*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (17)
kelanjutan dari : Mampir Sekejap ke Padang
kelanjutan dari : Mampir Sekejap ke Padang
Suasana nampak mulai mendung dan
gerimis. Kami beranjak masuk ke dalam bus yang akan berangkat ini. Bus dengan
rute panjang dari Padang menuju ke Medan. Beberapa penumpang meski tidak banyak
juga mulai naik ke dalam bus. Keadaan bus lumayan bersih, dengan sebuah toilet di
bagian belakang.
Tidak lama kemudian pengemudi bus dan kondekturnya
masuk ke dalam bus. Perlahan-lahan bus mulai berjalan meninggalkan agen. Suasana
jalanan sepi karena gerimis sudah berganti menjadi hujan. Pengemudi bus
mengemudikan bus ini dengan nyaman, sedangkan kondekturnya sedari tadi sibuk
memilih kaset lagu yang akan diputar.
Keadaan di dalam bus semakin lama
semakin dingin. Hilmy dan Melyn yang duduk di depan saya juga mulai memakai
jaket mereka. Untuk mengurangi dingin, saya keluarkan sarung saya untuk krukuban. Rute yang akan dilalui bus ini
adalah dari Padang, Padang Panjang, Bukittinggi, Padang Sidempuan baru kemudian
akan masuk wilayah Sumatra Utara.
Satu jam selepas dari kota Padang, kami
melewati jalan dengan hutan yang rindang di kanan dan kirinya. Jalanan sedikit
menanjak dengan pemandangan yang menajubkan. Diantara jalan yang menanjak dan
berliku kami melihat ada jembatan kereta diatasnya, lalu di bawahnya ada sebuah
air terjun persis di pinggir jalan. Ada juga sungai yang mengalir dengan cantik,
namanya Sungai Batang Anai. Hujan dan hijaunya hutan disekitarnya semakin
menambah kecantikan tempat ini. Daerah ini adalah kawasan Lembah Anai.
Jembatan kereta yang ada di atas adalah
jalur kereta yang menghubungkan antara Padang dengan Sawahlunto. Jalur itu pula
yang tempo hari saya lihat ada di tepian Danau Singkarak. Kawasan Lembah Anai sudah
terkenal dari jaman Belanda sebagai kawasan yang cantik. Belanda pula yang
membangun jalan raya dan jalur kereta mengikuti alur sungai Batang Anai ini.
Namun yang sangat kami sayangkan adalah
kami hanya bisa menikmati pesona Lembah Anai dari dalam bus dan tidak bisa
turun. Bus terus berjalan sehingga kami hanya bisa melihat Lembah Anai dalam
tempo yang sekejap. Inilah alasan kenapa suatu saat nanti kami harus mengulang
perjalanan kami di Sumatra ini dengan kendaraan sendiri. Agar bisa berhenti di
tempat-tempat yang kami kehendaki.
Dari Lembah Anai bus kemudian mulai
melewati jalur Padang Panjang – Bukittinggi. Jalur ini juga yang kemarin kami
lewati dalam perjalanan Solok – Bukittinggi. Menjelang pukul 5 sore sampailah
kami di Bukittinggi. Suasana di luar bus masih hujan, bus berhenti di sebuah
agen di Bukittinggi untuk menaikkan beberapa penumpang.
Ada beberapa wisatawan asing yang naik
dari agen bus ALS di Bukittinggi ini. Jalur Bukittinggi, Parapat (Danau Toba)
sampai ke Banda Aceh adalah salah satu rute favorit dari para wisatawan asing.
Biasanya dari Bukittinggi, mereka akan singgah ke Danau Toba. Diantaranya
adalah beberapa wisatawan asing yang naik dari agen bus di Bukittinggi ini.
Dari beberapa percakapan, kami kemudian
berkenalan dengan 2 orang wisatawan dari Swiss yang duduk persis di depan Hilmy
dan Melyn. Mereka memperkenalkan diri dengan nama Vera dan Marco. Sepasang muda
mudi dari Swiss yang sudah 6 bulan ini berpetualang di Asia Tenggara. Setelah
mengunjungi Thailand dan Malaysia, mereka kemudian pergi ke Padang dan
Bukittinggi. Dari Bukittinggi mereka akan menuju ke Danau Toba dan Banda Aceh
untuk kemudian kembali ke negara mereka melalui Singapura.
Jalanan selepas dari Bukittinggi mulai
berliku. Hutan Bukit Barisan yang hijau menghias di kanan dan kirinya.
Pemandangan begitu indah ketika jalan raya ada di atas bukit dan kita bisa
melihat gugusan perbukitan dengan pepohonan yang luas. Kabut tipis-tipis
menyelimuti perbukitan dengan gerimis yang menambah syahdu suasana.
Kondektur bus memutar lagu-lagu india
yang bising. Saya membayangkan kami sedang ada di dalam bus yang mengitari
perbukitan di Kashmir dengan iringan lagu-lagu India. Serta penumpangnya yang
saling bercengkerama dan berjoget. Membayangkan di sebelah saya adalah Kareena
Kapoor yang jelita itu. Ah, ini bukan di India boi.
Mungkin karena kondektur bus mendengar
jeritan hati kami yang merasa tersiksa dengan lagu india yang bising itu. Ia menggantinya
dengan lagu-lagu Ebiet G Ade.
Menurut saya, lagu-lagu Ebiet G Ade
adalah lagu yang paling enak didengarkan ketika kita sedang ada di jalan.
Paling nyaman dipakai untuk merenung ketika kita sedang punya pandangan jauh ke
luar bis. Terlebih suasana hujan di luar sunggu membuat perjalanan ini berkesan
sekali.
Di tengah lamunan saya, Hilmy dan Melyn.
Vera bertanya kepada kami judul lagu yang sedang diputar di bus ini. Dia suka
dengan lagu yang diperdengarkan. Nampaknya ia tau mana lagu yang bagus dan mana
yang kurang bagus. Vera lalu bersiap menuliskan nama penyayi dan judul lagu di
sebuah kertas yang telah ia persiapkan. Dari liriknya kami menjawab kalau ini
adalah lagu Ebiet G Ade, judulnya Berita Kepada Kawan. Mungkin Vera tidak
mengetahui arti dari liriknya karena menggunakan bahasa Indonesia. Tapi musik tentu
adalah bahasa yang universal. Dan disini, puluhan ribu kilometer dari tempat
asalnya, dengan budaya dan bahasa yang berbeda dari negaranya. Di tengah
perjalanannya di pelosok Sumatra, ia bertemu dengan sebuah lagu yang tanpa ia
ketahui arti liriknya adalah bercerita tentang sebuah perjalanan.
“..perjalanan
ini terasa sangat menyedihkan. sayang engkau tak duduk di sampingku kawan. banyak
cerita yang mestinya kau saksikan..” | Berita Kepada Kawan – Ebiet G Ade
Bus terus berjalan ketika langit mulai
gelap. Pukul 7 malam ketika bus akhirnya berhenti di depan sebuah rumah makan.
Banyak sekali bus antar kota berhenti disini. Saya, Hilmy dan Melyn kemudian
makan Sate Padang yang belum kesampaian dari kemarin. Kalau kemarin kami sudah
makan masakan Minang di tanah Minang. Kini kami ingin merasakan sate Padang
yang terkenal itu.
Hampir berhenti 1 jam, bus kembali
melanjutkan perjalanannya. Suasana bus makin lama makin dingin. Kami semua kedinginan, bahkan
wisatawan-wisatawan dari Eropa yang sudah terbiasa dengan hawa dingin saja
mereka kedinginan di bus ini. Saya menduga pengatur AC di bus ini rusak, karena
saya melihat pengemudi bus juga kedinginan. Kalau pengatur AC tidak rusak, tentu
pengemudi bus sudah menaikkan suhunya agar ia tidak kedinginan. Namun yang saya
lihat, pengemudi bus sampai melilitkan sarung pada badannya untuk mengurangi
dingin.
Kami kemudian tertidur pulas. Beberapa
kali saya terbangun karena dingin yang luar biasa di bus ini. Dua orang
laki-laki dari Inggris nampak berkali-kali pergi ke toilet bus karena
dinginnya.
Sekitar jam 12 saya terbangun dan
melihat bahwa bus sudah memasuki daerah Padang Sidempuan. Menjelang sahur, bus
kembali berhenti disebuah rumah makan. Banyak sekali bus yang berhenti di
tempat ini. Dari nama daerah dan logat bicara orang-orang yang ada disitu, saya
mengira bahwa kami sudah masuk wilayah Sumatra Utara.
Saya, Hilmy dan Melyn kemudian makan
sahur. Saya memperhatikan dari sejak kami di Lampung sampai di sini, Sumatra
Utara, kebanyakan kami berhenti di tempat makan yang menyajikan makanan Padang.
Sehingga kami tidak terlalu sudah beradaptasi dengan makanan selama dalam
perjalanan. Marco dan Vera tidak makan, mereka hanya menyedu teh hangat untuk
mengurangi dingin. Disisa perjalanan, kami lebih banyak tidur. Bangku sebelah
saya kosong sehingga saya bisa tidur dengan lebih leluasa.
Saya terbangun ketika hari nampak sudah
sedikit terang. Jam menunjuk angka 7 lebih. Parapat sepertinya masih jauh. Di
luar yang kami lihat adalah perkampungan-perkampungan yang tenang cenderung
sepi. Nama daerahnya sudah mengandung nama-nama Batak. Suasana pagi yang indah
gumam saya.
1 komentar:
Dari padang ke prapat berapa ongkosnya?
Posting Komentar