*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (15)
kelanjutan dari : Danau Singkarak dan Padang Panjang
kelanjutan dari : Danau Singkarak dan Padang Panjang
Suasana berdesak-desakan di travel yang
membawa kami dari Padang Panjang menuju Bukittinggi tidak begitu saya rasakan.
Meski berdesak-desakan namun pemandangan di luar begitu indah. Gunung
Singgalang disisi kiri memberikan panorama yang menyejukkan mata. Terlebih
dengan aroma mobil yang diselimuti aroma durian.
Selepas kota Padang Panjang, disisi kiri
menuju Bukittinggi kami melewati sebuah papan nama bertuliskan Rumah Puisi
Taufiq Ismail. Ada keinginan untuk turun dan berkunjung ke rumah puisi itu,
namun diantara ragu akhirnya kami memutuskan untuk tidak turun dan melanjutkan
perjalanan kami ke Bukittinggi.
Hampir satu jam ketika beberapa
penumpang lain sudah mulai turun dan keadaan travel tidak sesesak sebelumnya.
Menjelang masuk ke kota Bukittinggi, beberapa kali kami mengalami kemacetan.
Kota ini lumayan ramai, tidak heran kalau menjadi kota yang paling padat
penduduknya di Sumatra Barat.
Menjelang masuk tengah kota, pengemudi
travel memberi tau kepada kami bahwa ia tidak bisa mengantar sampai ke Jam
Gadang. Sehingga kami turun dan berpindah ke angkot agar bisa sampai ke Jam
Gadang.
Hilmy sibuk membaca peta kota
Bukittinggi di buku Lonely Planet yang ia bawa. Ia menyarankan kami untuk pergi
ke Ngarai Sianok terlebih dahulu sebelum pergi ke Jam Gadang. Di sebuah
perempatan diantara Jam Gadang dan Ngarai Sianok kami turun dari angkot.
Kemudian berpindah angkot lagi menuju Ngarai Sianok.
Sekilas kota Bukittinggi ini adalah kota
wisata. Bisa dilihat dari banyaknya penginapan juga wisatawan asing yang kami
lihat berlalu-lalang. Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Bukit Barisan
yang membujur di sepanjang pulau Sumatra. Kota ini berbukit-bukit (namanya juga
sudah pakai bukit ya hehe). Hawa sejuk kami rasakan di kota yang berada pada
tepi sebuah lembah bernama Ngarai Sianok ini.
Tak berapa kemudian angkot berhenti
persis di pintu gerbang Taman Panorama Ngarai Sianok. Kami bergegas turun, namun
sebelum masuk ke Ngarai, kami tertarik untuk masuk ke sebuah museum yang ada di
depan Ngarai. Sebuah pesawat AT-16 buatan Amerika Serikat yang ada di depan
museum membuat kami penasaran apa yang ada di dalam museumnya.
Namanya Museum Tri Daya Eka Dharma.
Kondisi museum ini sangat sepi, hanya kami bertiga yang memasuki museum ini.
Namun sesampainya di dalam ternyata pintu masuk museum terkunci. Tidak ada
orang sama sekali di museum ini. Sampai pada akhirnya seorang yang masih muda
dengan rambut cepak berperawakan tentara keluar dari bagian dalam museum ini.
Ia bertanya kepada kami bertiga apakah akan masuk ke dalam museum. Kami
mengiyakan bahwa kami akan masuk ke dalam museum. Lalu kami disuruh untuk
mengisi buku tamu dan membayar biaya masuk museum seikhlasnya. Seumur-umur baru
kali ini saya masuk ke museum yang retribusi masuknya seikhlasnya.
Di dalam museum disajikan berbagai macam
persenjataan tentara Indonesia dan asing, termasuk alat-alat komunikasi untuk
militer. Seperti museum-museum di Indonesia pada umumnya, kondisinya ya
begitu-begitu saja. Selain kota wisata, Bukittinggi ini memang salah satu kota
bersejarah di Indonesia. Bukittinggi pernah menjadi ibukota Indonesia pada masa
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang dipimpin oleh Syafruddin
Prawinegara.
Keluar dari museum kami lalu masuk ke
Ngarai Sianok. Kami berdecak kagum pada keindahan Ngarai ini. Sebuah lembah
curam (jurang) yang membentuk patahan panjang dengan dinding curam bahkan ada
yang tegak lurus. Membentuk lembah hijau dibawahnya dengan sungai kecil
memanjang mengikuti alur dari Ngarainya. Di seberang Ngarai nampak Gunung Singgalang
berdiri gagah.
Di dalam Taman Panorama Ngarai Sianok
ini banyak kami temui pedagang-pedagang yang menjual oleh-oleh khas dari tanah
Minang ini. Ada kain tenun, replika rumah gadang dan juga ada lukisan-lukisan
dengan panorama khas Minang yang biasa saya lihat di rumah makan Padang.
Masih di dalam kawasan Taman Panorama
Ngarai Sianok ini, kami kemudian masuk ke dalam Lubang Jepang. Dulu dalam masa
penjajahan Jepang, karena lokasinya yang sangat strategis di tengah-tengah
Pulau Sumatra. Bukittinggi dijadikan sebagai pusat komando pertahanan tentara
Jepang di Sumatra. Jepang membangun tempat ini selain sebagai pertahanan,
dipakai juga sebagai tempat untuk menyimpan amunisi dan perbekalan. Di dalamnya
terdapat banyak ruang dengan berbagai macam keperluan tentara Jepang. Saya bergidik
ngeri ikut turun memasuki lubang ini. Sampai dibawah suasana remang-remang,
jalanan juga bercabang-cabang. Bangunannya sangat kokoh, seperti
bangunan-bangunan Jepang lainnya. Bahkan gempa Sumatra Barat ditahun 2009 tidak merusaknya. Entah berapa romusha yang
dikerahkan untuk ikut membangun lubang ini.
salah satu lembah di Ngarai Sianok |
Ngarai Sianok |
sekitar Ngarai Sianok.. |
pelukis di Ngarai Sianok |
Melyn :P |
Tak berapa lama kemudian kami kemudian
kembali naik. Saya dan Melyn lalu mencoba menghitung berapa jumlah anak tangga
sampai ke atas. Namun antara haus dan lelah berjalan menanjak saya sudah tak
mampu menghitungnya lagi. Ada ratusan anak tangga agar kami bisa sampai ke atas
lagi. Sesampainya di atas, kami seperti sekelompok orang yang tanpa daya
selepas bekerja begitu keras.
Lubang Jepang |
Ngos-ngosan sehabis dari Lubang Jepang |
Dari Taman Panorama Ngarai Sianok ini
kami bergegas naik angkot lagi menuju ke Benteng Fort de Kock. Ini adalah
sebuah benteng yang dibangun oleh Belanda di sebuah puncak bukit di
Bukittinggi. Benteng ini dibangun tentara Belanda untuk menghadapai rakyat
Minangkabau pada saat Perang Paderi. Dari atas bukit ini kita bisa melihat
pemandangan kota Bukittinggi dari atas. Disekitar benteng ini kini dibuat
menjadi sebuah taman yang hijau dan sejuk.
Dari benteng ini kemudian kami berjalan
lagi menuju Jembatan Limpapeh. Jembatan ini menghubungan antara Benteng Fort de
Kock ke Kebun Binatang Bukittinggi. Jembatan ini persis diatas sebuah jalan utama
di Bukittinggi, Jalan Ahmad Yani. Setelah
sampai di kebun binatang ini, saya memisahkan diri dari Hilmy dan Melyn. Saya
tidak suka dengan sebuah kebun binatang dengan konsep mengurung binatangnya. Bagi
saya hal itu semacam penyiksaaan yang dipertontonkan. Saya duduk menunggu di
depan pintu masuk kebun binatang dimana ada replika rumah gadang juga disini.
Selepas Hilmy dan Melyn berkeliling,
kemudian kami bertemu kembali di depan pintu gerbang kebun binantang. Dari
tempat itu kami kemudian berjalan kaki ke arah Pasar Ateh yang ada di dekat Jam
Gadang.
Di dekat pasar kami mampir untuk shalat
asar di Masjid Raya Bukittinggi. Saya dan Hilmy kemudian bergegas mengambil
wudhu dan shalat asar. Suasana masjid begitu ramai, terlebih ini adalah bulan
ramadhan. Selesai shalat berjamaah berdua kami keluar dari masjid. Saat kami
keluar, banyak sekali orang yang berjalan masuk ke masjid. Dan tak beberapa
lama kemudian terdengar adzan. Saya dan Hilmy berpadangan sambil bertanya-tanya.
Kok baru adzan asar ya. Padahal kami mengira sudah asar sehingga kami langsung
bergegas shalat asar. Nampaknya kami masih berpegang kepada jadwal shalat asar
di Jawa, padahal ini sudah di Sumatra. Bahasa Belandanya kegasiken!
Di depan Masjid Raya Bukittinggi ada
semacam pasar wisata. Namanya ‘Pasar Pabukoan Wisata Bukittinggi’. Di pasar ini
dijajakan berbagai macam makanan khas Minang. Kondisi pasarnya sangat ramai
dengan banyak orang yang membeli makanan untuk berbuka puasa. Ini seperti
surganya kuliner makanan khas Minang. Kami kemudian membeli beberapa untuk
bekal kami buka puasa hari ini.
Jembatan Limpapeh |
Dari atas Jembatan Limpapeh |
Dari pasar pabukoan ini kami berjalan lagi ke arah Jam Gadang. Menuju Jam
Gadang kami melewati Pasar Ateh yang sedang ramai orang hilir mudik. Meskipun
ramai, namun suasananya tetap saja nyaman. Akhinya, setelah putar-putar
sampailah kami ke Jam Gadang. Sebuah menara jam sebagai simbol kota
Bukittinggi. Kota bersejarah tempat kelahiran tokoh-tokoh besar seperti
Mohammad Hatta dan Agus Salim.
Jam Gadang tahun 1926 pada masa
pemerintahan Hindia Belanda sebagai hadian dari Ratu Belanda kepada Rook Maker,
controleur Fort de Kock. Jam ini digerakkan secara mekanik oleh mesin yang di
dunia hanya ada 2 yaitu Jam Gadang ini dan Big Ben di London Inggris.
Namun sayang ketika kami sampai di Jam
Gadang cuaca sangat mendung dan akhirnya turun hujan. Kami bertiga berteduh
persis di sebuah bangunan di sekitar Jam Gadang. Lama berteduh namun hujan tak
reda, akhirnya ditengah rintik hujan kami nekat mencari angkot untuk pergi ke
Terminal Air Kuning. Terminal dimana kami harus mencari travel untuk kembali ke
Solok. Sesampainya di Air Kuning hujan belum reda. Sementara travel ke Solok
sore ini jarang kami temukan.
Kami bertiga berdiri di emperan toko sambil
kedinginan. Di samping saya, ada ibu-ibu penjual es yang nampak cemberut
dagangannya tidak laku karena hujan. Kadang hujan memang menyejukkan, namun ada
kalanya hal seperti ini yang kami temui. Setelah menunggu hampir satu jam,
akhirnya kami menemukan travel menuju Solok. Kami bergegas masuk dengan kondisi
baju agak basah. Menikmati perjalanan kami pulang ke Solok.
Di jalan menuju pulang, hari mulai
gelap. Kami membatalkan puasa kami dengan jajan yang kami beli tadi di pasar
dekat Masjid Raya Bukittinggi. Travel melaju dengan cepatnya, samar-samar
diantara kegelapan saya melihat lagi Danau Singkarak di sisi kanan. Ah, hari
ini saya merasakan banyak kesyahduan.
1 komentar:
izin download potonya ya mas ginanjar :)
Posting Komentar