Selasa, 04 Agustus 2015

Suwung

Sekuat apapun seorang manusia berjuang dan bisa survive pada kondisi buruk sekalipun, tetap ada ruang kosong dalam dirinya.

Meninggalkan rumah sedemikian lamanya sebagai perantau, tentu kemampuan untuk beradaptasi terhadap lingkungan di luar rumah sudah tertanam dengan kuatnya. Kemampuan tersebut salah satunya adalah bersiap terhadap situasi tidak aman. Namun sekuat-kuatnya kita bertahan terhadap pasang suruh kehidupan di luar rumah/kampung halaman, tetap ada 'ruang kosong' di dalam diri kita. Dan setelah sekian lama, saya menyadari bahwa 'ruang kosong' itu bisa terisi ketika kita pulang. Entah oleh suasana aman di rumah atau adanya kehadiran orang tua kita. Ini mungkin disebabkan karena dari mulai 'njedul' ke dunia, salah satu tempat kita mendapat perlindungan dalam tumbuh kembang kita ya dari orang tua kita atau orang-orang terdekat.

13 tahun saya merantau, pernah ke daerah konflik sekalipun, saya tetap merasa memiliki ruang kosong itu. Namun, setiap pulang ke rumah atau bertemu orang tua, saya merasa ruang kosong itu terisi, lalu ada perasaan nyaman dan aman yang hadir menyertai. Seperti ada yang melindungi kita, setua apapun kita. Meskipun kita sudah tidak anak-anak lagi.

Jika kita ibaratkan hidup kita ini puzzle. Selengkap apapun pencapain kita, tetap akan ada serpihan puzzle yang tidak bisa kita capai dengan usaha kita sendiri. Serpihan puzzle itu hadir dengan bentuk orang yang ketika kita ada disampingnya, kita merasa terlengkapi dan terlindungi. Lalu lengkaplah puzzle hidup kita.

Mungkin ruang kosong itu bisa diartikan dengan suwung.

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...