Selasa, 20 September 2011

#Merapal Semarang

Mulut saya terus merapal. Entah doa apa, yang pasti saya ingin terus mengucapnya. Komat kamit di mulut juga berdegup kencang di dada. 2 lampu indikator di atas kepala terus menyala. Goncangan ke kanan kiri seperti mengikuti irama. Memang benar, hidup dan mati itu beda tipis adanya.

Pucat pasi nampak di muka orang yang duduk di sebelah. Dari gerak mulutnya nampak ia juga mengucapkan sesuatu. Hanya kepasrahan saja yang ada di sisi hati kami. Entah saat itu kami ada di atas mana. Yang saya tau, semua ingin berharap sampai pada tujuan di mana kami nanti bisa berucap Alhamdulillah.

Kami mencoba membesarkan hati. Mungkin saat itu cuaca sedang buruk sehingga banyak goncangan yang terjadi. Kedua telapak tangan saya terpagut. Saya baru merasakan bahwa keringat keluar dari telapak tangan. Keringat dingin. Telapak tangan memang mempunyai keterikatan dengan batin dan emosi hati pemiliknya. Seperti filsafah garis tangan juga sepertinya. Ada keterkaitan paling dalam dari indra nonverbal manusia yang di visualkan dalam penggambaran di telapak tangannya. Entah itu berupa wujud seperti gugusan garisnya. Ataupun perwujudan lain dalam bentuk keringat dingin dan gemetaran ( dalam bahasa jawa bisa juga disebut "ndredek" )

***

Hufh, setelah beberapa saat alhamdulillah ketenangan mulai tercipta. Kami sudah melewati ruang lingkup dengan cuaca buruk tadi. Lampu indikator tanda sabuk pengaman harus di pakai sudah mati. Kestabilan mulai kembali. Bukankan ini juga bagian dari replika kehidupan? Habis gelap terbit terang. Habis susah menjadi senang. Setelah kecemasan ada ketenangan. Tapi siklus kehidupan bisa juga berbalik menjadi habis terang menjadi gelap. Habis senang menjadi susah. Atau kecemasan setelah ketenangan.

Setelah itu beberapa saat kemudian diberitahukan bahwa kami akan segera sampai. Pintu kelegaan akan kami dapatkan kembali. Remang-remang lampu dari bentangan kota sudah bisa kami lihat. Gugusan cahaya dan kesyahduan memandang kota dari ketinggian setelah sebelumnya kami terperangkap dama gelap dan kecemasan. Melihat jutaan lampu yang terpendar, kelap-kelip penuh keramaian seperti membawa kami kepada kerinduan. Seperti kerinduan seluruh penumpang di dalam kotak ini akan orang yang menyambutnya di kota yang sebentar lagi kami jejaki.

Tawa saya mengembang ketika masih belum menjejak tanah (kira-kira 50 meter di atas landasan) sudah ada bunyi sms yang sangat khas dari HP sejuta umat. Gila ya, pesawat belum mendarat sudah ada yang menyalakan HP. Indonesia banget!

***

Duduk saya di tempat menunggu. Udin yang akan menjemput saya masih belum sampai juga. Sabar menunggu sambil ngemil sesuatu. Tiba-tiba ada yang duduk di samping saya. Kursi panjang yang sedari tadi saya duduki sendiri. Wanginya tercium semerbak. Dia menatap! Pandangan pertama tidak boleh saya lewatkan sampai berkedip. Wanita cantik jelita dengan mata biru itu tersenyum. Duduk disamping saya yang beberapa saat lalu gemetar karena takut di dalam pesawat, berganti gemetar karena duduk disampingnya. Deg!

Tuhan maha adil. Maha asyik.

*Semarang, 9 September 2011
Ke kota ini lagi. Meski saya tak seantusias dulu. Suasana sudah sangat berubah dan saya tak bisa menikmatinya. Saya ingin segera melewatkan beberapa urusan di kota ini dan segera pulang ke Wonosobo.
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

2 komentar:

putri venus mengatakan...

setahuku malah menyalakan hp selama di pesawat ndak masalah sama sekali, pelarangan itu hanya kebiasaan.

'Pandangan pertama tidak boleh saya lewatkan sampai berkedip.' dasar laki-laki.

Rizky mengatakan...

apik2...

emang kl perempuan enggak ya Nad? haha

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...