Rabu, 28 September 2011

Festival Tari

Tari Payung dari Provinsi Bali

Tari Payung dari Provinsi Bali

Tari Payung dari Provinsi Bali

Tari Payung dari Provinsi Bali

Tari Sigale-gale Sumatra Utara

Tari Sigale-gale Sumatra Utara
Tari Sigale-gale Sumatra Utara

Tari Sigale-gale Sumatra Utara

Tari dari Yapen, Papua

Tari dari Yapen, Papua
Tari dari Yapen, Papua
Beberapa hari yang lalu menyaksikan acara ini di Gedung Kesenian Jakarta. Katanya bukan acara untuk umum, padahal di twitter disebutkan acara ini free. Tapi berhubung muka saya memelas. Security yang menjaga mau mengantarkan saya masuk ke dalam :) Terima kasih untuk security yang baik hati itu :)

Minggu, 25 September 2011

Candu

Melihat kereta yang berderet. Kicauan burung di stasiun. Ransel-ransel penuh beban. Kilatan kamera untuk memvisualisasikan. Semangat dari backpacker bule tentang negeri yang sangat jauh dari kampung halamannya. Lonely planet sebagai kitab.

Langkah ke depan itu seperti misteri. Entah apa yang akan mereka lihat dan alami di depan. Baguskah? Sesuai ekspetasi mereka?

Ini bukan tujuan, tapi ini perjalanan. Suatu proses seperti sebuah kehidupan. Kita bisa menerka sebuah kehidupan, tapi kita tidak bisa menentukan endingnya. Kemampuan kita jauh dari sempurna untuk menentukan akhir dari sebuah cerita. Yang kita punya adalah berusaha sebaik mungkin untuk tetap berada pada jalurnya dan Tuhan akan menyempurnakan hasilnya.

Duduk menunggu kereta di Stasiun Gambir. Melihat 2 orang backpacker dengan tas ranselnya juga sedang menunggu kereta. Melihat moment seperti itu saya lantas bertanya pada diri : kapan saya akan lanjutkan perjalanan?

Memang benar, perjalanan itu candu! :) Tapi mungkin kita akan menemukan PASSION kita. Kamu percaya?

*Siang terik di Jakarta, menunggu kereta ke Bogor. Sebuah kota dimana Sir Stamford Raffles pernah menyebutnya 'a romantic little village'*
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Sabtu, 24 September 2011

Lebay-nya Orang Libur

Apa arti libur untukmu? Apa arti hari Sabtu dan Minggu kawan? Mungkin ada yang menjawab hari dimana kita bisa bangun siang dan tidur sepuasnya. Ada yang menjawab hari dimana kita bisa sejenak melupakan beban pekerjaan. Atau banyak juga yang menjawab hari untuk berkumpul bersama keluarga. Banyak sekali definisi hari libur bagi kawan semua.

Tapi kalau boleh jujur. Sebenarnya saya agak merasa 'ndak sreg' jika baca timeline di twitter atau status facebook teman tentang hari libur. Bagaimana gegap gempita mereka kalau sudah hari Jumat menjelang libur. Lalu bagaimana lebay-nya mereka berpisah dengan hari Minggu lalu kembali kerja di hari Senin.

Tidak ada yang salah dengan kesenangan itu. Tapi 'mbok ya' dibuat biasa saja, ndak usah berlebihan. Kenapa 'ndak' disyukuri saja. Masih bisa merasakan libur, masih bisa menikmati berkumpul bersama keluarga. Masih bisa sedikit 'ambegan' dari penatnya pekerjaan.

Kenapa harus bersyukur? Ya coba tengok saudara-saudara kita yang lain. Ada banyak sekali orang yang kalau kerjanya libur ya makan juga libur. Ada yang kalau nekat libur ya, resikonya di pecat dari pekerjaannya. Lho kok bisa? Ya bisa saja. Gak usah lihat jauh-jauh. Coba pergi ke Warteg terdekat deh. Mbak-mbak yang kerja di Warteg itu kapan liburnya? Ya hampir ndak ada. Bisa libur ya setahun sekali pas lebaran. Kerja dari jam 5 pagi sampai 10 malam.

Bagi mereka semua kalender sama. Ya mungkin hampir sama seperti kalender di HP yang warnanya hitam semua, ndak ada tanggal merahnya. Lha terus kita harus gimana? Ya disyukuri saja. Bersyukur masih bisa libur. Bersyukur gaji masih utuh tanpa potongan meski banyak tanggal merah. ƗƗɑƗƗɑƗƗɑ‎​‎​

Lalu buat yang nggak ada libur atau buat yang 'nggak kerja nggak makan? Hmmm.. Sebaiknya kita jangan melihat sesuatu dari luarnya saja. Banyak hal yang tidak terdefinisikan secara kasat mata. Belum tentu orang yang kerja nggak ada libur itu tidak lebih bahagia dari kita.

Sepertinya kita sudah bahagia. Tapi melihat senyum mbak-mbak yang kerja di Warteg ini, dengan kasat mata saya berkesimpulan bahwa mereka lebih bahagia dari kita. Dari kita yang kadang terbebani oleh hal-hal kecil seperti kapan kita libur dan kapan kita gajian. Kita, golongan orang yang melebaykan hari libur.

-sepertinya saya sedang nggak mood nulis. tulisane ngalor ngidul ora nggenah. soyo suwi aku mandan keminter. ƗƗɑƗƗɑƗƗɑ‎​‎​. jakarta, duduk diujung warteg sambil minum segarnya greentea-
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Selasa, 20 September 2011

#Merapal Semarang

Mulut saya terus merapal. Entah doa apa, yang pasti saya ingin terus mengucapnya. Komat kamit di mulut juga berdegup kencang di dada. 2 lampu indikator di atas kepala terus menyala. Goncangan ke kanan kiri seperti mengikuti irama. Memang benar, hidup dan mati itu beda tipis adanya.

Pucat pasi nampak di muka orang yang duduk di sebelah. Dari gerak mulutnya nampak ia juga mengucapkan sesuatu. Hanya kepasrahan saja yang ada di sisi hati kami. Entah saat itu kami ada di atas mana. Yang saya tau, semua ingin berharap sampai pada tujuan di mana kami nanti bisa berucap Alhamdulillah.

Kami mencoba membesarkan hati. Mungkin saat itu cuaca sedang buruk sehingga banyak goncangan yang terjadi. Kedua telapak tangan saya terpagut. Saya baru merasakan bahwa keringat keluar dari telapak tangan. Keringat dingin. Telapak tangan memang mempunyai keterikatan dengan batin dan emosi hati pemiliknya. Seperti filsafah garis tangan juga sepertinya. Ada keterkaitan paling dalam dari indra nonverbal manusia yang di visualkan dalam penggambaran di telapak tangannya. Entah itu berupa wujud seperti gugusan garisnya. Ataupun perwujudan lain dalam bentuk keringat dingin dan gemetaran ( dalam bahasa jawa bisa juga disebut "ndredek" )

***

Hufh, setelah beberapa saat alhamdulillah ketenangan mulai tercipta. Kami sudah melewati ruang lingkup dengan cuaca buruk tadi. Lampu indikator tanda sabuk pengaman harus di pakai sudah mati. Kestabilan mulai kembali. Bukankan ini juga bagian dari replika kehidupan? Habis gelap terbit terang. Habis susah menjadi senang. Setelah kecemasan ada ketenangan. Tapi siklus kehidupan bisa juga berbalik menjadi habis terang menjadi gelap. Habis senang menjadi susah. Atau kecemasan setelah ketenangan.

Setelah itu beberapa saat kemudian diberitahukan bahwa kami akan segera sampai. Pintu kelegaan akan kami dapatkan kembali. Remang-remang lampu dari bentangan kota sudah bisa kami lihat. Gugusan cahaya dan kesyahduan memandang kota dari ketinggian setelah sebelumnya kami terperangkap dama gelap dan kecemasan. Melihat jutaan lampu yang terpendar, kelap-kelip penuh keramaian seperti membawa kami kepada kerinduan. Seperti kerinduan seluruh penumpang di dalam kotak ini akan orang yang menyambutnya di kota yang sebentar lagi kami jejaki.

Tawa saya mengembang ketika masih belum menjejak tanah (kira-kira 50 meter di atas landasan) sudah ada bunyi sms yang sangat khas dari HP sejuta umat. Gila ya, pesawat belum mendarat sudah ada yang menyalakan HP. Indonesia banget!

***

Duduk saya di tempat menunggu. Udin yang akan menjemput saya masih belum sampai juga. Sabar menunggu sambil ngemil sesuatu. Tiba-tiba ada yang duduk di samping saya. Kursi panjang yang sedari tadi saya duduki sendiri. Wanginya tercium semerbak. Dia menatap! Pandangan pertama tidak boleh saya lewatkan sampai berkedip. Wanita cantik jelita dengan mata biru itu tersenyum. Duduk disamping saya yang beberapa saat lalu gemetar karena takut di dalam pesawat, berganti gemetar karena duduk disampingnya. Deg!

Tuhan maha adil. Maha asyik.

*Semarang, 9 September 2011
Ke kota ini lagi. Meski saya tak seantusias dulu. Suasana sudah sangat berubah dan saya tak bisa menikmatinya. Saya ingin segera melewatkan beberapa urusan di kota ini dan segera pulang ke Wonosobo.
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Rabu, 07 September 2011

Dua Merpati

Dua merpati itu terbang di atas stadion. Di atas gemuruh 100 ribu orang yang sedang terbakar euforia atas nama 'Nasionalisme'. Di antara gegap gempita yang tercipta karena di dada mereka bertuliskan : Indonesia! Rasa haru, merinding, dan bangga berkalaborasi tingkat tinggi ketika semua orang menyanyikan satu lagu, Indonesia Raya!

Dua merpati itu terbang di atas stadion. Stadion yang dibangun atas nama kebanggaan sebagai bangsa. Tempat jutaan rakyat berharap pada kebanggaan bangsanya. Untuk sementara lupa atas semua tingkah polah penguasa yang kadang semakin lama semakin mengikiskan negara ini dari rakyatnya.

Dua merpati itu terbang di atas stadion. Terpukau akan semua teriakan pembakar semangat prajurit bangsanya. Terpesona akan antusiasme jutaan pendukung berteriak 'Indonesia'.

Dua merpati itu terbang di atas stadion. Ketika 11 orang prajurit patriot bangsa itu terus berlari dan berolah strategi demi kebanggaan di dada mereka. Kebanggaan bersimbolkan garuda.

Dua merpati itu terbang di atas stadion. Ketika harapan itu mulai diselingi dengan caci maki. Tapi ia percaya, itu bukan caci maki karena benci.

Dua merpati itu terbang di atas stadion. Ketika harapan lama-lama semakin mengecil karena musuh ternyata tak semudah yang dibayangkan. Ketika musuh terlecut motivasinya untuk membungkam manusia yang tak menghormati lagu kebangsaan mereka.

Dua merpati itu terbang di atas stadion. Ketika bangsa ini kembali harus berperang melawan dirinya sendiri. Melawan ego dan nafsu hatinya sendiri. Musuh semakin tak kuasa untuk menebar rasa bangganya. Kita tak kalah dari musuh kita, tapi kalah oleh tendangan yang kita tendang ke muka kita sendiri.

Dua merpati itu terbang di atas stadion. Ketika lautan manusia dibawahnya tercabik-cabik kembali akan identitas bangsanya. Prajurit-prajurit itu masih berjuang demi kebanggaan bangsanya. Meski mereka tau, sudah ada yang lari tunggang langgang. Belok kanan dan mencari pembenaran akan sikapnya.

Dua merpati itu terbang di atas stadion. Meyakini bahwa kekalahan itu bukan akhir dari sebuah kebanggaan. Tapi belajar dari film Beautiful Mind: "kekalahan apapun dalam hidup bisa kita tebus!"

Dua merpati itu terbang di atas stadion. Stadion yang berangsur sepi untuk kemudian kosong. Kebanggaan kembali menjadi kosong di tempat itu. Juga di dada manusianya ketika bangsa ini terus berkutat dengan problematikanya.

Dua merpati itu terbang di atas stadion. Mereka percaya bahwa akan ada moment untuk mereka melihat kembali kebanggaan itu. Ketika semua orang berteriak : INDONESIA!

"One faith, one mission, one flag, one heart and one love for INDONESIA!"

- bangun tidur, lapar tapi ingin merancau dulu. there are only one club (MANCHESTER UNITED) in my heart. There are only one NATION IN MY HEART. INDONESIA !!! :) -
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Selasa, 06 September 2011

Busway

Busway

Di dalam busway aku menunduk. Laju busway serasa mengaduk. Goyang kanan, goyang kiri. Mengikuti gaya relativitas yang tak beraturan.

Seperti lonceng yang bertalu-talu. Kadang telinga perlu mengakrabi derit suara bus. Kadang pula harus terpaku pada suara hiruk pikuk di dalamnya. Namun sebenarnya kita bisa banyak juga belajar dari obrolan penumpangnya. Juga pembawaan mereka yang mengingatkan kita pada falsafah jawa "ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana".

Di depanku duduk seorang pemudi cantik. Dengan senyum menawan hati. Kadang kami saling mencuri pandangan. Ia duduk, nampak sibuk dengan BB di depannya. Ia begitu asik dengan dunianya. Senyum-senyum sendiri sambil terus menatap layar kecil di genggamannya itu. Mungkin ia tertawa karena sesuatu hal di dalam BB-nya. Dan aku juga tersenyum, bukan karena BB-nya. Tapi karena melihat tawanya.

Suasana semakin ramai. Laju busway semakin cepat. Gelantungan tangan yang tadinya masih kosong sekarang sudah penuh digenggam orang. Berpadu dengan peluh keringat orang-orang yang memegangnya untuk sekedar bertahan dari goncangan bus ini. Semakin sesak bus ini aku semakin sadar bahwa tak selamanya kita berharap pada sebuah ketenangan. Ada proses dimana hidup itu seperti sebuah pencarian. Dan sebelum kita menemukan hasil dari pencarian itu, kita akan bertemu dengan "ketenangan" atau "kesemrawutan".

Pemudi didepanku turun di halte yang sama denganku. Ia menunduk untuk kemudian melempar senyumnya dan pergi entah kemana. Rambutnya terurai mengikuti lajunya. Aku melayang, seperti terpental dari keramaian yang tercipta sebelumnya. Juga ketenangan yang kadang sulit kutemui di kota ini. Aku percaya ketenangan, keramaian dan kesemrawutan ini adalah bagian dari sebuah perjalanan.

-turun dari busway yang panas. pulang dari GBK untuk membeli tiket timnas. nanti malam aku akan teriak, INDONESIA!-
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Senin, 05 September 2011

#Angin

Seperti angin. Tak tentu ia akan bertiup kemana. Dari atas ke bawah, dari kanan ke kiri atau dari barat ke timur. Semua sama wujudnya, angin. Meniup tak tentu arah. Tapi kadang masih punya definisi, angin darat atau angin laut. Dari yang sepoi-sepoi, kencang atau angin yang memporak-porandakan semua yang di laluinya.

Aku mengaduh di sudut kursi panjang. Merasa senasib dengan angin. Yang hinggap dari satu tempat dengan berbagai penampakan yang berbeda. Kadang menjadi angin yang lembut seperti menyibakkan rambut panjangmu. Kadang menjadi angin yang biasa, yang sekedar menggigilkan pundakmu. Atau menjadi angin layaknya taifun yang membuatmu kehilangan kesabaran menghadapiku. Tapi apapun itu, kamu masih menyebutku angin.

Kini, aku bosan menjadi angin yang selalu hilir mudik merancau kesana kemari. Aku penat menjadi angin yang membuat kamu menunggu, hingga kau terbuai oleh angin lain yang mungkin membuatmu demam. Membuatku mengutuk diriku sendiri dan mengigau tentang kamu, juga pelukan hangatmu.

Aku bosan menjadi angin. Tiba-tiba aku ingin menjadi anak panah. Dengan fokus, arah, pandangan hanya ke satu sisi. Menarik semua ketulusan, keyakinan dan segenap usaha untuk mencapai satu titik di ujung sana. Sebuah papan di ujung, tempat di mana anak panah ini akan tertancap. Sebuah papan sederhana bertuliskan manis namamu.


-malam pertama di kost setelah libur lebaran. untuk siapapun kamu. ingin kutarik busur ini tapi aku melihat sudah ada anak panah tertancap di papan itu, meskipun aku yakin anak panah itu tak benar-benar tertancap juga di hatimu-
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Cerita Mudikku :)

Sore itu pikiran berkecambuk di kepala. Seperti berjalan di antara persimpangan dengan 2 arah yang tak pasti. Hari itu, H-5 menjelang lebaran dan saya masih di Jakarta untuk menyelesaikan setumpuk pekerjaan. Saya coba cari tiket untuk pulang ke Wonosobo, namun sangat sulit didapatkan karena menjelang lebaran. Semua orang berlomba-lomba mendapatkan tiket pulang agar dapat berlebaran di kampung halaman. Saya buka web agen pesawat, semua jadwal bertuliskan "sold out". Semua maskapai penerbangan Jakarta - Semarang atau Jakarta - Yogyakarta semuanya habis! Membuka web untuk memesan tiket kereta api hasilnya sama saja, tak ada tiket yang tersisa.

Opsi satu-satunya adalah menggunakan bus. Hmmm.. Baru memikirkan bus saja bayangan macet sudah terbayang ya. Jalur Pantai Utara Jawa (Pantura) sudah pasti macet menjelang lebaran seperti ini. Tapi daripada sama sekali tak bisa pulang kampung, mau tak mau ya harus beli tiket bus sebagai alternatif terbaik. Maka dengan diantar ojek langganan, saya meluncur ke agen bus.

Sesampai di agen bus, nampaknya semua tiket sudah habis sampai dengan H-1. Ah, too bad! Cemas rasanya membayangkan cara mudik kali ini. Namun keberuntungan masih memihak saya kala itu. Petugas loket memberitahukan saya bahwa ada penumpang yang meng-cancel tiketnya. Sehingga masih tersisa 1 kursi untuk saya. Di hari H-3! Alhamdulillah.

Siang itu saya kembali ke kantor dengan perasaan suka cita. Tiket pulang sudah di tangan. Tapi perasaan suka cita serasa menjadi hambar ketika saya harus membayangkan kemacetan yang harus dihadapi nantinya. Tiba-tiba berkecambuk di pikiran saya untuk mencari opsi lain lagi selain menggunakan bus.

Di H-4 atau sehari sebelum jadwal tiket bus saya. Banyak sekali teman yang sudah mudik terlebih dahulu. Saya baca di twitt-twitt mereka yang menuliskan tentang kemacetan mereka. Duh, saya tambah bingung. Apakah tetap memakai bus yang tiketnya sudah terbeli? Atau berusaha lagi mencari opsi transportasi lain.

Dan saya semakin bingung lagi ketika iseng membuka web maskapai pesawat dan menemukan tulisan yang 'sold out' itu menjadi 'available'. Mungkin ada penumpang pesawat yang membatalkan keberangkatannya. Diantara pilihan untuk mengambil tiket pesawat dan membatalkan tiket bus itu tiba-tiba saya memantapkan diri untuk membeli tiket pesawat. Saya coba booking online, dan done! tinggal pergi ke ATM dan melakukan pembayaran.

Dalam perjalanan dari kantor ke ATM saya melewati jembatan penyeberangan di halte busway BI. Nah di atas jendela itu ada pemandangan seorang ibu pengemis yang tengah tertidur. Kondisinya sangat menyedihkan. Sekedar berharap belas kasihan orang yang lewat. Tiba-tiba hati saya bercakap, kenapa saya tidak bersyukur sudah bisa dapat tiket mudik meskipun itu tiket bus. Kenapa saya tidak bersyukur masih bisa mudik meskipun nantinya macet dari pada orang yang tidak bisa mudik seperti ibu yang ada di hadapan saya ini.

Yup, kemudian saya langsung memantapkan hati saya. Saya mau mudik apa adanya, meski macet tak apalah. Saya harus bersyukur saya masih bisa mudik, dibandingkan banyak orang di kota ini yang tak bisa mudik dengan segala keterbatasannya. Siang itu saya mengurungkan untuk membayar tiket pesawat yang sudah dibooking itu. Saya memantapkan diri mudik dengan bus, apapun kondisinya.

Hari berikutnya ketika hari keberangkatan tiba. Saya sudah di agen bus yang akan memberangkatkan busnya ke Wonosobo. Sambil menunggu busnya jalan iseng-iseng saya memesan bakso di depan agen busnya. Buat ngisi perut di jalan :). Sambil menunggu baksonya dibuatkan sama penjual bakso gerobak dorong itu, saya mengajak ngobrol penjualnya.
"Tidak mudik pak?" tanyaku
"Enggak mas, ndak ada ongkos"

Sore menjelang senja itu saya belajar satu hal. Bersyukur! Bersyukur saya masih bisa pulang kampung, masih bisa bersilaturahmi kesana kemari. Sore itu saya menekatkan diri, apapun kondisi di jalan. Semacet papun kondisinya, saya tak boleh mengeluh. Sepenuh apapun bus-nya saya harus tetap senyum,

Bus 'Sinar Jaya' yang saya tumpangi drivernya sangat pengalaman. Disaat teman-teman lain mengalami macet parah, bus ini lancar tak kena macet apapun karena drivernya tau jalan-jalan alternatif yang sepi. Di saat teman lain harus di perjalanan lebih dari 20 jam. Bus yang saya tumpangi ini hanya butuh 13 jam Jakarta-Wonosobo. Di H-3, puncaknya arus mudik! Alhamdulillah yah. Sesuatu banget!
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...