetap mulus. Melewati banyak tebing-tebing berbatu di sisi kiri jalan yang membuat perjalanan ini sangat bisa dinikmati.

Perjalanan yang lumayan jauh ini membuat ekspetasi kami meninggi. Perjalanan yang lumayan jauh harus ketemu pantai yang bagus. Dan setelah beberapa saat sampailah kami di Pantai Siung. Subhanallah. Pantainya luar biasa indah dengan pasir putih. Di sisi kira pantai ada sebuah bukit batu yang jika kita naik ke atasnya kita bisa melihat bentangan samudra serta pasir putih pantai. Kami mencoba naik ke atas bukit, angin bertiup begitu kencang sehingga badan saya yang kurus ini serasa ingin terbawa angin karenanya.


 


 
 
 
 

Turun dari atas bukit kami berpindah ke sisi kanan pantai. Ada banyak bebatuan besar disisi kanan Pantai Siung yang sepi dan indah ini. Sepertinya ini tempat yang sangat indah untuk prewedding kita *plak *berkhayal


 


 
 

Sudah beranjak ke pukul 5 sore ketika kami harus meninggalkan Pantai Siung untuk kembali ke Yogyakarta. Besok, kami harus melanjutkan perjalanan kami ke Pacitan. Kira-kira pukul 7 kami sampai di Yogyakarta lagi. Setelah mengantar Iftien ke Terminal Giwangan karena dia harus kembali ke Kebumen, kami transit ke tempat tinggal Noe untuk menumpang mandi.

Selesai mandi, kami pergi untuk cari makan. Mondar-mandir karena bingung mau makan dimana, tersesatlah kami di Taman Pelangi depan Museum Jogja Kembali. Taman Pelangi ini dihiasi dengan taman penuh lampion-lampion. Di dalam Taman Pelangi ini ada banyak penjual makanan juga ada pertunjukan musik dengan lagu-lagu yang menggalaukan hati. Mungkin konsepnya seperti pasar malam. Sepertinya tempat ini hanya buka ketika malam karena fokus mereka pada lampionnya. Mana asik kan kalau melihat lampion siang-siang. Hehe





...bersambung ke hari kedua --> http://ginanjaryuwana.blogspot.com/2012/02/mbolang-yogyakarta-pacitan-hari-kedua.html

Sabtu, 04 Februari 2012

Franky & Jane - Perjalanan


Dengan kereta malam
Ku pulang sendiri
Mengikuti rasa rindu
Pada kampung halamanku
Pada Ayah yang menunggu
Pada Ibu yang mengasihiku

Duduk dihadapanku seorang ibu
Dengan wajah sendu
Sendu kelabu
Penuh rasa haru ia menatapku
Penuh rasa haru ia menatapku
Seakan ingin memeluk diriku

Ia lalu bercerita tentang
Anak gadisnya yang telah tiada
Karena sakit dan tak terobati
Yang wajahnya mirip denganku

La Neige Au Sahara - Anggun

Si la poussiere emporte tes reves de lumiere
Je serai ta lune, ton repere
Et si le soleil nous brule
Je prierai qui tu voudras
Pour que tombe la neigi au Sahara

Jika harapanmu hancur berkeping-keping
Aku akan menjadi bulan yang menerangi jalanmu
Matahari bisa membutakan matamu
Aku akan berdoa pada langit
Agar salju berderai di Sahara


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 01 Februari 2012

“Tak Sepadan” (Chairil Anwar-Februari 1943)

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahgia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka.

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...