Rabu, 25 Juli 2012

Semalam Diantara Padang - Parapat


*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (17)

kelanjutan dari : Mampir Sekejap ke Padang

Suasana nampak mulai mendung dan gerimis. Kami beranjak masuk ke dalam bus yang akan berangkat ini. Bus dengan rute panjang dari Padang menuju ke Medan. Beberapa penumpang meski tidak banyak juga mulai naik ke dalam bus. Keadaan bus lumayan bersih, dengan sebuah toilet di bagian belakang.



Tidak lama kemudian pengemudi bus dan kondekturnya masuk ke dalam bus. Perlahan-lahan bus mulai berjalan meninggalkan agen. Suasana jalanan sepi karena gerimis sudah berganti menjadi hujan. Pengemudi bus mengemudikan bus ini dengan nyaman, sedangkan kondekturnya sedari tadi sibuk memilih kaset lagu yang akan diputar.

Keadaan di dalam bus semakin lama semakin dingin. Hilmy dan Melyn yang duduk di depan saya juga mulai memakai jaket mereka. Untuk mengurangi dingin, saya keluarkan sarung saya untuk krukuban. Rute yang akan dilalui bus ini adalah dari Padang, Padang Panjang, Bukittinggi, Padang Sidempuan baru kemudian akan masuk wilayah Sumatra Utara.

Satu jam selepas dari kota Padang, kami melewati jalan dengan hutan yang rindang di kanan dan kirinya. Jalanan sedikit menanjak dengan pemandangan yang menajubkan. Diantara jalan yang menanjak dan berliku kami melihat ada jembatan kereta diatasnya, lalu di bawahnya ada sebuah air terjun persis di pinggir jalan. Ada juga sungai yang mengalir dengan cantik, namanya Sungai Batang Anai. Hujan dan hijaunya hutan disekitarnya semakin menambah kecantikan tempat ini. Daerah ini adalah kawasan Lembah Anai. 

Jembatan kereta yang ada di atas adalah jalur kereta yang menghubungkan antara Padang dengan Sawahlunto. Jalur itu pula yang tempo hari saya lihat ada di tepian Danau Singkarak. Kawasan Lembah Anai sudah terkenal dari jaman Belanda sebagai kawasan yang cantik. Belanda pula yang membangun jalan raya dan jalur kereta mengikuti alur sungai Batang Anai ini.

Namun yang sangat kami sayangkan adalah kami hanya bisa menikmati pesona Lembah Anai dari dalam bus dan tidak bisa turun. Bus terus berjalan sehingga kami hanya bisa melihat Lembah Anai dalam tempo yang sekejap. Inilah alasan kenapa suatu saat nanti kami harus mengulang perjalanan kami di Sumatra ini dengan kendaraan sendiri. Agar bisa berhenti di tempat-tempat yang kami kehendaki.

Dari Lembah Anai bus kemudian mulai melewati jalur Padang Panjang – Bukittinggi. Jalur ini juga yang kemarin kami lewati dalam perjalanan Solok – Bukittinggi. Menjelang pukul 5 sore sampailah kami di Bukittinggi. Suasana di luar bus masih hujan, bus berhenti di sebuah agen di Bukittinggi untuk menaikkan beberapa penumpang.

Ada beberapa wisatawan asing yang naik dari agen bus ALS di Bukittinggi ini. Jalur Bukittinggi, Parapat (Danau Toba) sampai ke Banda Aceh adalah salah satu rute favorit dari para wisatawan asing. Biasanya dari Bukittinggi, mereka akan singgah ke Danau Toba. Diantaranya adalah beberapa wisatawan asing yang naik dari agen bus di Bukittinggi ini. 

Dari beberapa percakapan, kami kemudian berkenalan dengan 2 orang wisatawan dari Swiss yang duduk persis di depan Hilmy dan Melyn. Mereka memperkenalkan diri dengan nama Vera dan Marco. Sepasang muda mudi dari Swiss yang sudah 6 bulan ini berpetualang di Asia Tenggara. Setelah mengunjungi Thailand dan Malaysia, mereka kemudian pergi ke Padang dan Bukittinggi. Dari Bukittinggi mereka akan menuju ke Danau Toba dan Banda Aceh untuk kemudian kembali ke negara mereka melalui Singapura.

Jalanan selepas dari Bukittinggi mulai berliku. Hutan Bukit Barisan yang hijau menghias di kanan dan kirinya. Pemandangan begitu indah ketika jalan raya ada di atas bukit dan kita bisa melihat gugusan perbukitan dengan pepohonan yang luas. Kabut tipis-tipis menyelimuti perbukitan dengan gerimis yang menambah syahdu suasana. 

Kondektur bus memutar lagu-lagu india yang bising. Saya membayangkan kami sedang ada di dalam bus yang mengitari perbukitan di Kashmir dengan iringan lagu-lagu India. Serta penumpangnya yang saling bercengkerama dan berjoget. Membayangkan di sebelah saya adalah Kareena Kapoor yang jelita itu. Ah, ini bukan di India boi.

Mungkin karena kondektur bus mendengar jeritan hati kami yang merasa tersiksa dengan lagu india yang bising itu. Ia menggantinya dengan lagu-lagu Ebiet G Ade.
Menurut saya, lagu-lagu Ebiet G Ade adalah lagu yang paling enak didengarkan ketika kita sedang ada di jalan. Paling nyaman dipakai untuk merenung ketika kita sedang punya pandangan jauh ke luar bis. Terlebih suasana hujan di luar sunggu membuat perjalanan ini berkesan sekali.

Di tengah lamunan saya, Hilmy dan Melyn. Vera bertanya kepada kami judul lagu yang sedang diputar di bus ini. Dia suka dengan lagu yang diperdengarkan. Nampaknya ia tau mana lagu yang bagus dan mana yang kurang bagus. Vera lalu bersiap menuliskan nama penyayi dan judul lagu di sebuah kertas yang telah ia persiapkan. Dari liriknya kami menjawab kalau ini adalah lagu Ebiet G Ade, judulnya Berita Kepada Kawan. Mungkin Vera tidak mengetahui arti dari liriknya karena menggunakan bahasa Indonesia. Tapi musik tentu adalah bahasa yang universal. Dan disini, puluhan ribu kilometer dari tempat asalnya, dengan budaya dan bahasa yang berbeda dari negaranya. Di tengah perjalanannya di pelosok Sumatra, ia bertemu dengan sebuah lagu yang tanpa ia ketahui arti liriknya adalah bercerita tentang sebuah perjalanan.
“..perjalanan ini terasa sangat menyedihkan. sayang engkau tak duduk di sampingku kawan. banyak cerita yang mestinya kau saksikan..” | Berita Kepada Kawan – Ebiet G Ade

Bus terus berjalan ketika langit mulai gelap. Pukul 7 malam ketika bus akhirnya berhenti di depan sebuah rumah makan. Banyak sekali bus antar kota berhenti disini. Saya, Hilmy dan Melyn kemudian makan Sate Padang yang belum kesampaian dari kemarin. Kalau kemarin kami sudah makan masakan Minang di tanah Minang. Kini kami ingin merasakan sate Padang yang terkenal itu. 

Hampir berhenti 1 jam, bus kembali melanjutkan perjalanannya. Suasana bus makin lama makin dingin.  Kami semua kedinginan, bahkan wisatawan-wisatawan dari Eropa yang sudah terbiasa dengan hawa dingin saja mereka kedinginan di bus ini. Saya menduga pengatur AC di bus ini rusak, karena saya melihat pengemudi bus juga kedinginan. Kalau pengatur AC tidak rusak, tentu pengemudi bus sudah menaikkan suhunya agar ia tidak kedinginan. Namun yang saya lihat, pengemudi bus sampai melilitkan sarung pada badannya untuk mengurangi dingin.

Kami kemudian tertidur pulas. Beberapa kali saya terbangun karena dingin yang luar biasa di bus ini. Dua orang laki-laki dari Inggris nampak berkali-kali pergi ke toilet bus karena dinginnya.
Sekitar jam 12 saya terbangun dan melihat bahwa bus sudah memasuki daerah Padang Sidempuan. Menjelang sahur, bus kembali berhenti disebuah rumah makan. Banyak sekali bus yang berhenti di tempat ini. Dari nama daerah dan logat bicara orang-orang yang ada disitu, saya mengira bahwa kami sudah masuk wilayah Sumatra Utara.

Saya, Hilmy dan Melyn kemudian makan sahur. Saya memperhatikan dari sejak kami di Lampung sampai di sini, Sumatra Utara, kebanyakan kami berhenti di tempat makan yang menyajikan makanan Padang. Sehingga kami tidak terlalu sudah beradaptasi dengan makanan selama dalam perjalanan. Marco dan Vera tidak makan, mereka hanya menyedu teh hangat untuk mengurangi dingin. Disisa perjalanan, kami lebih banyak tidur. Bangku sebelah saya kosong sehingga saya bisa tidur dengan lebih leluasa.

Saya terbangun ketika hari nampak sudah sedikit terang. Jam menunjuk angka 7 lebih. Parapat sepertinya masih jauh. Di luar yang kami lihat adalah perkampungan-perkampungan yang tenang cenderung sepi. Nama daerahnya sudah mengandung nama-nama Batak. Suasana pagi yang indah gumam saya.

1 komentar:

beco enime mengatakan...

Dari padang ke prapat berapa ongkosnya?

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...