Senin, 25 Maret 2013

De Javu di Bandar Lampung

Semuanya serba terburu-buru.

Beberapa saat setelah pesawat lepas landas, masih dalam keadaan badan pesawat yang miring ke atas karena pesawat baru ‘menanjak’ naik. Pramugari dengan susah payah mendorong ke depan sebuah trolly berisi roti dan air mineral untuk dibagikan kepada penumpang. Ya, semuanya serba terburu-buru karena belum genap 30 menit penerbangan ini, pilot memberitahukan bahwa pesawat akan segera mendarat.

Tak lebih dari 30 menit akhirnya pesawat mendarat dengan goncangan yang keras karena landasan di lapangan terbang ini tidak terlalu panjang. Panas terik menyambut begitu saya turun dari pesawat. Lalu masuk ke dalam ruang pengambilan bagasi yang begitu kecil dan pengap. Bahkan loket pemesanan taksi juga ada di ruangan yang sama. Bagasi datang begitu lambat, bahkan lebih lama dari penerbangannya. Hahaha. Sampai kemudian saya mengambil tas dan bergegas keluar dari ruangan yang penuh sesak itu.

Selamat datang di Bandar Lampung.

Dari bandara, perlahan taksi menuju ke tengah kota. Saya memandang jauh ke luar. Dalam hati bergumam bahwa saya sebenarnya tidak ingin datang ke kota ini. Sampai kemudian lamunan saya terhenti ketika saya melihat sebuah terminal bus di pinggir jalan bertuliskan ‘Terminal Rajabasa’. Ya, saya pernah memiliki sepenggal kenangan di terminal itu bersama Melyn dan Hilmy. Tak jauh dari terminal itu, di kiri jalan saya melihat sebuah bangunan yang tidak asing bagi saya, ‘Museum Lampung’. Saya mengingat moment numpang mandi di dalamnya.

Taksi terus melaju dan dalam perjalanan ke tempat menginap saya, taksi ini juga melewati ‘Stasiun Tanjung Karang’. Tiba-tiba, saya seperti terbawa mesin waktu, mengingat banyak moment di stasiun itu. Tak jauh dari stasiun, taksi tepat berhenti di depan hotel. Saya bergegas masuk dan setelah ribet dengan segala macam administrasinya akhirnya saya bisa tidur di kamar.

Malam selepas maghrib, saya keluar dari hotel untuk mencari makan. Di dekat hotel, ada sebuah tempat makan di sebuah ruko yang memikat saya karena tempatnya yang ramai. Saya masuk ke dalamnya dan sesaat kemudian saya seperti kembali ditarik ke dalam mesin waktu. Saya seperti merasa pernah ada di tempat ini. Sampai kemudian saya teringat bahwa saya, Melyn dan Hilmy pernah diajak makan disini oleh Febs.

Tuhan maha asik. Dulu, saya pernah singgah di kota ini dan tidak ingin kembali ke kota ini lagi. Tapi Tuhan mengirimkan saya ke kota ini lagi. Lalu saya bertemu dengan serpihan-serpihan kenangan ketika dulu saya pernah singgah di sini. Bahkan secara tidak sengaja makan di tempat dahulu saya makan siang untuk pertama kalinya di kota ini.

Tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan kan?

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...