kelanjutan dari : Sahur di Kantor Polisi..
Jam terus berjalan ketika kami menunggu
di depan Polres Pesisir Selatan ini tanpa kepastian. Beberapa penumpang saling
bercakap dengan temannya. Atau ada yang hanya duduk terkantuk saja. Hilmy dan
Melyn kemudian masuk ke dalam kantor Polres untuk mencari kamar mandi. Saya
mengikuti dari belakang, di dalam Polres nampak beberapa polisi yang sedang piket
malam. Setelah selesai, tak lama kemudian saya bergegas keluar. Di luar,
kondektur bus yang kami tumpangi tadi berteriak-teriak menyuruh para penumpang
untuk masuk ke dalam bus pengganti yang sudah datang. Saya berlari ke dalam Polres untuk memanggil
Hilmy dan Melyn yang sedari tadi nampaknya masih ada di dalam.
Sesampai diluar kami bergegas membawa
tas-tas ransel besar kami masuk ke dalam bus. Karena kami masuk belakangan,
terpaksa kami harus duduk terpisah. Melyn dan Hilmy duduk di depan, sedangkan
saya duduk di tengah. Itupun kemudian kondektur bus pengganti yang jutek itu
menyuruh Hilmy untuk pindah duduk di belakang. Jadilah Melyn duduk di depan,
saya di tengah dan Hilmy di belakang.
Bus pengganti ini sangat berbeda dengan
bus yang sebelumnya kami tumpangi dari Bengkulu. Bus yang kami tumpangi dari
Bengkulu ukurannya besar, sedangkan bus pengganti ini ukurannya kecil. Dari bus
yang nyaman berubah menjadi bus yang suram. Jarak antar jok sangat sempit
sehingga ketika duduk, dengkul kita akan bersinggungan dengan jok depan. Bus
penuh sesak sehingga tidak ada tempat untuk meletakkan tas-tas. Yang ada kami
harus memangku tas kami masing-masing.
Bus kemudian berjalan meninggalkan
Polres ketika seluruh penumpang dari bus yang kami tumpangi sebelumnya sudah
naik. Jalanan di luar masih gelap dan seringkali bus berhenti untuk menaikkan
penumpang lagi. Semakin lama semakin banyak penumpang yang naik. Beberapa
penumpang berbicara dengan Bahasa Minang yang tidak saya pahami.
Saya kemudian terkantuk. Antara perasaan
ingin marah, sebal, dan bingung kapan bisa sampai di Padang akhirnya saya
tertidur. Beban tas berat di pangkuan saya seperti tidak terasakan. Seorang
bapak yang duduk disamping saya ( pindahan dari bus yang sebelumnya juga ),
nampak terkantuk dan tertidur juga.
Saya terbangun ketika keadaan di luar
bus sudah terang. Bus semakin penuh dengan orang berjejalan. Entah sudah sampai
mana, tapi paha sudah mulai pegal memangku tas saya yang berat ini. Tidak ada
tempat untuk bergerak sedikitpun. Semua sudut dalam bus sudah penuh dengan
manusia. Itupun bus masih seringkali berhenti untuk menaikkan penumpang. Tepat
disebelah saya ada bapak-bapak yang berdiri. Saking sesaknya bus ini, kepala
bapak ini serasa ada diatas kepala saya. Sehingga nafas bapak yang ngos-ngosan ini
serasa meniup-niup rambut saya. Parahnya, bapak ini seringkali batuk, persis di
atas rambut saya. Antara semacam jijik namun tak bisa lagi berbuat apapun.
Bus terus melaju dan seringkali dengan
ngebut. Saya menyebut ini bus gila. Penumpang sudah berjejalan penuh sesak
namun kondektur bus masih saja berteriak-teriak sepanjang jalan untuk mencari
penumpang lagi. Kalau menggunakan perbandingan, sesaknya bus ini melebihi
sesaknya bus Trans Jakarta ketika jam pulang kantor.
Kami tidak tau sudah sampai mana dan
masih berapa lama dari Padang. Saya juga tidak tau lagi keadaan Melyn yang
duduk di depan atau Hilmy yang duduk di belakang. Tapi samar-samar saya masih
mendengar suara kondektur yang sedari berangkat tadi sangat jutek,
berteriak-teriak masih saja mencari penumpang.
Dimanapun di dunia ini, kendaraan dengan
stir kanan. Yang duduk paling depan sebelah kanan adalah pengemudi dari
kendaraan. Namun dalam bus ini teori tersebut terbantahkan. Saking penuhnya,
disebelah kanan pengemudi bus, ada penumpangnya! Menurut penuturan Melyn, ada 8
orang duduk dibarisan paling depan dalam bus kecil ini. Termasuk seorang
penumpang yang duduk disebelah kanan pengemudi bus.
Bus kemudian melewati daerah perbukitan.
Sekilas diantara sesaknya penumpang bus, saya sudah melihat laut yang
terbentang dibawah gugusan bukit-bukit yang kami lalui ini. Jalanan berkelok
dan menurun. Saya agak takut dengan kondisi bus ini, namun saya percaya bahwa
pengemudi bus sudah tau medannya karena ia tiap hari melewati jalur ini. Padang
nampaknya tak jauh lagi.
**
Di sebelah kiri sisi bus, saya melihat
laut, sebuah pelabuhan dan beberapa kapal yang sedang berlabuh. Semacam ‘de
javu’, gambaran pemandangan itu sepertinya tidak asing bagi saya, padahal saya
baru pertama kali melewati daerah ini. Laut biru, kapal dan pelabuhan. Saya
bertanya kepada bapak yang duduk di samping saya, “Pak, ini pelabuhan apa ya
Pak?”. “Ini namanya Teluk Bayur dek”. “Benar ini Teluk Bayur, Pak?”. “Iya, ini
Teluk Bayur”. Pantas saja saya seperti ‘de javu’ melihat tempat ini. Mendengar
nama Teluk Bayur, pikiran saya jauh kembali ke masa kecil saya dulu.
Dulu ketika saya kecil. Hampir setiap
hari di rumah saya selalu ‘dicekoki’ dengan lagu-lagu lama tahun 70-an atau
80-an oleh orang tua saya. Lagu dari Obbie Messakh, Koes Plus, Pance Pondaag,
Rinto Harahap dan deretan penyanyi tembang-tembang kenangan yang lain. Salah
satu lagu yang masih terngiang diantara banyaknya lagu kenangan itu, salah satunya
adalah “Teluk Bayur”. Lagu ini adalah salah satu lagu kesukaan ibu saya.
Ketika kecil, saya sering sekali
menyanyikan lagu ini sambil menghayati dan membayangkan seperti apa Teluk Bayur
itu. Bayangan saya, Teluk Bayur adalah sebuah pelabuhan tempat orang bepergian
dan berpisah dengan keluarganya. Ada banyak kapal yang bersandar. Kemudian
bayangan tentang orang-orang yang akan pergi merantau. Meninggalkan keluarga
dan orang yang disayangi untuk memperbaiki nasib di tanah rantau.
Kini, setelah belasan tahun sejak
pertama kali saya diperdengarkan lagu Teluk Bayur. Tuhan mewujudkan mimpi saya
untuk melihat langsung Teluk Bayur. Meski hanya dari dalam bus. Bus kecil yang
penuh sesak dengan penumpang ini. Satu kepingan kenangan masa lalu saya temukan
dalam perjalanan ini, Teluk Bayur. Saya menghidupkan handphone yang saya irit-irit baterainya sedari malam tadi. Sebuah
pesan pendek saya kirimkan untuk ibu saya, “Mak, saya sampai di Teluk Bayur..”
Tak lama kemudian akhirnya bus memasuki
Kota Padang. Para penumpang yang berjejal ini belum banyak yang keluar. Saya
tidak tau akan turun dimana, mungkin akan turun di terminal tempat
pemberhentian bus ini saja. Dari depan, Melyn memberi isyarat untuk turun,
kemudian diantara berjejalnya penumpang saya keluar melewati pintu belakang.
Kami bertiga turun lengkap dengan bawaan kami masing-masing. Setelah turun kami
bertiga terbengong satu sama lain. Kemudian kami bertiga tertawa sambil
bergeleng-geleng kepala membayangkan keadaan bus yang kami naiki tadi. Saya
menyebutnya Bus Gila.
Kami berhenti di sebuah perempatan yang tidak
kami ketahui namanya. Di perempatan itu kami bertanya kepada pengemudi angkot
bagaimana cara kami untuk pergi ke Solok. Kami berencana untuk transit di Solok
tempat tinggal saudara saya. Pengemudi itu kemudian mempersilahkan kami masuk
ke dalam angkot untuk diantarkan ke agen travel tujuan Solok.
Dari pesan yang dikirim saudara saya di
Solok, kami disarankan untuk naik Jasa Malindo, travel yang melayani jurusan
Padang - Solok. Di dalam angkot ada seorang perempuan muda yang jika dilihat
dari tampilannya ia akan berangkat kerja. Dengan pakaian yang sangat rapi dan
wangi, ia memandangi kami. Tampilan dan bau badan kami yang hampir belum mandi
selama 2 hari sangat kontras dengan penampilan perempuan ini.
Tak berapa lama kemudian, sampailah kami
ke agen Jasa Malindo. Kami kemudian naik ke dalam mobil berkapasitas belasan
penumpang. Sempat bingung ketika ditanya dengan bahasa Minang oleh petugasnya.
Setelah saya bingung tidak bisa menjawabnya, baru kemudian petugas bertanya
dengan Bahasa Indonesia. Ternyata pertanyaan yang tadi ditanyakan adalah “Mau
kemana?”
Perjalanan dari Padang ke Solok ditempuh
lebih dari 1 jam. Ada beberapa perbaikan jalan karena longsor yang menyebabkan
perjalanan menjadi lambat. Di kanan kiri masih banyak dijumpai rumah gadang
yang terkenal indah. Sesampai di Solok, kami berhenti disebuah pertigaan untuk
kemudian dijemput saudara saya yang terakhir bertemu saya adalah ketika saya
masih SD. Sehingga dalam pesan saya harus menuliskan ciri-ciri dan baju yang
saya pakai, takut salah orang karena sudah lama tidak bertemu.
Melyn dijemput menggunakan sepeda motor
sedang saya dan Hilmy menggunakan becak motor ( betor ) mengikuti dari
belakang. Uniknya, berbeda dengan daerah-daerah lain di Sumatra. Betor di Solok
ini memakai vespa sehingga ukurannya menjadi lebih kecil. Setelah sampai di rumah,
selepas mandi, kami langsung tertidur karena capeknya. Waktu menunjuk pukul 11
siang, atau hampir 40 jam kami menempuh perjalanan dari Tanjungenim, Sumatra
Selatan ke Solok, Sumatra Barat. Tiba-tiba saya merasa bokong saya sudah sangat
tipis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar