Selasa, 12 Juli 2011

Aku dan Bapak

Apa moment paling indah di dunia ini menurutmu?

Aku yakin di antara banyak jawaban itu ada yang menjawab moment paling indah di dunia ini adalah ketika kita bisa berkumpul bersama keluarga, saling berbagi kasih apapun kondisinya. Senang dan susah di hadapi bersama. Menikmati dunia dari sudut pandang orang-orang yang menyayangi kita. Tak ada moment yang paling indah selain kebersamaan.

Sebulan terakhir ini aku menghabiskan waktu di kampung, Wonosobo. Mungkin ini moment langka buatku juga buat bapakku. Sembilan tahun aku merantau, sejak lulus SMP sampai sekarang. Jika ada jeda untuk bertemu bapakku, itupun hanya sebentar saja karena terbatasnya libur sekolah dan kerja. Mungkin ini salah satu hikmah dari pekerjaanku saat ini yang lebih banyak libur di bandingkan kerjanya.

Karena ini menjadi moment yang langka, aku sebisa mungkin membatasi pergi kemanapun sebulan kemarin. Full, aku di Wonosobo. Aku ingin mendekatkan diriku dengan bapakku juga family yang lain di kampung.

Aku di kampung pada saat kondisi cuaca sedang bagus-bagusnya. Musim kemarau. Wonosobo yang tiap hari biasanya hujan ternyata punya sisi lain yang indah ketika musim kemarau. Memang, udara lebih dingin ketika memasuki musim kemarau dibandingkan musim hujan. Namun dinginnya itu semakin melengkapi keindahan kota ini.

Pagi selalu di hiasi dengan kabut tebal. Siang udara sejuk dengan langit biru yang terbentang. Sore hari senja selalu menebarkan kesyahduannya untuk mengantarkan malam. Kemudian berganti malam yang luar biasa dengan jutaan bintang yang berasa ada di atas kepala.

Aku tak ingin melewatkannya. Tapi aku selalu melewatkan pagi, karena tak kuasa bangun pagi dengan kondisi udara yang luar biasa dingin itu. Tengah hari aku baru berani mandi, itupun dengan kondisi air yang masih dingin namun luar biasa segar. Segera aku bersama sepupu-sepupu kecilku yang memang sedang liburan sekolah meluncur ke sungai. Renang, berendam, siram-siraman. Kemudian pergi ke kebun untuk mencari durian yang memang sedang mulai musim panen atau sekedar memetik buah kelapa gunung yang berbeda dengan kelapa pantai.

Sore hari ketika senja akan datang. Aku dan sepupu-sepupu kecil yang masih SD pergi naik motor ke daerah yang lebih tinggi. Senja tak boleh di lewatkan. Kadang mendapatkan tempat yang bagus viewnya. Kadang malah salah jalan, tersesat ke balik bukit sehingga senja malah tak nampak karena tertutup bukit.

Malamnya aku menghabiskan malam bersama bapak. Duduk di depan melihat bintang, mencoba memotret meski kadang "blur". Bercerita tentang sudut pandang masing-masing dalam melihat kehidupan. Aku bercerita juga tentang trip Sumatera akhir bulan ini. Bapak tak melarang, malah mendukung. "Pumpung masih muda, buka wawasan seluas-luasnya", begitu katanya. Tiba-tiba aku tertidur, begitu terjaga selimut yang hangat sudah menempel di badanku.

Mungkin benar, dalam kehidupan yang sesungguhnya kami tak punya bintang lagi. Namun malam itu kami bisa melihat bintang. Bintang di langit yang cerah malam itu, juga ada bintang pada kebersamaan dan cinta kasih kami.

Kalau di kampung yang indah ini sudah kutemukan keindahan juga kasih sayang yang luar biasa. Apalagi yang kucari di luar sana. Setidaknya aku masih punya mimpi di luar, menjelajah keanekaragaman kehidupan di luar, belajar tentang kehidupan, menikmati setiap perjalanan, untuk kemudian kembali ke tempat ini, kelak.
Sent from my bebeireng®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

1 komentar:

Hilmy Nugraha mengatakan...

ada iklane.

baca buku tere liye terbaru boi, tentang ayah. indah sekali.

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...