Senin, 14 Mei 2012

Bengkulu, Mukomuko, dan Salah Pilihan..


*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (10)

 kelanjutan dari : Antara Lubuk Linggau dan Bengkulu

rute Bengkulu menuju Mukomuko..

Dalam sebuah perjalanan, kita akan selalu dihadapkan dengan banyak pilihan. Pilihan itu akan senantiasa hinggap dalam kepala kita seiring dengan perjalanan itu sendiri. Kadang kita akan diberi pilihan yang mudah seperti apakah kita akan membeli oleh-oleh khas dari daerah ini atau tidak? Kita mau naik kereta yang bisnis atau ekonomi? Kita mau jalan kaki atau naik angkutan umum?

Kami boleh berencana, tapi sejatinya adalah Tuhan yang menentukan. Berdasar rencana perjalanan yang kami buat jauh-jauh hari, kami merencanakan untuk sampai Bengkulu di pagi hari. Lalu kami akan mengunjungi beberapa obyek wisata di kota ini sampai siang, kemudian melanjutkan perjalanan ke Padang pukul 14. Informasi perjalanan yang kami dapatkan dari google, bus terakhir ke Padang adalah pukul 14 siang.

Kami sampai di Agen Bus SAN ketika jam tangan saya menunjuk pukul 10.30. Sudah terlalu siang memang, karena rencana kami sebelumnya adalah sampai sini pagi hari. Tapi tidak mengapa, toh masih ada sekitar 3 jam sampai pukul 14 untuk berkeliling sebentar ke obyek-obyek wisata yang ada di Kota Bengkulu ini.

Tiba-tiba bayangan kami langsung buyar seketika ketika kami mendapat jawaban dari petugas loket bahwa satu-satunya bus ke Padang berangkat pukul 11 ini. Ya, satu-satunya. Ini menjadi sebuah pilihan yang sulit bagi kami. Apakah akan naik bus saat ini juga, tetapi kami tidak jadi mengunjungi apapun di Bengkulu ini alias hanya numpang lewat saja di Bengkulu. Atau pilihan kedua, kami menunda perjalanan sampai besok dengan harapan kami bisa mengunjungi beberapa tempat di Bengkulu ini. Namun tentu, konsekuensinya adalah kami harus mengeluarkan biaya untuk penginapan di Bengkulu, padahal itu di luar budget yang sudah kami rencanakan.

Saya, Hilmy dan Melyn serba kebingungan. Berunding untuk menentukan pilihan ini. Kami dikejar waktu untuk segera menentukan pilihan. Di tengah kepanikan, entah bagaimana pertimbangannya tiba-tiba kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan bus sekarang juga. Melewatkan Bengkulu dan bayangan tentang kami tentang Pantai Panjang Bengkulu, Benteng Marlborough, dan Rumah Pengasingan Soekarno.

Akhirnya kami segera membeli 3 tiket bus jurusan Bengkulu – Padang saat itu juga. Dan setelah terbeli, kami baru tau kalau sebenarnya busnya sudah berangkat sejak beberapa menit yang lalu. Petugas loket menelepon driver bus untuk berhenti karena ada penumpang yang akan menyusul. Lalu petugas yang lain memanggil 3 ojek untuk mengantarkan kami mengejar bus itu. Jadilah kami bertiga dengan ojek masing-masing mengejar bus yang sudah jalan beberapa menit yang lalu. Saya tersenyum-senyum sendiri membonceng ketika melihat wajah abang ojek dari spion motornya. Saya berkhayal, ini seperti melihat Valentino Rossi dengan motor balapnya mengejar Michael Schumacher yang sudah jalan dulu memakai mobil F1. Tapi “Valentino Rossi” saya ini hebat, ia bisa mengejar Michael Schumacher. Ya pasti bisa mengejar, karena busnya sudah berhenti setelah drivernya di telpon petugas penjual tiket tadi.

Setelah bisa mengejar bus dengan ojek-ojek ini, kami bertiga naik ke dalam bus. Ternyata bus masih sepi penumpang, hanya ada kru bus yang berjumlah 4 orang, kami bertiga dan 1 penumpang lain seorang nenek dengan kebaya dan pakaian Jawa. Kemudian bus mulai berjalan perlahan. Setelah agak santai kami baru bisa berpikiran ‘jernih’. Kami bicara lagi tentang pilihan kami untuk melanjutkan perjalanan kami tanpa menjumpai apapun di Bengkulu.

Tetapi begitu sampai di dalam bus, nampaknya kami begitu menyesali keputusan yang kami ambil tadi. Kini di atas bus yang sudah beranjak perlahan meninggalkan Kota Bengkulu, kami dihinggapi rasa kecewa. “Harusnya tadi kita berhenti saja ya, tak mengapa harus menginap dulu, yang penting kita bisa mendatangi banyak tempat di Bengkulu” saya berujar dengan kecewa. Hilmy juga nampak kecewa “Tadi aku juga sempat berfikiran untuk stay saja di Bengkulu, tapi dikejar waktu untuk segera memutuskan”. Melyn duduk diam sambil mengetikkan sesuatu di handphone-nya. Ia menuliskan cerita ini ke blognya. Mungkin untuk menghibur diri juga, dia menulisnya dengan judul “Jalan Memutar” (http://annarumi.blogspot.com/2011/08/jalan-memutarjalan-memutar.html). Tapi sudahlah, kami sudah terlanjur ada di bus ini. Tidak mungkin kami turun lalu kembali ke Kota Bengkulu. Bayangan tentang obyek-obyek wisata di Bengkulu harus kami lupakan. Kami bertiga tadi nampaknya mengambil keputusan yang salah. 

kondisi bus dari dalam
 
***

Bus terus melaju meninggalkan kota Bengkulu menuju Padang. Selepas dari Kota Bengkulu kami melewati jalur di pesisir pantai. Di sebelah kiri kami adalah pantai barat Sumatra yang menghadap langsung dengan Samudra Hindia. Pemandangan pantai ini sedikit menghibur kami setelah kami tidak jadi ke Pantai Panjang di Bengkulu. Sementara pemandangan di sebelah kanan kami adalah perkebunan sawit yang berbukit-bukit luasnya. Namun lama kelamaan pemandangan itu membosankan kami. Kamera, handphone dan pemutar musik baterainya sudah lemah sejak tadi malam. Hilmy dan Melyn memilih untuk tidur. Saya memilih untuk menikmati pemandangan di luar karena tidak bisa tidur. 

Pemandangan kanan dan kiri selanjutnya adalah hutan dengan pepohonan yang menjulang, jalanan berkelok-kelok dengan jurang di kanan dan kiri. Beberapa kali bus bermasalah dengan transmisinya, sehingga membuat saya deg-degan ketika bus harus berpindah transmisi saat berada di tanjakan. Selepas hutan, yang terlihat kemudian adalah perkebun sawit yang tidak ada habisnya dari bukit ke bukit. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya pohon sawit. Jarang sekali terlihat ada pemukiman penduduk. Kalaupun ada, jarak antar pemukiman penduduk sangat jauh.

Jika dilihat di peta, antara Bengkulu dan Padang ini titik tengahnya adalah di Mukomuko. Jam di tangan saya sudah menunjuk pukul 16 sore. Sudah hampir 5 jam kami ada di bus, tetapi kami masih belum sampai di Mukomuko. Jalanan masih sama, yang nampak di kanan kiri adalah gugusan pohon sawit. Bus sejak tadi mulai sering berhenti karena banyak penumpang yang naik dari agen-agen di pinggir jalan. Bus yang tadinya sedikit penumpang kini sudah mulai banyak terisi. 

Menjelang senja kami melewati sebuah pantai yang warnanya coklat. Pantai ini memanjang dengan kondisi yang kotor dan sedikit rumput liar. Jalan raya dengan kondisi yang rusak parah ada persis di pinggir pantai ini. Dari penuturan penumpang yang lain, jalanan yang ada persis di pinggir pantai ini rusak karena terkikis oleh ombak yang besar. Abrasi pantai menyebabkan jalanan sangat rusak dan bergelombang. Dan saya baru tau kalau pantai ini namanya juga Pantai Abrasi.

Selepas dari pantai yang jalannya jelek itu, bus mulai masuk ke kota. Nampaknya kami sudah memasuki Kota Mukomuko. Suasana kotanya sangat sepi, bangunan-bangunan pemerintahan juga kondisinya masih sangat sederhana. Mukomuko ini adalah kota paling utara di Propinsi Bengkulu. Sebagian besar penduduk di Mukomuko ini berasal dari Jawa. Mukomuko adalah salah satu daerah tujuan transmigrasi di Propinsi Bengkulu. Sedangkan Bengkulu ini sejak jaman Pemerintahan Kolonial Belanda sudah disebut sebagai 'tanah harapan' bagi orang-orang dari luar Bengkulu.

Sayup-sayup diantara gelap kami melewati pusat kota Mukomuko. Suasana sepi, lebih tepatnya sangat sepi. Sepanjang Bengkulu – Mukomuko tadi saya iseng menghitung jumlah SPBU yang ada. Jalan Bengkulu – Mukomuko sepanjang kurang lebih 250 km saya hanya melihat ada 3 SPBU, itupun 1 diantaranya kondisinya tutup. Selepas dari pusat kota, bus berhenti disebuah rumah makan di pinggir jalan. Nampaknya sudah maghrib sehingga bus berhenti di rumah makan untuk buka puasa.

bus berhenti di tempat makan
tertidur di bus

Inilah buka puasa pertama kami dalam perjalanan di Sumatra. Buka puasa di sebuah kota yang belum pernah kami bayangkan sebelumnya, Mukomuko. Selepas buka puasa, bus kembali melanjutkan perjalanannya. Nenek dengan pakaian Jawa yang satu bus dengan kami sejak dari Padang itu tidak keluar untuk makan. Melyn menawarinya sebotol air minum. Nenek itu dengan senyumnya, sedikit menolak karena menurut beliau sebentar lagi ia akan sampai di tujuan. Beliau kemudian mengeluarkan secarik kertas bertuliskan nomor telepon kemudian meminta tolong kepada Melyn. “Dek, minta tolong sms nomor ini. Ini nomor telpon anak saya. Minta tolong sms, bilang kalau saya sudah mau sampai, katanya dia akan menjemput”. Melyn kemudian membantu untuk sms. Kemudian mereka berbincang entah tentang apa. Beberapa saat kemudian kami melewati sebuah pemukiman yang lumayan ramai. Nenek itu turun, dari dalam bus kami melihat sudah ada yang menjemputnya. Alhamdulillah.

Perjalanan entah masih panjang atau tidak, tetapi menurut kondektur bus kira-kira bus akan sampai di Padang pukul 5 pagi besok. Jam sudah menunjuk pukul 8 malam. Perjalanan ini sungguh merupakan salah satu fase terberat yang kami rasakan sepertinya. Saya tertidur, kami bertiga terlelap. Berharap esok pagi kami sudah bisa melihat rumah gadang. 

rumah makan tempat bus berhenti dan buka puasa pertama kami

menu buka puasa kami, 3 piring nasi dan sepotong ayam :D
 

Tidak ada komentar:

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...