Senin, 18 Juni 2012

Bus Gila dan Teluk Bayur.

*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (12)

kelanjutan dari : Sahur di Kantor Polisi..

Jam terus berjalan ketika kami menunggu di depan Polres Pesisir Selatan ini tanpa kepastian. Beberapa penumpang saling bercakap dengan temannya. Atau ada yang hanya duduk terkantuk saja. Hilmy dan Melyn kemudian masuk ke dalam kantor Polres untuk mencari kamar mandi. Saya mengikuti dari belakang, di dalam Polres nampak beberapa polisi yang sedang piket malam. Setelah selesai, tak lama kemudian saya bergegas keluar. Di luar, kondektur bus yang kami tumpangi tadi berteriak-teriak menyuruh para penumpang untuk masuk ke dalam bus pengganti yang sudah datang. Saya berlari ke dalam Polres untuk memanggil Hilmy dan Melyn yang sedari tadi nampaknya masih ada di dalam.

Sesampai diluar kami bergegas membawa tas-tas ransel besar kami masuk ke dalam bus. Karena kami masuk belakangan, terpaksa kami harus duduk terpisah. Melyn dan Hilmy duduk di depan, sedangkan saya duduk di tengah. Itupun kemudian kondektur bus pengganti yang jutek itu menyuruh Hilmy untuk pindah duduk di belakang. Jadilah Melyn duduk di depan, saya di tengah dan Hilmy di belakang.

Bus pengganti ini sangat berbeda dengan bus yang sebelumnya kami tumpangi dari Bengkulu. Bus yang kami tumpangi dari Bengkulu ukurannya besar, sedangkan bus pengganti ini ukurannya kecil. Dari bus yang nyaman berubah menjadi bus yang suram. Jarak antar jok sangat sempit sehingga ketika duduk, dengkul kita akan bersinggungan dengan jok depan. Bus penuh sesak sehingga tidak ada tempat untuk meletakkan tas-tas. Yang ada kami harus memangku tas kami masing-masing.
Bus kemudian berjalan meninggalkan Polres ketika seluruh penumpang dari bus yang kami tumpangi sebelumnya sudah naik. Jalanan di luar masih gelap dan seringkali bus berhenti untuk menaikkan penumpang lagi. Semakin lama semakin banyak penumpang yang naik. Beberapa penumpang berbicara dengan Bahasa Minang yang tidak saya pahami.

Saya kemudian terkantuk. Antara perasaan ingin marah, sebal, dan bingung kapan bisa sampai di Padang akhirnya saya tertidur. Beban tas berat di pangkuan saya seperti tidak terasakan. Seorang bapak yang duduk disamping saya ( pindahan dari bus yang sebelumnya juga ), nampak terkantuk dan tertidur juga.

Saya terbangun ketika keadaan di luar bus sudah terang. Bus semakin penuh dengan orang berjejalan. Entah sudah sampai mana, tapi paha sudah mulai pegal memangku tas saya yang berat ini. Tidak ada tempat untuk bergerak sedikitpun. Semua sudut dalam bus sudah penuh dengan manusia. Itupun bus masih seringkali berhenti untuk menaikkan penumpang. Tepat disebelah saya ada bapak-bapak yang berdiri. Saking sesaknya bus ini, kepala bapak ini serasa ada diatas kepala saya. Sehingga nafas bapak yang ngos-ngosan ini serasa meniup-niup rambut saya. Parahnya, bapak ini seringkali batuk, persis di atas rambut saya. Antara semacam jijik namun tak bisa lagi berbuat apapun.

Bus terus melaju dan seringkali dengan ngebut. Saya menyebut ini bus gila. Penumpang sudah berjejalan penuh sesak namun kondektur bus masih saja berteriak-teriak sepanjang jalan untuk mencari penumpang lagi. Kalau menggunakan perbandingan, sesaknya bus ini melebihi sesaknya bus Trans Jakarta ketika jam pulang kantor.

Kami tidak tau sudah sampai mana dan masih berapa lama dari Padang. Saya juga tidak tau lagi keadaan Melyn yang duduk di depan atau Hilmy yang duduk di belakang. Tapi samar-samar saya masih mendengar suara kondektur yang sedari berangkat tadi sangat jutek, berteriak-teriak masih saja mencari penumpang.

Dimanapun di dunia ini, kendaraan dengan stir kanan. Yang duduk paling depan sebelah kanan adalah pengemudi dari kendaraan. Namun dalam bus ini teori tersebut terbantahkan. Saking penuhnya, disebelah kanan pengemudi bus, ada penumpangnya! Menurut penuturan Melyn, ada 8 orang duduk dibarisan paling depan dalam bus kecil ini. Termasuk seorang penumpang yang duduk disebelah kanan pengemudi bus.

Bus kemudian melewati daerah perbukitan. Sekilas diantara sesaknya penumpang bus, saya sudah melihat laut yang terbentang dibawah gugusan bukit-bukit yang kami lalui ini. Jalanan berkelok dan menurun. Saya agak takut dengan kondisi bus ini, namun saya percaya bahwa pengemudi bus sudah tau medannya karena ia tiap hari melewati jalur ini. Padang nampaknya tak jauh lagi.

**

Di sebelah kiri sisi bus, saya melihat laut, sebuah pelabuhan dan beberapa kapal yang sedang berlabuh. Semacam ‘de javu’, gambaran pemandangan itu sepertinya tidak asing bagi saya, padahal saya baru pertama kali melewati daerah ini. Laut biru, kapal dan pelabuhan. Saya bertanya kepada bapak yang duduk di samping saya, “Pak, ini pelabuhan apa ya Pak?”. “Ini namanya Teluk Bayur dek”. “Benar ini Teluk Bayur, Pak?”. “Iya, ini Teluk Bayur”. Pantas saja saya seperti ‘de javu’ melihat tempat ini. Mendengar nama Teluk Bayur, pikiran saya jauh kembali ke masa kecil saya dulu.
Dulu ketika saya kecil. Hampir setiap hari di rumah saya selalu ‘dicekoki’ dengan lagu-lagu lama tahun 70-an atau 80-an oleh orang tua saya. Lagu dari Obbie Messakh, Koes Plus, Pance Pondaag, Rinto Harahap dan deretan penyanyi tembang-tembang kenangan yang lain. Salah satu lagu yang masih terngiang diantara banyaknya lagu kenangan itu, salah satunya adalah “Teluk Bayur”. Lagu ini adalah salah satu lagu kesukaan ibu saya.

Ketika kecil, saya sering sekali menyanyikan lagu ini sambil menghayati dan membayangkan seperti apa Teluk Bayur itu. Bayangan saya, Teluk Bayur adalah sebuah pelabuhan tempat orang bepergian dan berpisah dengan keluarganya. Ada banyak kapal yang bersandar. Kemudian bayangan tentang orang-orang yang akan pergi merantau. Meninggalkan keluarga dan orang yang disayangi untuk memperbaiki nasib di tanah rantau. 

Kini, setelah belasan tahun sejak pertama kali saya diperdengarkan lagu Teluk Bayur. Tuhan mewujudkan mimpi saya untuk melihat langsung Teluk Bayur. Meski hanya dari dalam bus. Bus kecil yang penuh sesak dengan penumpang ini. Satu kepingan kenangan masa lalu saya temukan dalam perjalanan ini, Teluk Bayur. Saya menghidupkan handphone yang saya irit-irit baterainya sedari malam tadi. Sebuah pesan pendek saya kirimkan untuk ibu saya, “Mak, saya sampai di Teluk Bayur..”

Tak lama kemudian akhirnya bus memasuki Kota Padang. Para penumpang yang berjejal ini belum banyak yang keluar. Saya tidak tau akan turun dimana, mungkin akan turun di terminal tempat pemberhentian bus ini saja. Dari depan, Melyn memberi isyarat untuk turun, kemudian diantara berjejalnya penumpang saya keluar melewati pintu belakang. Kami bertiga turun lengkap dengan bawaan kami masing-masing. Setelah turun kami bertiga terbengong satu sama lain. Kemudian kami bertiga tertawa sambil bergeleng-geleng kepala membayangkan keadaan bus yang kami naiki tadi. Saya menyebutnya Bus Gila.

Kami berhenti di sebuah perempatan yang tidak kami ketahui namanya. Di perempatan itu kami bertanya kepada pengemudi angkot bagaimana cara kami untuk pergi ke Solok. Kami berencana untuk transit di Solok tempat tinggal saudara saya. Pengemudi itu kemudian mempersilahkan kami masuk ke dalam angkot untuk diantarkan ke agen travel tujuan Solok.

Dari pesan yang dikirim saudara saya di Solok, kami disarankan untuk naik Jasa Malindo, travel yang melayani jurusan Padang - Solok. Di dalam angkot ada seorang perempuan muda yang jika dilihat dari tampilannya ia akan berangkat kerja. Dengan pakaian yang sangat rapi dan wangi, ia memandangi kami. Tampilan dan bau badan kami yang hampir belum mandi selama 2 hari sangat kontras dengan penampilan perempuan ini. 

Tak berapa lama kemudian, sampailah kami ke agen Jasa Malindo. Kami kemudian naik ke dalam mobil berkapasitas belasan penumpang. Sempat bingung ketika ditanya dengan bahasa Minang oleh petugasnya. Setelah saya bingung tidak bisa menjawabnya, baru kemudian petugas bertanya dengan Bahasa Indonesia. Ternyata pertanyaan yang tadi ditanyakan adalah “Mau kemana?”

Perjalanan dari Padang ke Solok ditempuh lebih dari 1 jam. Ada beberapa perbaikan jalan karena longsor yang menyebabkan perjalanan menjadi lambat. Di kanan kiri masih banyak dijumpai rumah gadang yang terkenal indah. Sesampai di Solok, kami berhenti disebuah pertigaan untuk kemudian dijemput saudara saya yang terakhir bertemu saya adalah ketika saya masih SD. Sehingga dalam pesan saya harus menuliskan ciri-ciri dan baju yang saya pakai, takut salah orang karena sudah lama tidak bertemu. 

Melyn dijemput menggunakan sepeda motor sedang saya dan Hilmy menggunakan becak motor ( betor ) mengikuti dari belakang. Uniknya, berbeda dengan daerah-daerah lain di Sumatra. Betor di Solok ini memakai vespa sehingga ukurannya menjadi lebih kecil. Setelah sampai di rumah, selepas mandi, kami langsung tertidur karena capeknya. Waktu menunjuk pukul 11 siang, atau hampir 40 jam kami menempuh perjalanan dari Tanjungenim, Sumatra Selatan ke Solok, Sumatra Barat. Tiba-tiba saya merasa bokong saya sudah sangat tipis.

Tidak ada komentar:

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...