Selasa, 15 Mei 2012

Sahur di Kantor Polisi

*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (11)

 kelanjutan dari : Bengkulu, Mukomuko dan Salah Pilihan..


Selepas buka puasa di Mukomuko, bus melanjutkan perjalanannya ke Padang. Saya langsung tertidur di bus. Badan sudah terasa sangat lelah setelah hampir 24 jam di jalanan. Dari mulai Tanjung Enim, lalu menunggu kereta sampai tengah malam di Stasiun Muara Enim. Naik kereta ke Lubuk Linggau dan dilanjutkan naik travel ke Bengkulu. Tanpa istirahat di Bengkulu kami langsung naik bus ke Padang. Kini hampir 10 jam perjalanan dari Bengkulu, bus baru sampai Mukomuko, masih setengah perjalanan menuju Padang.

Perut kenyang selepas buka puasa semakin menambah kantuk saya. Saya langsung terlelap begitu bus melaju. Meski terlelap, saya masih beberapa kali terbangun ketika merasakan getaran sewaktu bus melewati lubang besar di jalan. Bus nampaknya juga banyak melewati tikungan tajam, samar-samar setengah sadar, saya merasakan goyangan ke kanan dan kiri bus ini. Ketika terjaga, di antara gelap malam, yang saya lihat adalah hutan. 

Saya terbangun ketika merasa perjalanan dengan bus ini sudah sangat lama namun masih saja belum sampai. Entah sudah sampai dimana, yang terlihat di luar adalah gelap. Melyn dan Hilmy masih tertidur entah lelap atau tidak. Saya mencoba tidur lagi namun tidak bisa lagi memejamkan mata. Jam di tangan menunjuk pukul 1 dini hari. 

Sebenarnya saya selalu menyukai moment ketika naik bus malam dan merenung di dalamnya. Melihat gelap di luar diselingi dengan pijar lampu-lampu dari rumah sepanjang jalan. Rumah-rumah yang tertutup rapat karena penghuninya sudah terlelap dalam tidurnya masing-masing. Saya suka merenung, dan merenung di dalam bus malam adalah salah satu moment yang selalu saya nikmati.
Namun tiba-tiba saya terhenyak. Di sebuah tikungan jalan ke arah kanan, tiba-tiba dari arah berlawanan ada pengendara sepeda motor yang melajukan kendaraannya dengan sangat kencang. Sepeda motor itu akan belok ke kiri. Namun ketika belok, sepeda motor mengambil terlalu ke tengah sehingga berbenturan dengan bus. Sepeda motor dan pengendaranya langsung terseret di tengah jalan.

Bus berhenti dan beberapa orang berhamburan keluar untuk menolong pengendara sepeda motor yang jatuh tadi. Beberapa penduduk yang rumahnya tidak jauh dari kejadian juga ikut keluar membantu pengendara sepeda motor yang sepertinya mengalami luka-luka. Kemudian bus di parkirkan di pinggir jalan tidak jauh dari tempat kejadian. Penumpang bus yang tadinya sedang tidur, semua terbangun dan ikut turun dari bus. Beberapa kru bus ikut mengantar pengendara sepeda motor yang luka tadi. Entah diantar kemana, namun sepertinya diantar ke balai pengobatan.

Saya, Hilmy dan Melyn ikut keluar dari bus kemudian duduk di luaran. Bus berhenti di sebuah masjid. Kami tidak tau sudah sampai mana karena papan nama masjid juga hanya menuliskan nama masjid dan kampungnya saja. Kemudian kami bertiga masuk ke masjid untuk sekedar cuci muka. Sesampai di dalam masjid kami begitu trenyuh ketika melihat driver bus yang kami tumpangi tadi. Mungkin agar tidak panik menghadapi kejadian ini, ia turun dari bus, masuk ke dalam masjid, mengambil wudhu lalu shalat 2 rakaat dengan tenang. Di tengah remang-remang masjid, saya tertegun melihatnya berdoa di beranda masjid, antara sedih dan salut bercampur jadi satu dalam perasaan saya. Berdesir berbagai macam perasaan haru dalam benak ini.

Kami terus menunggu, ada penumpang yang duduk di depan masjid. Ada pula yang duduk-duduk di pinggir jalan, dan beberapa duduk di dalam bus. Tidak lama kemudian, kru dari bus yang tadi mengantar pengendara motor berobat datang. Nampaknya semua permasalahan sudah selasai. Kru bus sudah mengganti biaya pengobatan dan biaya kerusakan. 

Di Indonesia, dalam sebuah kecelakaan pasti kendaraan yang lebih besar yang disalahkan. Tanpa investigasi apapun pasti kendaraan yang lebih besar yang disalahkan. Dalam kejadian ini, saya yakin bahwa yang bersalah adalah pengendara sepeda motor. Pada saat kejadian saya tidak sedang tidur dan karena duduk saya disebelah kanan bus sehingga saya bisa melihat dengan jelas bahwa sepeda motor ketika akan belok ke kiri dengan kecepatan tinggi dan terlalu mengambil ke kanan sehingga terkena bus.

Tapi ya sudahlah, masalah juga sudah selesai. Bus sudah akan jalan lagi setelah kru bus member biaya pengobatan untuk pengendara sepeda motor yang tadi bertabrakan dengan bus. Seluruh penumpang masuk kembali ke dalam bus, kemudian bus melanjutkan perjalanannya. Jam sudah menunjuk pukul 02:30. 

Belum jauh bus berjalan, tiba-tiba ada dua orang berboncengan dengan sepeda motor yang mendahului kemudian tiba-tiba berhenti di depan bus. Bus ikut berhenti dengan mendadak. Kami semua yang ada di dalam bus berfikiran bahwa mereka adalah orang yang masih ada hubungannya dengan kejadian tabrakan tadi. Kru bus nampak panik kemudian turun. Namun tenyata orang yang membonceng adalah salah satu penumpang bus yang tertinggal ketika bus tadi berangkat. Sehingga penumpang yang tertinggal itu diantar oleh penduduk untuk mengejar bus menggunakan sepeda motor. Para penumpang tertawa melihat kejadian ini. Tadi sebelum bus berangkat dari tempat kejadian, kru bus lupa menghitung lagi jumlah penumpang. Mungkin karena mereka masih bingung setelah kejadian tabrakan tadi.

Masih tidak jauh dari tempat tadi berhenti, bus berhenti lagi di sebuah tempat makan untuk sahur. Tempat sahur kali ini adalah sebuah tempat makan dengan menu makanan khas Minang. Saya, Hilmy dan Melyn kemudian memesan makan dan minum. Belum sampai kami menghabiskan makan kami, tiba-tiba datanglah mobil patroli polisi berhenti di depan rumah makan. Lalu turun 2 orang polisi dari dalam mobil. Polisi itu mencari kru bus. Entah mendapatkan laporan dari siapa, ternyata polisi ini mengejar bus atas kejadian tabrakan tadi. Beberapa kru dimintai keterangan tentang kejadian kecelakaan tadi. Para penumpang yang simpatik dengan kru bus mulai membantu kru bus untuk menjelaskan tentang kejadian kecelakaan yang menimpa tadi. Beberapa selentingan dan ucapan beberapa orang sudah tidak enak didengar. Rata-rata para penumpang ingin membela kru bus.
Akhirnya karena tidak terjadi kesepakatan. Seluruh penumpang bus disuruh untuk masuk kembali ke dalam bus. Bus dengan dikawal mobil polisi tadi putar balik ke tempat kejadian kecelakaan. Sial! Dalam hati saya rasanya ingin mengucap sumpah serapah. Di tempat kejadian polisi itu minta dijelaskan cerita kejadiannya. Beberapa penumpang terus mengikuti kru dan polisi agar mereka bisa membantu memberikan pembelaan.

Saya yang tidak tau masalah hukum jadi bingung. Setau saya kalau kedua belah pihak yang terlibat dalam kecelakaan sudah sama-sama tidak mempersalahkan ya sudah selesai. Tapi ternyata ini kok polisi entah dapat laporan dari mana mempermasalahkan. 

Selepas dari tempat kejadian, bus kembali berjalan. Kali ini saya tidak tau bus ini melaju kemana. Menurut beberapa penumpang lain bus ini akan dibawa ke kantor polisi. Antara perasaan marah dan bingung akhirnya saya tertidur. Tidur agak lama sampai kemudian terbangun ketika kru bus membangunkan seluruh penumpang yang ada di bus untuk turun dari bus. Begitu keluar dari bus, yang saya lihat adalah bangunan besar yang tinggi, di atasnya model atapnya adalah model atap rumah gadang. 

Wow, inilah bangunan rumah gadang pertama yang kami lihat dalam perjalanan kami di Sumatra. Saya kagum dengan model atapnya yang runcing pada ujung-ujungnya itu. Tapi saya kembali miris ketika melihat tulisan besar pada papan nama di depan bangunan itu. Tenyata tertulis dengan besar tulisan ‘KANTOR POLRES PESISIR SELATAN’. Jam ditangan menunjuk pukul 4 pagi, sahur yang kami makan tadi belum selesai sepenuhnya. Kini bahkan harus terdampar bersama bus yang kami tumpangi di sebuah kantor polisi! Di depan kantor polisi, sambil duduk di jalan dan memandang gedung besar yang ada di depan saya ini. Saya menghabiskan minum untuk mengakhiri sahur saya. Bah! Padang rasanya semakin jauh dalam bayangan saya.

Senin, 14 Mei 2012

Bengkulu, Mukomuko, dan Salah Pilihan..


*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (10)

 kelanjutan dari : Antara Lubuk Linggau dan Bengkulu

rute Bengkulu menuju Mukomuko..

Dalam sebuah perjalanan, kita akan selalu dihadapkan dengan banyak pilihan. Pilihan itu akan senantiasa hinggap dalam kepala kita seiring dengan perjalanan itu sendiri. Kadang kita akan diberi pilihan yang mudah seperti apakah kita akan membeli oleh-oleh khas dari daerah ini atau tidak? Kita mau naik kereta yang bisnis atau ekonomi? Kita mau jalan kaki atau naik angkutan umum?

Kami boleh berencana, tapi sejatinya adalah Tuhan yang menentukan. Berdasar rencana perjalanan yang kami buat jauh-jauh hari, kami merencanakan untuk sampai Bengkulu di pagi hari. Lalu kami akan mengunjungi beberapa obyek wisata di kota ini sampai siang, kemudian melanjutkan perjalanan ke Padang pukul 14. Informasi perjalanan yang kami dapatkan dari google, bus terakhir ke Padang adalah pukul 14 siang.

Kami sampai di Agen Bus SAN ketika jam tangan saya menunjuk pukul 10.30. Sudah terlalu siang memang, karena rencana kami sebelumnya adalah sampai sini pagi hari. Tapi tidak mengapa, toh masih ada sekitar 3 jam sampai pukul 14 untuk berkeliling sebentar ke obyek-obyek wisata yang ada di Kota Bengkulu ini.

Tiba-tiba bayangan kami langsung buyar seketika ketika kami mendapat jawaban dari petugas loket bahwa satu-satunya bus ke Padang berangkat pukul 11 ini. Ya, satu-satunya. Ini menjadi sebuah pilihan yang sulit bagi kami. Apakah akan naik bus saat ini juga, tetapi kami tidak jadi mengunjungi apapun di Bengkulu ini alias hanya numpang lewat saja di Bengkulu. Atau pilihan kedua, kami menunda perjalanan sampai besok dengan harapan kami bisa mengunjungi beberapa tempat di Bengkulu ini. Namun tentu, konsekuensinya adalah kami harus mengeluarkan biaya untuk penginapan di Bengkulu, padahal itu di luar budget yang sudah kami rencanakan.

Saya, Hilmy dan Melyn serba kebingungan. Berunding untuk menentukan pilihan ini. Kami dikejar waktu untuk segera menentukan pilihan. Di tengah kepanikan, entah bagaimana pertimbangannya tiba-tiba kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan bus sekarang juga. Melewatkan Bengkulu dan bayangan tentang kami tentang Pantai Panjang Bengkulu, Benteng Marlborough, dan Rumah Pengasingan Soekarno.

Akhirnya kami segera membeli 3 tiket bus jurusan Bengkulu – Padang saat itu juga. Dan setelah terbeli, kami baru tau kalau sebenarnya busnya sudah berangkat sejak beberapa menit yang lalu. Petugas loket menelepon driver bus untuk berhenti karena ada penumpang yang akan menyusul. Lalu petugas yang lain memanggil 3 ojek untuk mengantarkan kami mengejar bus itu. Jadilah kami bertiga dengan ojek masing-masing mengejar bus yang sudah jalan beberapa menit yang lalu. Saya tersenyum-senyum sendiri membonceng ketika melihat wajah abang ojek dari spion motornya. Saya berkhayal, ini seperti melihat Valentino Rossi dengan motor balapnya mengejar Michael Schumacher yang sudah jalan dulu memakai mobil F1. Tapi “Valentino Rossi” saya ini hebat, ia bisa mengejar Michael Schumacher. Ya pasti bisa mengejar, karena busnya sudah berhenti setelah drivernya di telpon petugas penjual tiket tadi.

Setelah bisa mengejar bus dengan ojek-ojek ini, kami bertiga naik ke dalam bus. Ternyata bus masih sepi penumpang, hanya ada kru bus yang berjumlah 4 orang, kami bertiga dan 1 penumpang lain seorang nenek dengan kebaya dan pakaian Jawa. Kemudian bus mulai berjalan perlahan. Setelah agak santai kami baru bisa berpikiran ‘jernih’. Kami bicara lagi tentang pilihan kami untuk melanjutkan perjalanan kami tanpa menjumpai apapun di Bengkulu.

Tetapi begitu sampai di dalam bus, nampaknya kami begitu menyesali keputusan yang kami ambil tadi. Kini di atas bus yang sudah beranjak perlahan meninggalkan Kota Bengkulu, kami dihinggapi rasa kecewa. “Harusnya tadi kita berhenti saja ya, tak mengapa harus menginap dulu, yang penting kita bisa mendatangi banyak tempat di Bengkulu” saya berujar dengan kecewa. Hilmy juga nampak kecewa “Tadi aku juga sempat berfikiran untuk stay saja di Bengkulu, tapi dikejar waktu untuk segera memutuskan”. Melyn duduk diam sambil mengetikkan sesuatu di handphone-nya. Ia menuliskan cerita ini ke blognya. Mungkin untuk menghibur diri juga, dia menulisnya dengan judul “Jalan Memutar” (http://annarumi.blogspot.com/2011/08/jalan-memutarjalan-memutar.html). Tapi sudahlah, kami sudah terlanjur ada di bus ini. Tidak mungkin kami turun lalu kembali ke Kota Bengkulu. Bayangan tentang obyek-obyek wisata di Bengkulu harus kami lupakan. Kami bertiga tadi nampaknya mengambil keputusan yang salah. 

kondisi bus dari dalam
 
***

Bus terus melaju meninggalkan kota Bengkulu menuju Padang. Selepas dari Kota Bengkulu kami melewati jalur di pesisir pantai. Di sebelah kiri kami adalah pantai barat Sumatra yang menghadap langsung dengan Samudra Hindia. Pemandangan pantai ini sedikit menghibur kami setelah kami tidak jadi ke Pantai Panjang di Bengkulu. Sementara pemandangan di sebelah kanan kami adalah perkebunan sawit yang berbukit-bukit luasnya. Namun lama kelamaan pemandangan itu membosankan kami. Kamera, handphone dan pemutar musik baterainya sudah lemah sejak tadi malam. Hilmy dan Melyn memilih untuk tidur. Saya memilih untuk menikmati pemandangan di luar karena tidak bisa tidur. 

Pemandangan kanan dan kiri selanjutnya adalah hutan dengan pepohonan yang menjulang, jalanan berkelok-kelok dengan jurang di kanan dan kiri. Beberapa kali bus bermasalah dengan transmisinya, sehingga membuat saya deg-degan ketika bus harus berpindah transmisi saat berada di tanjakan. Selepas hutan, yang terlihat kemudian adalah perkebun sawit yang tidak ada habisnya dari bukit ke bukit. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya pohon sawit. Jarang sekali terlihat ada pemukiman penduduk. Kalaupun ada, jarak antar pemukiman penduduk sangat jauh.

Jika dilihat di peta, antara Bengkulu dan Padang ini titik tengahnya adalah di Mukomuko. Jam di tangan saya sudah menunjuk pukul 16 sore. Sudah hampir 5 jam kami ada di bus, tetapi kami masih belum sampai di Mukomuko. Jalanan masih sama, yang nampak di kanan kiri adalah gugusan pohon sawit. Bus sejak tadi mulai sering berhenti karena banyak penumpang yang naik dari agen-agen di pinggir jalan. Bus yang tadinya sedikit penumpang kini sudah mulai banyak terisi. 

Menjelang senja kami melewati sebuah pantai yang warnanya coklat. Pantai ini memanjang dengan kondisi yang kotor dan sedikit rumput liar. Jalan raya dengan kondisi yang rusak parah ada persis di pinggir pantai ini. Dari penuturan penumpang yang lain, jalanan yang ada persis di pinggir pantai ini rusak karena terkikis oleh ombak yang besar. Abrasi pantai menyebabkan jalanan sangat rusak dan bergelombang. Dan saya baru tau kalau pantai ini namanya juga Pantai Abrasi.

Selepas dari pantai yang jalannya jelek itu, bus mulai masuk ke kota. Nampaknya kami sudah memasuki Kota Mukomuko. Suasana kotanya sangat sepi, bangunan-bangunan pemerintahan juga kondisinya masih sangat sederhana. Mukomuko ini adalah kota paling utara di Propinsi Bengkulu. Sebagian besar penduduk di Mukomuko ini berasal dari Jawa. Mukomuko adalah salah satu daerah tujuan transmigrasi di Propinsi Bengkulu. Sedangkan Bengkulu ini sejak jaman Pemerintahan Kolonial Belanda sudah disebut sebagai 'tanah harapan' bagi orang-orang dari luar Bengkulu.

Sayup-sayup diantara gelap kami melewati pusat kota Mukomuko. Suasana sepi, lebih tepatnya sangat sepi. Sepanjang Bengkulu – Mukomuko tadi saya iseng menghitung jumlah SPBU yang ada. Jalan Bengkulu – Mukomuko sepanjang kurang lebih 250 km saya hanya melihat ada 3 SPBU, itupun 1 diantaranya kondisinya tutup. Selepas dari pusat kota, bus berhenti disebuah rumah makan di pinggir jalan. Nampaknya sudah maghrib sehingga bus berhenti di rumah makan untuk buka puasa.

bus berhenti di tempat makan
tertidur di bus

Inilah buka puasa pertama kami dalam perjalanan di Sumatra. Buka puasa di sebuah kota yang belum pernah kami bayangkan sebelumnya, Mukomuko. Selepas buka puasa, bus kembali melanjutkan perjalanannya. Nenek dengan pakaian Jawa yang satu bus dengan kami sejak dari Padang itu tidak keluar untuk makan. Melyn menawarinya sebotol air minum. Nenek itu dengan senyumnya, sedikit menolak karena menurut beliau sebentar lagi ia akan sampai di tujuan. Beliau kemudian mengeluarkan secarik kertas bertuliskan nomor telepon kemudian meminta tolong kepada Melyn. “Dek, minta tolong sms nomor ini. Ini nomor telpon anak saya. Minta tolong sms, bilang kalau saya sudah mau sampai, katanya dia akan menjemput”. Melyn kemudian membantu untuk sms. Kemudian mereka berbincang entah tentang apa. Beberapa saat kemudian kami melewati sebuah pemukiman yang lumayan ramai. Nenek itu turun, dari dalam bus kami melihat sudah ada yang menjemputnya. Alhamdulillah.

Perjalanan entah masih panjang atau tidak, tetapi menurut kondektur bus kira-kira bus akan sampai di Padang pukul 5 pagi besok. Jam sudah menunjuk pukul 8 malam. Perjalanan ini sungguh merupakan salah satu fase terberat yang kami rasakan sepertinya. Saya tertidur, kami bertiga terlelap. Berharap esok pagi kami sudah bisa melihat rumah gadang. 

rumah makan tempat bus berhenti dan buka puasa pertama kami

menu buka puasa kami, 3 piring nasi dan sepotong ayam :D
 

Kamis, 03 Mei 2012

Teh, Bapak dan Anak Lelakinya

Saya selalu menyukai ritual ini. Ritual menghabiskan sisa teh bapak dimalam hari. Menjelang malam, ketika saya menikmati insomnia saya dan bapak sudah tertidur. Saya selalu menghabiskan air teh sisa bapak yang ada di meja makan. Dari air teh dengan gelas besar itu, kadang tersisa setengah, kadang pula masih terisi penuh belum diminum. Saya menghabiskannya, dan saya selalu mengilustrasikan cara minum saya dengan kata 'glek glek glek..'. Saya selalu menghabiskannya, tanpa tersisa.

Sepertinya itu biasa, tetapi bagi saya itu adalah ritual yang membuat saya kangen ketika saya tidak sedang di rumah. Ritual yang menarik saya untuk pulang dan menikmati sisa teh itu sambil berilustrasi tentang saya dan bapak. Dulu, ketika saya menjadi orang yang mudah tertidur. Setiap malam, saya selalu tidur terlebih dahulu dibandingkan bapak. Entah tertidur di depan televisi, di sofa atau dimanapun. Di sela antara sadar dan tidak sadar ketika tertidur itu, saya selalu merasakan bapak menyelimuti saya dengan selimut.ketika saya lupa memakainya.

Kini situasi berubah, saya tidak lagi menjadi orang yang mudah tertidur seperti dulu. Setiap malam, saya melewatinya dengan mata yang masih cerah-cerahnya. Kini bapak lebih sering tidur terlebih dahulu dibanding saya. Dan ketika bapak sudah tertidur itu, saya selalu menghabiskan sisa tehnya. Glek glek glek. Ah, ini semacam candu.

Rasa tehnya manis. Dari manisnya air teh itu saya selalu berharap hubungan saya dan bapak akan selalu manis. Kepahitan sudah banyak kami dapatkan dimasa lampau. Kini, saya ingin berusaha membuatnya manis. Melewati kebersamaan kami yang pasang surut juga dengan manis. Mungkin ketika saya menikah nanti dan tidak lagi tinggal bersama bapak, saya akan merindukan moment menikmati sisa teh. Saya membayangkan istri saya kelak juga akan selalu membuatkan teh manis untuk saya dan saya meminumnya sampai habis. Meminumnya dengan suka cita, semanis perasaan saya menghabiskan teh sisa bapak saat-saat ini.

Sampai suatu hari, istri saya kelak akan berujar, "Kurangi gula, banyak-banyak minum air putih agar lebih sehat". Tentu, saya akan mengikuti permintaan istri saya dan tidak lagi minum teh manis. Tapi kenangan menikmati sisa teh bapak tentu sudah terukir dalam sebuah perjalanan panjang hubungan antara seorang bapak dan anak lelakinya.

Hari ini bapak berulang tahun. Selamat Ulang Tahun yang ke-47, Bapak.. Mugi panjang umur wilujeng ing kaharjaning Gusti.

*sudah sebulanan ini bapak bertanya kepada saya pertanyaan yang seumur hidup belum pernah beliau tanyakan kepada saya. Pertanyaan, "kapan kamu menikah? sudah 25 tahun, diseriusi, dimantepi". Saya hanya tersenyum manis tanpa sanggup berkata-kata, semanis teh yang saya habiskan setiap malamnya..


Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...