*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (10)
kelanjutan dari : Antara Lubuk Linggau dan Bengkulu
kelanjutan dari : Antara Lubuk Linggau dan Bengkulu
rute Bengkulu menuju Mukomuko.. |
Dalam sebuah perjalanan, kita akan
selalu dihadapkan dengan banyak pilihan. Pilihan itu akan senantiasa hinggap
dalam kepala kita seiring dengan perjalanan itu sendiri. Kadang kita akan
diberi pilihan yang mudah seperti apakah kita akan membeli oleh-oleh khas dari daerah
ini atau tidak? Kita mau naik kereta yang bisnis atau ekonomi? Kita mau jalan
kaki atau naik angkutan umum?
Kami boleh berencana, tapi sejatinya
adalah Tuhan yang menentukan. Berdasar rencana perjalanan yang kami buat
jauh-jauh hari, kami merencanakan untuk sampai Bengkulu di pagi hari. Lalu kami
akan mengunjungi beberapa obyek wisata di kota ini sampai siang, kemudian
melanjutkan perjalanan ke Padang pukul 14. Informasi perjalanan yang kami
dapatkan dari google, bus terakhir ke Padang adalah pukul 14 siang.
Kami sampai di Agen Bus SAN ketika jam
tangan saya menunjuk pukul 10.30. Sudah terlalu siang memang, karena rencana
kami sebelumnya adalah sampai sini pagi hari. Tapi tidak mengapa, toh masih ada sekitar 3
jam sampai pukul 14 untuk berkeliling sebentar ke obyek-obyek wisata yang ada
di Kota Bengkulu ini.
Tiba-tiba bayangan kami langsung
buyar seketika ketika kami mendapat jawaban dari petugas loket bahwa
satu-satunya bus ke Padang berangkat pukul 11 ini. Ya, satu-satunya. Ini menjadi
sebuah pilihan yang sulit bagi kami. Apakah akan naik bus saat ini juga, tetapi
kami tidak jadi mengunjungi apapun di Bengkulu ini alias hanya numpang lewat
saja di Bengkulu. Atau pilihan kedua, kami menunda perjalanan sampai besok
dengan harapan kami bisa mengunjungi beberapa tempat di Bengkulu ini. Namun
tentu, konsekuensinya adalah kami harus mengeluarkan biaya untuk penginapan di
Bengkulu, padahal itu di luar budget yang sudah kami rencanakan.
Saya, Hilmy dan Melyn serba kebingungan.
Berunding untuk menentukan pilihan ini. Kami dikejar waktu untuk segera
menentukan pilihan. Di tengah kepanikan, entah bagaimana pertimbangannya
tiba-tiba kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan bus sekarang
juga. Melewatkan Bengkulu dan bayangan tentang kami tentang Pantai Panjang
Bengkulu, Benteng Marlborough, dan Rumah Pengasingan Soekarno.
Akhirnya kami segera membeli 3 tiket bus
jurusan Bengkulu – Padang saat itu juga. Dan setelah terbeli, kami baru tau
kalau sebenarnya busnya sudah berangkat sejak beberapa menit yang lalu. Petugas
loket menelepon driver bus untuk berhenti karena ada penumpang yang akan
menyusul. Lalu petugas yang lain memanggil 3 ojek untuk mengantarkan kami
mengejar bus itu. Jadilah kami bertiga dengan ojek masing-masing mengejar bus
yang sudah jalan beberapa menit yang lalu. Saya tersenyum-senyum sendiri membonceng
ketika melihat wajah abang ojek dari spion motornya. Saya berkhayal, ini seperti
melihat Valentino Rossi dengan motor balapnya mengejar Michael Schumacher yang
sudah jalan dulu memakai mobil F1. Tapi “Valentino Rossi” saya ini hebat, ia
bisa mengejar Michael Schumacher. Ya pasti bisa mengejar, karena busnya sudah berhenti
setelah drivernya di telpon petugas penjual tiket tadi.
Setelah bisa mengejar bus dengan
ojek-ojek ini, kami bertiga naik ke dalam bus. Ternyata bus masih sepi
penumpang, hanya ada kru bus yang berjumlah 4 orang, kami bertiga dan 1
penumpang lain seorang nenek dengan kebaya dan pakaian Jawa. Kemudian bus mulai
berjalan perlahan. Setelah agak santai kami baru bisa berpikiran ‘jernih’. Kami
bicara lagi tentang pilihan kami untuk melanjutkan perjalanan kami tanpa menjumpai
apapun di Bengkulu.
Tetapi begitu sampai di dalam bus, nampaknya
kami begitu menyesali keputusan yang kami ambil tadi. Kini di atas bus yang
sudah beranjak perlahan meninggalkan Kota Bengkulu, kami dihinggapi rasa kecewa.
“Harusnya tadi kita berhenti saja ya, tak mengapa harus menginap dulu, yang
penting kita bisa mendatangi banyak tempat di Bengkulu” saya berujar dengan
kecewa. Hilmy juga nampak kecewa “Tadi aku juga sempat berfikiran untuk stay
saja di Bengkulu, tapi dikejar waktu untuk segera memutuskan”. Melyn duduk diam
sambil mengetikkan sesuatu di handphone-nya. Ia menuliskan cerita ini ke
blognya. Mungkin untuk menghibur diri juga, dia menulisnya dengan judul “Jalan
Memutar” (http://annarumi.blogspot.com/2011/08/jalan-memutarjalan-memutar.html).
Tapi sudahlah, kami sudah terlanjur ada di bus ini. Tidak mungkin kami turun
lalu kembali ke Kota Bengkulu. Bayangan tentang obyek-obyek wisata di Bengkulu
harus kami lupakan. Kami bertiga tadi nampaknya mengambil
keputusan yang salah.
kondisi bus dari dalam |
***
Bus terus melaju meninggalkan kota
Bengkulu menuju Padang. Selepas dari Kota Bengkulu kami melewati jalur di
pesisir pantai. Di sebelah kiri kami adalah pantai barat Sumatra yang menghadap
langsung dengan Samudra Hindia. Pemandangan pantai ini sedikit menghibur kami
setelah kami tidak jadi ke Pantai Panjang di Bengkulu. Sementara pemandangan di
sebelah kanan kami adalah perkebunan sawit yang berbukit-bukit luasnya. Namun
lama kelamaan pemandangan itu membosankan kami. Kamera, handphone dan pemutar musik
baterainya sudah lemah sejak tadi malam. Hilmy dan Melyn memilih untuk tidur. Saya
memilih untuk menikmati pemandangan di luar karena tidak bisa tidur.
Pemandangan kanan dan kiri selanjutnya
adalah hutan dengan pepohonan yang menjulang, jalanan berkelok-kelok dengan
jurang di kanan dan kiri. Beberapa kali bus bermasalah dengan transmisinya,
sehingga membuat saya deg-degan ketika bus harus berpindah transmisi saat
berada di tanjakan. Selepas hutan, yang terlihat kemudian adalah perkebun sawit
yang tidak ada habisnya dari bukit ke bukit. Sejauh mata memandang, yang
terlihat hanya pohon sawit. Jarang sekali terlihat ada pemukiman penduduk.
Kalaupun ada, jarak antar pemukiman penduduk sangat jauh.
Jika dilihat di peta, antara Bengkulu
dan Padang ini titik tengahnya adalah di Mukomuko. Jam di tangan saya sudah
menunjuk pukul 16 sore. Sudah hampir 5 jam kami ada di bus, tetapi kami masih
belum sampai di Mukomuko. Jalanan masih sama, yang nampak di kanan kiri adalah
gugusan pohon sawit. Bus sejak tadi mulai sering berhenti karena banyak penumpang
yang naik dari agen-agen di pinggir jalan. Bus yang tadinya sedikit penumpang
kini sudah mulai banyak terisi.
Menjelang senja kami melewati sebuah
pantai yang warnanya coklat. Pantai ini memanjang dengan kondisi yang kotor dan
sedikit rumput liar. Jalan raya dengan kondisi yang rusak parah ada persis di pinggir pantai ini. Dari penuturan
penumpang yang lain, jalanan yang ada persis di pinggir pantai ini rusak karena
terkikis oleh ombak yang besar. Abrasi pantai menyebabkan jalanan sangat rusak
dan bergelombang. Dan saya baru tau kalau pantai ini namanya juga Pantai Abrasi.
Selepas dari pantai yang jalannya jelek
itu, bus mulai masuk ke kota. Nampaknya kami sudah memasuki Kota Mukomuko.
Suasana kotanya sangat sepi, bangunan-bangunan pemerintahan juga kondisinya
masih sangat sederhana. Mukomuko ini adalah kota paling utara di Propinsi Bengkulu.
Sebagian besar penduduk di Mukomuko ini berasal dari Jawa. Mukomuko adalah
salah satu daerah tujuan transmigrasi di Propinsi Bengkulu. Sedangkan Bengkulu ini sejak jaman Pemerintahan Kolonial Belanda sudah disebut sebagai 'tanah harapan' bagi orang-orang dari luar Bengkulu.
Sayup-sayup diantara gelap kami melewati
pusat kota Mukomuko. Suasana sepi, lebih tepatnya sangat sepi. Sepanjang
Bengkulu – Mukomuko tadi saya iseng menghitung jumlah SPBU yang ada. Jalan Bengkulu
– Mukomuko sepanjang kurang lebih 250 km saya hanya melihat ada 3 SPBU, itupun
1 diantaranya kondisinya tutup. Selepas dari pusat kota, bus berhenti disebuah
rumah makan di pinggir jalan. Nampaknya sudah maghrib sehingga bus berhenti di
rumah makan untuk buka puasa.
bus berhenti di tempat makan |
tertidur di bus |
Inilah buka puasa pertama kami dalam
perjalanan di Sumatra. Buka puasa di sebuah kota yang belum
pernah kami bayangkan sebelumnya, Mukomuko. Selepas buka puasa, bus kembali
melanjutkan perjalanannya. Nenek dengan pakaian Jawa yang satu bus dengan kami
sejak dari Padang itu tidak keluar untuk makan. Melyn menawarinya sebotol air minum. Nenek
itu dengan senyumnya, sedikit menolak karena menurut beliau sebentar lagi ia
akan sampai di tujuan. Beliau kemudian mengeluarkan secarik kertas bertuliskan
nomor telepon kemudian meminta tolong kepada Melyn. “Dek, minta tolong sms
nomor ini. Ini nomor telpon anak saya. Minta tolong sms, bilang kalau saya
sudah mau sampai, katanya dia akan menjemput”. Melyn kemudian membantu untuk
sms. Kemudian mereka berbincang entah tentang apa. Beberapa saat kemudian kami
melewati sebuah pemukiman yang lumayan ramai. Nenek itu turun, dari dalam bus
kami melihat sudah ada yang menjemputnya. Alhamdulillah.
Perjalanan entah masih panjang atau
tidak, tetapi menurut kondektur bus kira-kira bus akan sampai di Padang pukul 5
pagi besok. Jam sudah menunjuk pukul 8 malam. Perjalanan ini sungguh merupakan
salah satu fase terberat yang kami rasakan sepertinya. Saya tertidur, kami
bertiga terlelap. Berharap esok pagi kami sudah bisa melihat rumah gadang.
rumah makan tempat bus berhenti dan buka puasa pertama kami |
menu buka puasa kami, 3 piring nasi dan sepotong ayam :D |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar