Senin, 23 Juli 2012

Menjelang Sore di Bukittinggi..

*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (15)

kelanjutan dari : Danau Singkarak dan Padang Panjang 

Suasana berdesak-desakan di travel yang membawa kami dari Padang Panjang menuju Bukittinggi tidak begitu saya rasakan. Meski berdesak-desakan namun pemandangan di luar begitu indah. Gunung Singgalang disisi kiri memberikan panorama yang menyejukkan mata. Terlebih dengan aroma mobil yang diselimuti aroma durian. 

Selepas kota Padang Panjang, disisi kiri menuju Bukittinggi kami melewati sebuah papan nama bertuliskan Rumah Puisi Taufiq Ismail. Ada keinginan untuk turun dan berkunjung ke rumah puisi itu, namun diantara ragu akhirnya kami memutuskan untuk tidak turun dan melanjutkan perjalanan kami ke Bukittinggi.

Hampir satu jam ketika beberapa penumpang lain sudah mulai turun dan keadaan travel tidak sesesak sebelumnya. Menjelang masuk ke kota Bukittinggi, beberapa kali kami mengalami kemacetan. Kota ini lumayan ramai, tidak heran kalau menjadi kota yang paling padat penduduknya di Sumatra Barat.

Menjelang masuk tengah kota, pengemudi travel memberi tau kepada kami bahwa ia tidak bisa mengantar sampai ke Jam Gadang. Sehingga kami turun dan berpindah ke angkot agar bisa sampai ke Jam Gadang.

Hilmy sibuk membaca peta kota Bukittinggi di buku Lonely Planet yang ia bawa. Ia menyarankan kami untuk pergi ke Ngarai Sianok terlebih dahulu sebelum pergi ke Jam Gadang. Di sebuah perempatan diantara Jam Gadang dan Ngarai Sianok kami turun dari angkot. Kemudian berpindah angkot lagi menuju Ngarai Sianok.

Sekilas kota Bukittinggi ini adalah kota wisata. Bisa dilihat dari banyaknya penginapan juga wisatawan asing yang kami lihat berlalu-lalang. Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Bukit Barisan yang membujur di sepanjang pulau Sumatra. Kota ini berbukit-bukit (namanya juga sudah pakai bukit ya hehe). Hawa sejuk kami rasakan di kota yang berada pada tepi sebuah lembah bernama Ngarai Sianok ini.

Tak berapa kemudian angkot berhenti persis di pintu gerbang Taman Panorama Ngarai Sianok. Kami bergegas turun, namun sebelum masuk ke Ngarai, kami tertarik untuk masuk ke sebuah museum yang ada di depan Ngarai. Sebuah pesawat AT-16 buatan Amerika Serikat yang ada di depan museum membuat kami penasaran apa yang ada di dalam museumnya.

Namanya Museum Tri Daya Eka Dharma. Kondisi museum ini sangat sepi, hanya kami bertiga yang memasuki museum ini. Namun sesampainya di dalam ternyata pintu masuk museum terkunci. Tidak ada orang sama sekali di museum ini. Sampai pada akhirnya seorang yang masih muda dengan rambut cepak berperawakan tentara keluar dari bagian dalam museum ini. Ia bertanya kepada kami bertiga apakah akan masuk ke dalam museum. Kami mengiyakan bahwa kami akan masuk ke dalam museum. Lalu kami disuruh untuk mengisi buku tamu dan membayar biaya masuk museum seikhlasnya. Seumur-umur baru kali ini saya masuk ke museum yang retribusi masuknya seikhlasnya.

Di dalam museum disajikan berbagai macam persenjataan tentara Indonesia dan asing, termasuk alat-alat komunikasi untuk militer. Seperti museum-museum di Indonesia pada umumnya, kondisinya ya begitu-begitu saja. Selain kota wisata, Bukittinggi ini memang salah satu kota bersejarah di Indonesia. Bukittinggi pernah menjadi ibukota Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang dipimpin oleh Syafruddin Prawinegara.

Keluar dari museum kami lalu masuk ke Ngarai Sianok. Kami berdecak kagum pada keindahan Ngarai ini. Sebuah lembah curam (jurang) yang membentuk patahan panjang dengan dinding curam bahkan ada yang tegak lurus. Membentuk lembah hijau dibawahnya dengan sungai kecil memanjang mengikuti alur dari Ngarainya. Di seberang Ngarai nampak Gunung Singgalang berdiri gagah.

Di dalam Taman Panorama Ngarai Sianok ini banyak kami temui pedagang-pedagang yang menjual oleh-oleh khas dari tanah Minang ini. Ada kain tenun, replika rumah gadang dan juga ada lukisan-lukisan dengan panorama khas Minang yang biasa saya lihat di rumah makan Padang.

Masih di dalam kawasan Taman Panorama Ngarai Sianok ini, kami kemudian masuk ke dalam Lubang Jepang. Dulu dalam masa penjajahan Jepang, karena lokasinya yang sangat strategis di tengah-tengah Pulau Sumatra. Bukittinggi dijadikan sebagai pusat komando pertahanan tentara Jepang di Sumatra. Jepang membangun tempat ini selain sebagai pertahanan, dipakai juga sebagai tempat untuk menyimpan amunisi dan perbekalan. Di dalamnya terdapat banyak ruang dengan berbagai macam keperluan tentara Jepang. Saya bergidik ngeri ikut turun memasuki lubang ini. Sampai dibawah suasana remang-remang, jalanan juga bercabang-cabang. Bangunannya sangat kokoh, seperti bangunan-bangunan Jepang lainnya. Bahkan gempa Sumatra Barat ditahun 2009 tidak merusaknya. Entah berapa romusha yang dikerahkan untuk ikut membangun lubang ini. 

salah satu lembah di Ngarai Sianok

Ngarai Sianok
sekitar Ngarai Sianok..

pelukis di Ngarai Sianok

Melyn :P

Tak berapa lama kemudian kami kemudian kembali naik. Saya dan Melyn lalu mencoba menghitung berapa jumlah anak tangga sampai ke atas. Namun antara haus dan lelah berjalan menanjak saya sudah tak mampu menghitungnya lagi. Ada ratusan anak tangga agar kami bisa sampai ke atas lagi. Sesampainya di atas, kami seperti sekelompok orang yang tanpa daya selepas bekerja begitu keras.



Lubang Jepang

Ngos-ngosan sehabis dari Lubang Jepang


Dari Taman Panorama Ngarai Sianok ini kami bergegas naik angkot lagi menuju ke Benteng Fort de Kock. Ini adalah sebuah benteng yang dibangun oleh Belanda di sebuah puncak bukit di Bukittinggi. Benteng ini dibangun tentara Belanda untuk menghadapai rakyat Minangkabau pada saat Perang Paderi. Dari atas bukit ini kita bisa melihat pemandangan kota Bukittinggi dari atas. Disekitar benteng ini kini dibuat menjadi sebuah taman yang hijau dan sejuk.

Dari benteng ini kemudian kami berjalan lagi menuju Jembatan Limpapeh. Jembatan ini menghubungan antara Benteng Fort de Kock ke Kebun Binatang Bukittinggi. Jembatan ini persis diatas sebuah jalan utama di Bukittinggi, Jalan Ahmad Yani.  Setelah sampai di kebun binatang ini, saya memisahkan diri dari Hilmy dan Melyn. Saya tidak suka dengan sebuah kebun binatang dengan konsep mengurung binatangnya. Bagi saya hal itu semacam penyiksaaan yang dipertontonkan. Saya duduk menunggu di depan pintu masuk kebun binatang dimana ada replika rumah gadang juga disini.

Selepas Hilmy dan Melyn berkeliling, kemudian kami bertemu kembali di depan pintu gerbang kebun binantang. Dari tempat itu kami kemudian berjalan kaki ke arah Pasar Ateh yang ada di dekat Jam Gadang.

Di dekat pasar kami mampir untuk shalat asar di Masjid Raya Bukittinggi. Saya dan Hilmy kemudian bergegas mengambil wudhu dan shalat asar. Suasana masjid begitu ramai, terlebih ini adalah bulan ramadhan. Selesai shalat berjamaah berdua kami keluar dari masjid. Saat kami keluar, banyak sekali orang yang berjalan masuk ke masjid. Dan tak beberapa lama kemudian terdengar adzan. Saya dan Hilmy berpadangan sambil bertanya-tanya. Kok baru adzan asar ya. Padahal kami mengira sudah asar sehingga kami langsung bergegas shalat asar. Nampaknya kami masih berpegang kepada jadwal shalat asar di Jawa, padahal ini sudah di Sumatra. Bahasa Belandanya kegasiken!

Di depan Masjid Raya Bukittinggi ada semacam pasar wisata. Namanya ‘Pasar Pabukoan Wisata Bukittinggi’. Di pasar ini dijajakan berbagai macam makanan khas Minang. Kondisi pasarnya sangat ramai dengan banyak orang yang membeli makanan untuk berbuka puasa. Ini seperti surganya kuliner makanan khas Minang. Kami kemudian membeli beberapa untuk bekal kami buka puasa hari ini.

Jembatan Limpapeh

Dari atas Jembatan Limpapeh




Dari pasar pabukoan ini kami berjalan lagi ke arah Jam Gadang. Menuju Jam Gadang kami melewati Pasar Ateh yang sedang ramai orang hilir mudik. Meskipun ramai, namun suasananya tetap saja nyaman. Akhinya, setelah putar-putar sampailah kami ke Jam Gadang. Sebuah menara jam sebagai simbol kota Bukittinggi. Kota bersejarah tempat kelahiran tokoh-tokoh besar seperti Mohammad Hatta dan Agus Salim. 

Jam Gadang tahun 1926 pada masa pemerintahan Hindia Belanda sebagai hadian dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, controleur Fort de Kock. Jam ini digerakkan secara mekanik oleh mesin yang di dunia hanya ada 2 yaitu Jam Gadang ini dan Big Ben di London Inggris. 




Namun sayang ketika kami sampai di Jam Gadang cuaca sangat mendung dan akhirnya turun hujan. Kami bertiga berteduh persis di sebuah bangunan di sekitar Jam Gadang. Lama berteduh namun hujan tak reda, akhirnya ditengah rintik hujan kami nekat mencari angkot untuk pergi ke Terminal Air Kuning. Terminal dimana kami harus mencari travel untuk kembali ke Solok. Sesampainya di Air Kuning hujan belum reda. Sementara travel ke Solok sore ini jarang kami temukan.

Kami bertiga berdiri di emperan toko sambil kedinginan. Di samping saya, ada ibu-ibu penjual es yang nampak cemberut dagangannya tidak laku karena hujan. Kadang hujan memang menyejukkan, namun ada kalanya hal seperti ini yang kami temui. Setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya kami menemukan travel menuju Solok. Kami bergegas masuk dengan kondisi baju agak basah. Menikmati perjalanan kami pulang ke Solok.

Di jalan menuju pulang, hari mulai gelap. Kami membatalkan puasa kami dengan jajan yang kami beli tadi di pasar dekat Masjid Raya Bukittinggi. Travel melaju dengan cepatnya, samar-samar diantara kegelapan saya melihat lagi Danau Singkarak di sisi kanan. Ah, hari ini saya merasakan banyak kesyahduan.

1 komentar:

coretansibintang mengatakan...

izin download potonya ya mas ginanjar :)

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...