Senin, 25 Juni 2012

Good Preparation and Good Reason

Suatu sore, teman saya dari Filipina mengirim link sebuah alamat web. Dia bilang, dia teringat saya sebagai orang Indonesia ketika dia membacanya. Setelah saya baca, ada benarnya juga. Bagi saya sendiri, menikah selain harus punya persiapan yang baik, tentu membutuhkan alasan yang baik juga. Good preparation and good reason.

Saya share artikel menarik ini dari : http://www.thejakartaglobe.com/blogs/altar-run-and-indonesias-marriage-obsessed-society/524140 . Ditulis oleh Anahita
 
“Indonesian girls are like Christmas trees. Hot commodities before the 25th, but on ‘Clearance Sale’ immediately after,” said Amira, 23, an architect.

I cringed upon hearing her words. The realization that one day I have to go home to a marriage-obsessed society frightened me.

“And do you know what’s even worse? A friend of mine was once told by her mother that if she’s not married by the time she’s 24, it proves that she’s not wanted by men,” she continued.

We then agreed that the harsh statement might be a function of how women used to be married by the time they were 18. Well, maybe in their early twenties if they were lucky. However, it puzzled me how Indonesian mothers still advocate this kind of horrible arrangement. Of all people, they should know better than to rush their daughters to marriage.

I have a friend who got married only to fulfill her mother’s deathbed wish, and it was catastrophic. Contrary to what her mother thought, the couple wasn’t compatible for each other, and she wasn’t emotionally prepared for marriage. So, they got divorced a year later.

As a friend puts it, starting from their early twenties, Indonesian women are automatically signed up for this game called, "Altar Run." Much like its iPhone counterpart "Temple Run" game, you are basically running as fast as you can while chased by vicious monkeys (read: relentless relatives who keep asking the same questions). The exact wording may vary, but they’re somewhere along the lines of, “When are you going to get married?” or, “Aren’t your parents expecting grandchildren, already?”

One way to survive this game is through evasion: sidestepping questions, changing the subject or just plain running away from these relatives every time they come near. Another way is by improving your armor: develop a thick skin and ignore the questions and comments so that you can stop these relatives from sucking the happiness out of your life.

Now, "Altar Run" is not a women-only game. Although women face earlier onset, men are not free from its grip. A guy friend turned thirty a couple months ago, and all people seemed to do was evaluate his marital status. My Indonesian friends speculated a dozen different reasons why he wasn’t seeing anyone at all. They laid down their cases as if there was something enormously wrong with the way he leads his life. I defended him wholeheartedly, explaining to them that marriage was not his priority since he spent the last five years finishing a PhD, but my effort was for nothing.

I was lucky that I didn’t spend my early twenties in Jakarta. Instead, I took my sweet time to study and work in Singapore, using the work bond I got from my undergraduate scholarship as an excuse. I have to say, though, that I did have to play "Altar Run" whenever I visited Jakarta. But, you know what, I never felt sorry to disappoint my relatives (or my parents) with what I had to say. I loved my life and I don’t regret that I refused to live up to their expectations, i.e. getting married and having babies by the time I was 25. I grew so much over those years from having full liberty to work, learn and travel. It was a precious time in my life; I wouldn’t have achieved as much if I’d been strung to another person, worried about how moving to another continent for a work opportunity would affect him.

Truth be told, I have nothing against people who seek marriage from a young age. What I do have a problem with is how a lot of Indonesians get married for all the wrong reasons. Some people get married because they gave up on surviving "Altar Run." Others do because they are taught that marriage completes them as a person, or that it’s a rite of passage to becoming responsible adults. The thing these people need to realize is that social pressure, no matter how great, does not make it true.

In fact, getting married without factoring in emotional and financial readiness may be the most irresponsible act you and your partner can do. Even worse, Indonesians are very reluctant to be up-front about their own expectations. Discussing important matters like children, career or division of labor is rarely done among partners, let alone between children and parents. So, in this kind of setting, rushing into marriage is even more disastrous than it would usually be.

Jumat, 22 Juni 2012

Manisnya Buka Puasa di Solok


*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (13)

kelanjutan dari : Bus Gila dan Teluk Bayur
 
Semilir angin sore begitu menyejukkan. Akhirnya setelah berhari-hari berderu di atas kendaraan, kini kami bisa beristirahat sejenak. Menyeka keringat kami di sebuah kampung di tanah Minang. Menunggu waktu berbuka di hari kedua bulan puasa tahun ini. Di pinggiran Kota Solok, Sumatra Barat ini kami melepas lelah kami.

Empat puluh tahun lalu, adik kakek saya yang baru berumur 20 tahun ketika itu merantau untuk menjadi guru sekolah dasar di Pulau Mentawai, Sumatra Barat. Lama tinggal di Sumatra Barat, adik kakek saya ini akhirnya menikah dengan gadis Minang yang dikenalnya disini. Sejak saat itu, beliau akhirnya menetap dan tinggal disini bersama keluarganya. 

Dan di rumah kakek saya ini kami bertiga transit. Mereka menyambut kami dengan hangat, dengan keramahan dan logat bicara orang Minang yang begitu enak didengar. Baru pertama kali saya mengunjungi rumah adik kakek saya ini. Sebelumnya, saya pernah bertemu dengan keluarga ini ketika mereka berkunjung ke Jawa waktu saya masih kecil, kira-kira 17 tahun yang lalu. Kini setelah sekian lama akhirnya saya dipertemukan kembali dengan keluarga ini. 

Yang membuat saya sedikit trenyuh adalah ketika mendapati album foto di rumah ini. Di dalamnya masih tersimpan foto mereka sekeluarga ketika mereka berkunjung ke Jawa, termasuk foto saya ketika kecil. Saya sangat bahagia mendapati foto-foto saya ini. Dan tentu saja saya bahagia mereka masih menyimpannya.





Akhirnya adzan magrib yang ditunggu-tunggu berkumandang juga. Waktunya berbuka puasa. Dan tentunya, yang membuat buka puasa kali ini begitu istimewa adalah menu makanan khas Minang. Kalau kami biasa menikmati masakan Padang/Minang di Jawa, kini kami bisa menikmatinya langsung di Tanah Minang.

Saya, Hilmy dan Melyn begitu lahap menikmati buka puasa ini. Tentu ini akan menjadi salah satu menu buka puasa yang istimewa dalam perjalanan kali ini karena hari-hari kedepan kami harus menikmati buka puasa di jalanan lagi.

Rasanya kami tidak ingin beranjak sebelum semua yang tersaji ini habis. Rendang dan barisannya masih saja memaksa kami untuk menengok mereka. Selesai makan, kami beranjak pergi ke masjid dekat rumah untuk shalat tarawih. Ini shalat tarawih pertama kami setelah malam-malam sebelumnya kami ada di jalan.

Dalam sebuah perjalanan, tentu kita akan bertemu dengan manis dan pahitnya sebuah etalase kehidupan. Dan malam ini kami sedang menikmati sedikit manisnya.
Di sebuah kampung di Solok, Sumatra Barat. Saya menemukan masa lalu saya ada dalam album foto. Juga menemukan manisnya sebuah persaudaraan.

Senin, 18 Juni 2012

Bus Gila dan Teluk Bayur.

*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (12)

kelanjutan dari : Sahur di Kantor Polisi..

Jam terus berjalan ketika kami menunggu di depan Polres Pesisir Selatan ini tanpa kepastian. Beberapa penumpang saling bercakap dengan temannya. Atau ada yang hanya duduk terkantuk saja. Hilmy dan Melyn kemudian masuk ke dalam kantor Polres untuk mencari kamar mandi. Saya mengikuti dari belakang, di dalam Polres nampak beberapa polisi yang sedang piket malam. Setelah selesai, tak lama kemudian saya bergegas keluar. Di luar, kondektur bus yang kami tumpangi tadi berteriak-teriak menyuruh para penumpang untuk masuk ke dalam bus pengganti yang sudah datang. Saya berlari ke dalam Polres untuk memanggil Hilmy dan Melyn yang sedari tadi nampaknya masih ada di dalam.

Sesampai diluar kami bergegas membawa tas-tas ransel besar kami masuk ke dalam bus. Karena kami masuk belakangan, terpaksa kami harus duduk terpisah. Melyn dan Hilmy duduk di depan, sedangkan saya duduk di tengah. Itupun kemudian kondektur bus pengganti yang jutek itu menyuruh Hilmy untuk pindah duduk di belakang. Jadilah Melyn duduk di depan, saya di tengah dan Hilmy di belakang.

Bus pengganti ini sangat berbeda dengan bus yang sebelumnya kami tumpangi dari Bengkulu. Bus yang kami tumpangi dari Bengkulu ukurannya besar, sedangkan bus pengganti ini ukurannya kecil. Dari bus yang nyaman berubah menjadi bus yang suram. Jarak antar jok sangat sempit sehingga ketika duduk, dengkul kita akan bersinggungan dengan jok depan. Bus penuh sesak sehingga tidak ada tempat untuk meletakkan tas-tas. Yang ada kami harus memangku tas kami masing-masing.
Bus kemudian berjalan meninggalkan Polres ketika seluruh penumpang dari bus yang kami tumpangi sebelumnya sudah naik. Jalanan di luar masih gelap dan seringkali bus berhenti untuk menaikkan penumpang lagi. Semakin lama semakin banyak penumpang yang naik. Beberapa penumpang berbicara dengan Bahasa Minang yang tidak saya pahami.

Saya kemudian terkantuk. Antara perasaan ingin marah, sebal, dan bingung kapan bisa sampai di Padang akhirnya saya tertidur. Beban tas berat di pangkuan saya seperti tidak terasakan. Seorang bapak yang duduk disamping saya ( pindahan dari bus yang sebelumnya juga ), nampak terkantuk dan tertidur juga.

Saya terbangun ketika keadaan di luar bus sudah terang. Bus semakin penuh dengan orang berjejalan. Entah sudah sampai mana, tapi paha sudah mulai pegal memangku tas saya yang berat ini. Tidak ada tempat untuk bergerak sedikitpun. Semua sudut dalam bus sudah penuh dengan manusia. Itupun bus masih seringkali berhenti untuk menaikkan penumpang. Tepat disebelah saya ada bapak-bapak yang berdiri. Saking sesaknya bus ini, kepala bapak ini serasa ada diatas kepala saya. Sehingga nafas bapak yang ngos-ngosan ini serasa meniup-niup rambut saya. Parahnya, bapak ini seringkali batuk, persis di atas rambut saya. Antara semacam jijik namun tak bisa lagi berbuat apapun.

Bus terus melaju dan seringkali dengan ngebut. Saya menyebut ini bus gila. Penumpang sudah berjejalan penuh sesak namun kondektur bus masih saja berteriak-teriak sepanjang jalan untuk mencari penumpang lagi. Kalau menggunakan perbandingan, sesaknya bus ini melebihi sesaknya bus Trans Jakarta ketika jam pulang kantor.

Kami tidak tau sudah sampai mana dan masih berapa lama dari Padang. Saya juga tidak tau lagi keadaan Melyn yang duduk di depan atau Hilmy yang duduk di belakang. Tapi samar-samar saya masih mendengar suara kondektur yang sedari berangkat tadi sangat jutek, berteriak-teriak masih saja mencari penumpang.

Dimanapun di dunia ini, kendaraan dengan stir kanan. Yang duduk paling depan sebelah kanan adalah pengemudi dari kendaraan. Namun dalam bus ini teori tersebut terbantahkan. Saking penuhnya, disebelah kanan pengemudi bus, ada penumpangnya! Menurut penuturan Melyn, ada 8 orang duduk dibarisan paling depan dalam bus kecil ini. Termasuk seorang penumpang yang duduk disebelah kanan pengemudi bus.

Bus kemudian melewati daerah perbukitan. Sekilas diantara sesaknya penumpang bus, saya sudah melihat laut yang terbentang dibawah gugusan bukit-bukit yang kami lalui ini. Jalanan berkelok dan menurun. Saya agak takut dengan kondisi bus ini, namun saya percaya bahwa pengemudi bus sudah tau medannya karena ia tiap hari melewati jalur ini. Padang nampaknya tak jauh lagi.

**

Di sebelah kiri sisi bus, saya melihat laut, sebuah pelabuhan dan beberapa kapal yang sedang berlabuh. Semacam ‘de javu’, gambaran pemandangan itu sepertinya tidak asing bagi saya, padahal saya baru pertama kali melewati daerah ini. Laut biru, kapal dan pelabuhan. Saya bertanya kepada bapak yang duduk di samping saya, “Pak, ini pelabuhan apa ya Pak?”. “Ini namanya Teluk Bayur dek”. “Benar ini Teluk Bayur, Pak?”. “Iya, ini Teluk Bayur”. Pantas saja saya seperti ‘de javu’ melihat tempat ini. Mendengar nama Teluk Bayur, pikiran saya jauh kembali ke masa kecil saya dulu.
Dulu ketika saya kecil. Hampir setiap hari di rumah saya selalu ‘dicekoki’ dengan lagu-lagu lama tahun 70-an atau 80-an oleh orang tua saya. Lagu dari Obbie Messakh, Koes Plus, Pance Pondaag, Rinto Harahap dan deretan penyanyi tembang-tembang kenangan yang lain. Salah satu lagu yang masih terngiang diantara banyaknya lagu kenangan itu, salah satunya adalah “Teluk Bayur”. Lagu ini adalah salah satu lagu kesukaan ibu saya.

Ketika kecil, saya sering sekali menyanyikan lagu ini sambil menghayati dan membayangkan seperti apa Teluk Bayur itu. Bayangan saya, Teluk Bayur adalah sebuah pelabuhan tempat orang bepergian dan berpisah dengan keluarganya. Ada banyak kapal yang bersandar. Kemudian bayangan tentang orang-orang yang akan pergi merantau. Meninggalkan keluarga dan orang yang disayangi untuk memperbaiki nasib di tanah rantau. 

Kini, setelah belasan tahun sejak pertama kali saya diperdengarkan lagu Teluk Bayur. Tuhan mewujudkan mimpi saya untuk melihat langsung Teluk Bayur. Meski hanya dari dalam bus. Bus kecil yang penuh sesak dengan penumpang ini. Satu kepingan kenangan masa lalu saya temukan dalam perjalanan ini, Teluk Bayur. Saya menghidupkan handphone yang saya irit-irit baterainya sedari malam tadi. Sebuah pesan pendek saya kirimkan untuk ibu saya, “Mak, saya sampai di Teluk Bayur..”

Tak lama kemudian akhirnya bus memasuki Kota Padang. Para penumpang yang berjejal ini belum banyak yang keluar. Saya tidak tau akan turun dimana, mungkin akan turun di terminal tempat pemberhentian bus ini saja. Dari depan, Melyn memberi isyarat untuk turun, kemudian diantara berjejalnya penumpang saya keluar melewati pintu belakang. Kami bertiga turun lengkap dengan bawaan kami masing-masing. Setelah turun kami bertiga terbengong satu sama lain. Kemudian kami bertiga tertawa sambil bergeleng-geleng kepala membayangkan keadaan bus yang kami naiki tadi. Saya menyebutnya Bus Gila.

Kami berhenti di sebuah perempatan yang tidak kami ketahui namanya. Di perempatan itu kami bertanya kepada pengemudi angkot bagaimana cara kami untuk pergi ke Solok. Kami berencana untuk transit di Solok tempat tinggal saudara saya. Pengemudi itu kemudian mempersilahkan kami masuk ke dalam angkot untuk diantarkan ke agen travel tujuan Solok.

Dari pesan yang dikirim saudara saya di Solok, kami disarankan untuk naik Jasa Malindo, travel yang melayani jurusan Padang - Solok. Di dalam angkot ada seorang perempuan muda yang jika dilihat dari tampilannya ia akan berangkat kerja. Dengan pakaian yang sangat rapi dan wangi, ia memandangi kami. Tampilan dan bau badan kami yang hampir belum mandi selama 2 hari sangat kontras dengan penampilan perempuan ini. 

Tak berapa lama kemudian, sampailah kami ke agen Jasa Malindo. Kami kemudian naik ke dalam mobil berkapasitas belasan penumpang. Sempat bingung ketika ditanya dengan bahasa Minang oleh petugasnya. Setelah saya bingung tidak bisa menjawabnya, baru kemudian petugas bertanya dengan Bahasa Indonesia. Ternyata pertanyaan yang tadi ditanyakan adalah “Mau kemana?”

Perjalanan dari Padang ke Solok ditempuh lebih dari 1 jam. Ada beberapa perbaikan jalan karena longsor yang menyebabkan perjalanan menjadi lambat. Di kanan kiri masih banyak dijumpai rumah gadang yang terkenal indah. Sesampai di Solok, kami berhenti disebuah pertigaan untuk kemudian dijemput saudara saya yang terakhir bertemu saya adalah ketika saya masih SD. Sehingga dalam pesan saya harus menuliskan ciri-ciri dan baju yang saya pakai, takut salah orang karena sudah lama tidak bertemu. 

Melyn dijemput menggunakan sepeda motor sedang saya dan Hilmy menggunakan becak motor ( betor ) mengikuti dari belakang. Uniknya, berbeda dengan daerah-daerah lain di Sumatra. Betor di Solok ini memakai vespa sehingga ukurannya menjadi lebih kecil. Setelah sampai di rumah, selepas mandi, kami langsung tertidur karena capeknya. Waktu menunjuk pukul 11 siang, atau hampir 40 jam kami menempuh perjalanan dari Tanjungenim, Sumatra Selatan ke Solok, Sumatra Barat. Tiba-tiba saya merasa bokong saya sudah sangat tipis.

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...