Selasa, 07 Februari 2012

mBolang Yogyakarta - Pacitan (hari kedua)

Selepas hari pertama mBolang Yogyakarta - Pacitan. Di hari kedua kami bersiap untuk pergi ke Pacitan, Jawa Timur. Semalaman kami menginap di kost Noe di Yogyakarta. Pagi sekitar pukul 7 kami beranjak pergi ke arah Pacitan melalui jalur Yogyakarta - Wonosari - Pacitan. Kali ini kami berempat karena Iftien sudah kembali ke Kebumen. Saya, Hilmy, Vira dan Noe. Tanpa sempat sarapan kami melaju, dingin sisa hujan tadi malam masih terasa. Lepas dari Wonosari kami melewati gugusan pegunungan kapur yang panjang. Di kanan kiri yang nampak hanya pemandangan gunung kapur. Sesekali ada ladang jagung yang luas, mengingatkan saya pada pemandangan ladang gandum di game German Truck Simulator. Indah!

Gunung kapur nampak kering dan gersang. Beberapa kali kami melewati perkampungan yang sepi. Jarang sekali melihat anak muda di daerah ini. Mungkin, karena daerah ini gersang sehingga kebanyakan anak muda lebih suka untuk merantau ke kota besar. Jalanan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini sangat mulus. Saya sempat nyelutuk, kalau jalanan sudah tidak mulus lagi berarti kita sudah masuk Jawa Tengah. Hehe. Tapi kondisinya memang demikian, jalanan di Yogyakarta dengan Jawa Tengah sangat berbeda.

Lepas dari jalan mulus di Yogyakarta, kami mulai masuk ke jalan yang 'kurang' mulus. Nampaknya, kami sudah masuk daerah Wonogiri Jawa Tengah. Pemandangan di luar masih sama, tebing-tebing gunung kapur yang indah. Kira-kira 30 km dari Wonosari ketika kami menemukan sebuah papan petunjuk Museum Kars Indonesia. Daerah ini masuk wilayah Pracimantoro,Wonogiri, Jawa Tengah. Sempat heran karena ada museum di tengah pegunungan kapur seperti ini. Kami berinisatif masuk ke areanya. Sambil masih bertanya Museum Kars Indonesia ini museum apa? Kenapa didirikan di tengah pegunungan kapur seperti ini?
Kars merupakan istilah bahasa Jerman yang diadopsi dari bahasa Slovenia yang berarti lahan gersang berbatu. Kars diartikan sebagai bentang alam yang terbentuk akibat pelarutan batuan. Umumnya batu gamping maupun dolomite oleh air. Selain itu, pembentukan kars dipengaruhi oleh faktor struktur geologi, relief, iklim dan waktu. Museum ini dibangun dan baru diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 30 Juni 2009. Prasasti peresmian itu terpasang di depan museum. Daerah Wonogiri, khususnya Wonogiri bagian Selatan seperti Pracimantoro memang merupakan daerah yang tandus dan alamnya di penuhi oleh batu-batu kapur. Museum Kars ini letaknya sekitar 2 kilometer dari pusat kota Pracimantoro. Di dalam museum, wisawatan akan disuguhi tentang berbagai gambar, diorama film dan informasi tentang Kars dari seluruh dunia. (koranjitu.com)
Ternyata daerah ini termasuk dalam kawasan kars. Sempat bingung dengan istilah kars ini, tapi setidaknya informasi di dalam museum lumayan membantu. Yang saya simpulkan dari museum ini isinya tentang batuan sebagai pembentuk kawasan kars, gua-gua disekitar museum juga tentang kehidupan masyarakat yang tinggal di daerah kars. Selebihnya bingung! mungkin harus belajar geologi dulu ya atau bisa juga saya 'gak dong' karena belum sarapan (alibi). Yang membuat salut adalah tentang bagaimana masyarakat bisa bertahan hidup di daerah yang kering dan gersang seperti kawasan kars. Kalau masih ingin tau tentang kars bisa di buka di wikipedia :)









Hanya beberapa saat kami mampir di Museum Kars untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke arah Pacitan. Kami terus melaju ke arah timur, masih di daerah Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Melewati jalanan yang naik turun di sela-sela gunung kapur. Pemandangan indah yang tentunya berbeda dengan topologi daerah di Indonesia pada umumnya.

Kami yakin sudah masuk ke wilayah Pacitan, Jawa Timur ketika kami melewati gapura selamat datang dengan tulisan "Selamat Datang di Bumi Kelahiran Presiden SBY". Yup, Pacitan ini memang tempat kelahiran Presiden Indonesia. Kami terus melaju sampai kemudian bertemu papan petunjuk ke arah Pantai Klayar, tujuan pertama kami. Melewati jalan rusak yang panjang dengan pemandangan desa-desa yang sepi. Jalanan rusak sehingga menggoncangkan seluruh isi mobil yang kami tumpangi ini. Semua kembali ke pengharapan awal, "Perjalanan yang jauh dan rusak harus ketemu pantai yang bagus". Masih kebingungan seberapa jauh pantai Klayar bisa kita jangkau ketika kami mampir untuk mencari pengganjal perut di sebuah kios kecil, di tengah kampung dengan jalan rusak. Bahkan sinyal hp pun tidak bisa terjangkau dari sini.

Setelah beberapa saat, sampailah kami di sebuah pantai yang luar biasa indah! Pantai Klayar Pacitan! Tidak ada yang sia-sia nampaknya. Perjalanan jauh dengan jalan rusak langsung dibayar tunai dengan indahnya pantai ini. Laut sedang pasang, ombak begitu meninggi sehingga petugas penjaga pantai tidak henti-hentinya memperingatkan pengunjung untuk tidak berenang di pantai. Kami sarapan di sebuah warung makan dengan penjual yang begitu ramah dan bersahabat. Dari percakapan dengan bapak penjualnya, kami baru tau ternyata jalan yang kami lalui tadi bukan jalan utama, pantas saja jalannya begitu rusak. Selesai makan kami langsung bergegas untuk menuju sebuah bukit di sisi kiri pantai. Pemandangan dari atas bukit sungguh indah sehingga panas terik siang tidak begitu kami rasakan.

Pantai Klayar dari atas (dari wikimapia) :



Indahnya Pantai Klayar Pacitan :







Setelah puas menikmati keindahan Pantai Klayar yang konon begitu bagus ombaknya untuk selancar. Kami melanjutkan perjalanan untuk transit ke rumah Noe yang ada di Pacitan. Istirahat sebentar di rumahnya, kami melanjutkan perjalanan kami ke Goa Gong yang masih ada di wilayah Pacitan juga. Goa Gong ini masuk dalam kawasan kars yang teorinya kami dapatkan di Museum Kars sebelumnya. Pegunungan di Pacitan adalah rangkaian pegunungan tandus di mulai dari Kebumen Jateng (Pegunungan Sewu), terputus di Wates Jogjakarta, dilanjutkan di Gunung Kidul/Wonosari (Yogyakarta) hingga Pacitan, Ponorogo, Trenggalek dan terus ke Malang dan Jember

Layaknya ketika berada di Lubang Jepang Bukit Tinggi, saya masih agak 'malas' untuk masuk ke Goa/Lubang. Semacam ada kesumpekan ketika ada di dalamnya. Ada perasaan semacam terpenjara sehingga ingin sekali keluar dari dalamnya.



Selepas dari Goa Gong kami melanjutkan perjalanan ke arah Pantai Srau, masih di Kabupaten Pacitan. Dari perjalanan ke Goa Gong ke arah Pantai Srau kami sedikit mengetahui topografi daerah Pacitan yang berbukit-bukit. Jalanan masih saja sepi sehingga kami sempat berfoto di tengah jalan yang kanan kirinya penuh dengan hutan.



Kami sampai Pantai Srau ketika langit mendung menghiasi cakrawala. Mungkin kami gagal untuk menikmati senja disini, tapi setidaknya pantai ini juga sungguh indah. Pantai ini sangat sepi, hanya ada kami berempat disini sehingga kami menyebutnya 'private beach'. Pantai yang begitu pasir putih yang membuat kita kagum akan penciptaan yang indah ini.

Di pantai ini kami akhirnya mencoba untuk mandi. Menyatukan diri dengan alam, begitu Hilmy menyebutnya. Memasrahkan diri kepada ombak, menyatu dengan pasir juga mengikuti irama setiap deburan yang membuat kita sungguh merasa kecil. Menikmati angin, gerimis dan belaian alam yang membuat kami bersyukur bisa sampai ada di tempat ini. Sore, gerimis, pantai putih, ombak, dan nada indah dari pianika. #bahagiaitusederhana










Hampir menjelang magrib ketika kami meninggalkan Pantai Srau ini. Perjalanan pulang dengan baju yang basah kuyup karena mandi di pantai. Vira memilih duduk di bak belakang agar dapat menikmati hujan katanya. Langit gelap sedang bayang-bayang tentang penciptaanNya masih membayang di benak kami sore itu. Saya buka HP, tiba-tiba saya teringat puisi Sapardi.

mencintai angin harus menjadi siut
mencintai air harus menjadi ricik
mencintai gunung harus menjadi terjal
mencintai api harus menjadi jilat
mencintai cakrawala harus menebas jarak
mencintaiMu harus menjadi aku

Sapardi - Sajak Kecil Tentang Cinta

Bersambung ke hari ke-3 --> http://ginanjaryuwana.blogspot.com/2012/02/mbolang-yogyakarta-pacitan-hari-ketiga.html

2 komentar:

Rizky mengatakan...

hm... nice trip sepertinya

jadi, zikin orang Pacitan to

Hilmy Nugraha mengatakan...

sing terakhir srau boi!

D-MAX, kereeeeeeeeeen!

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...