Minggu, 24 Juli 2011

Ibuku - Makku

Mataku enggan terpejam, entah kenapa. Malam sudah semakin larut meski bayangan akan hari yang telah terlewati ini terus mengapung di pikiranku. Udara nampak panas meski telah mandi berkali-kali.

Dalam remang lampu kamar kost ini kubuka laci di bawah lemari. Sebuah album foto kuambil dan perlahan kubuka lembar demi lembar. Di halaman pertama ada fotoku bersama adik perempuanku. Lucu melihat foto itu. Aku masih nampak "culun" :)) Kini adikku telah menjadi dewasa. Meski hubungan kami tak dekat, tapi aku percaya dia selalu mendoakanku. Seperti tertuang dalam buku catatannya.

Di halaman berikutnya ada foto keluarga. Ah, aku tersedu melihat foto ini. Rasanya merinding, melihat foto masa kecilku bersama ibu dan bapak yang sedang menggendong adikku.
Banyak kisah telah tertanggal selama ini. Ada suka ada duka. Mungkin itulah suratan, ketika ketetapan Allah akan membuat kami terus belajar.

Kalau aku tak salah foto itu diambil saat aku masih berusia 8 tahun. Berarti usia ibuku kala itu masih 26 tahun sedangkan bapakku 30 tahun. Aku masih ingat ketika ibu selalu membelikanku baju lebaran kotak-kotak. Aku masih ingat ketika bapak mengajariku ngaji bersama anak-anak tetangga. Aku masih ingat ketika pada hari raya hanya tersaji sekaleng "astor" di meja rumah kami.

Aku semakin terpaku melihat foto itu. Foto satu-satunya dimana nampak ibuku memakai jilbab. Aku rindu moment itu. Saat ketika aku bisa bersandar di pangkuan ibu. Berbagi cerita tentang senyum, keceriaan juga harapan-harapan indah. Aku kangen, sungguh!

Mudah-mudahan kebahagiaan juga kelapangan tercurah untuk beliau. Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. Aku kangen Ibu. Aku kangen Ma'e. :((

powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Sabtu, 16 Juli 2011

Aku Menjadi Remaja (Lagi)

Senja tak nampak di kotaku sore ini. Mendung, agak dingin. Aku duduk bersama kawan lamaku, Arya. Duduk kami berhadapan di sebuah cafe yang agak sepi. Posisi bangunannya ada di atas, sehingga kita bisa melihat temaram lampu perkampungan di bawah tempatnya.

Angin mengalir sepoi-sepoi. Beberapa kali jaket harus kembali direkatkan untuk mengurangi dingin yang merasuk. Ah, romantis juga tempat ini. Namun sayang, yang duduk di depanku seorang laki-laki :D

Tehh tarik dan sepotong roti bakar tersaji di depan kami. Sayup-sayup suara adzan maghrib semakin menambah kesyahduan di tempat ini. Sepi, jauh dari hingar bingar ibukota. Kedamaian ini, ah, tak terjelaskan dengan komposisi kontemporer yang sederhana.

Kami banyak berbincang tentang kehidupan kami. Teori-teori filsafat ngawur juga ilmu ketidakmungkinan dalam dunia ini. Mengeja sikap orang-orang dan mimik manis mereka. Mengulas masa muda kami, menjelajah banyak kota. Seperti sebuah etalase perjalanan, dulu kami bisa teriak kegirangan menikmati kebebasan. Kini kebebasan kami terikat akan sebuah kata : "usia".

Di meja sebelah kami nampak 2 anak muda sedang merajut rindu. Menampaki fase kehidupan remaja mereka dengan iringan violin yang meringai manja. Kudengar sayup-sayup percakapan mereka

"Kau mau jadi pacarku?"
"Aku tak bisa"
"Tak bisa kenapa"
"Tak bisa menolaknya"

Ah, gombal mukiyo! Tapi wajar karena aku juga pernah melewati fase itu. Ketika kita mengingat masa-masa itu kita pasti akan tersipu. Sekarang, di tempat romantis ini. Di sela-sela angin dingin yang merasuk. Di bawah temaram lilin kecil. Di hingar rinai suara Eric Clapton aku melihat sepasang sejoli mengisi memory mereka. Mozaik kehidupan yang akan membuat mereka tertawa kelak. Seperti tawaku saat ini.

Tiba-tiba aku kembali menjadi remaja! Jancuk!
Sent from my bebeireng®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Selasa, 12 Juli 2011

Aku dan Bapak

Apa moment paling indah di dunia ini menurutmu?

Aku yakin di antara banyak jawaban itu ada yang menjawab moment paling indah di dunia ini adalah ketika kita bisa berkumpul bersama keluarga, saling berbagi kasih apapun kondisinya. Senang dan susah di hadapi bersama. Menikmati dunia dari sudut pandang orang-orang yang menyayangi kita. Tak ada moment yang paling indah selain kebersamaan.

Sebulan terakhir ini aku menghabiskan waktu di kampung, Wonosobo. Mungkin ini moment langka buatku juga buat bapakku. Sembilan tahun aku merantau, sejak lulus SMP sampai sekarang. Jika ada jeda untuk bertemu bapakku, itupun hanya sebentar saja karena terbatasnya libur sekolah dan kerja. Mungkin ini salah satu hikmah dari pekerjaanku saat ini yang lebih banyak libur di bandingkan kerjanya.

Karena ini menjadi moment yang langka, aku sebisa mungkin membatasi pergi kemanapun sebulan kemarin. Full, aku di Wonosobo. Aku ingin mendekatkan diriku dengan bapakku juga family yang lain di kampung.

Aku di kampung pada saat kondisi cuaca sedang bagus-bagusnya. Musim kemarau. Wonosobo yang tiap hari biasanya hujan ternyata punya sisi lain yang indah ketika musim kemarau. Memang, udara lebih dingin ketika memasuki musim kemarau dibandingkan musim hujan. Namun dinginnya itu semakin melengkapi keindahan kota ini.

Pagi selalu di hiasi dengan kabut tebal. Siang udara sejuk dengan langit biru yang terbentang. Sore hari senja selalu menebarkan kesyahduannya untuk mengantarkan malam. Kemudian berganti malam yang luar biasa dengan jutaan bintang yang berasa ada di atas kepala.

Aku tak ingin melewatkannya. Tapi aku selalu melewatkan pagi, karena tak kuasa bangun pagi dengan kondisi udara yang luar biasa dingin itu. Tengah hari aku baru berani mandi, itupun dengan kondisi air yang masih dingin namun luar biasa segar. Segera aku bersama sepupu-sepupu kecilku yang memang sedang liburan sekolah meluncur ke sungai. Renang, berendam, siram-siraman. Kemudian pergi ke kebun untuk mencari durian yang memang sedang mulai musim panen atau sekedar memetik buah kelapa gunung yang berbeda dengan kelapa pantai.

Sore hari ketika senja akan datang. Aku dan sepupu-sepupu kecil yang masih SD pergi naik motor ke daerah yang lebih tinggi. Senja tak boleh di lewatkan. Kadang mendapatkan tempat yang bagus viewnya. Kadang malah salah jalan, tersesat ke balik bukit sehingga senja malah tak nampak karena tertutup bukit.

Malamnya aku menghabiskan malam bersama bapak. Duduk di depan melihat bintang, mencoba memotret meski kadang "blur". Bercerita tentang sudut pandang masing-masing dalam melihat kehidupan. Aku bercerita juga tentang trip Sumatera akhir bulan ini. Bapak tak melarang, malah mendukung. "Pumpung masih muda, buka wawasan seluas-luasnya", begitu katanya. Tiba-tiba aku tertidur, begitu terjaga selimut yang hangat sudah menempel di badanku.

Mungkin benar, dalam kehidupan yang sesungguhnya kami tak punya bintang lagi. Namun malam itu kami bisa melihat bintang. Bintang di langit yang cerah malam itu, juga ada bintang pada kebersamaan dan cinta kasih kami.

Kalau di kampung yang indah ini sudah kutemukan keindahan juga kasih sayang yang luar biasa. Apalagi yang kucari di luar sana. Setidaknya aku masih punya mimpi di luar, menjelajah keanekaragaman kehidupan di luar, belajar tentang kehidupan, menikmati setiap perjalanan, untuk kemudian kembali ke tempat ini, kelak.
Sent from my bebeireng®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...