Selasa, 27 April 2010

Mempertimbangkan Tradisi - Prie GS

IZINKAN saya mengutip salah satu judul buku WS Rendra ini: Mempertimbangkan Tradisi. ”Bangsa tanpa tradisi adalah bangsa yang hilang,” kata penyair ini.

Rendra sudah pergi, tetapi pesan-pesannya atas tradisi mengganggu saya hingga kini. Sementara tradisi kita melemah, tradisi pihak lain menguat. Sementara mereka menengah, kita meminggir. Kepada mereka tersedia seluruh peran utama, kepada kita hanya tersisa peran-peran figuran saja.

Sementara pihak lain membuat handphone kita cuma  sanggup menjual pulsa. Sementara mal-mal raksasa dibangun kita cuma kebagian menjadi penjaga. Sementara mereka membuat mobil, kita sekadar tukang kreditnya. Inilah hasil dari kekalahan tradisi itu.

Pihak yang kalah itu terpaksa mengenakan seluruh pakaian yang ukurannya ditetapkan pihak lawan. Kita menjadi serupa tawanan perang, pihak yang setelah kalah pun masih harus membayar pampasan. Bentuknya adalah kekalahan peran yang telak: yakni sekadar menjadi pelayan, pembuat chasing, tukang servis, tukang catat, kuli angkut, jago kepruk dan seterusnya.

Serendah itulah derajat manusia Indonesia? Tidak, jika bangsa ini sukses memperkembangkan tradisinya. Tapi jangankan diperkembangkan, tradisi itu, dipertimbangkan saja sering tidak. Jika sebuah jalan tol dibangun, siapakah pemegang tradisi besar di sebaliknya? Pasti bukan para petani, karena banyak petani malah kehilangan sawahnya demi proyek ini.

Jika sebuah mal raksasa dibangun, adakah ia bertumpu pada kepentingan masyarakat terbesar kita? Saya ragu, jika kehadiran pusat belanja malah menyebabkan kematian pasar tradisional dan warung-warung kelontong sebagai basis ekonomi publik yang nyata.

Maka gerakan besar bangsa ini ke depan harus segera diselenggarakan. Apa bentuknya? Perlawanan tradisi. Jika Eropa  sanggup mengembalikan mebel kita cuma karena keliru cara kita memaku, itulah keteguhan tradisi namanya. Mereka memiliki keteguhan membangun harga. Kepada mereka, akhirnya kita terpaksa cuma menjual barang dengan standar yang mereka tetapkan.

Sementara kepada kita, rasanya orang lain boleh berjualan apa saja: sampah, barang rongsok, ban bekas, kosmetik beracun, makanan berpengawet, zat warna berbahaya dan seterusnya.  Inilah kekalahan tradisi. Tradisi kita dalam menghargai diri sendiri memang terkenal rendah sekali.

Maka menjadi jelas, bahwa para penjaga tradisi itu, terutama, bukanlah publik semata-mata, tetapi para politikus, para  pemimpin, pembuat undang-undang dan aparat penegak hukum.

Karena  jangan lupa, ujung dari kebangkitan tradisi sebetulnya adalah kebangkitan moral.
Meskipun secara tradisi kita mengerti bahwa sebuah lahan sangat layak dikonservasi sebagai sawah abadi, tetapi jika secara moral kita goyah, sawah itu boleh saja diubah menjadi pencakar langit  karena besarnya komisi.

Jadi banyak sekali  tradisi yang dikorbankan bukan karena kita buta tradisi, melainkan karena kita amat hobi kepada komisi.

Gagal tradisi di lapis atas itu  akan merembet ke bawah sebagai gagal lanjutannya. Bentuknya adalah mental yang rapuh di depan persaingan. Kehadiran aneka pusat belanja yang bersih dan gemerlapan  itu memang ancaman  bagi toko-toko kelontong kita.

Tetapi banyak toko yang menolak berubah  dan malah mempercepat sendiri kematiannya. Ada toko yang begitu hemat lampu hingga memasukinya pembeli seperti masuk kuburan, ada yang malas mengecat temboknya yang kusam, ada pemilik yang melayani dengan ogah-ogahan dan ada pula pelayan toko yang bertugas sambil kerokan.

Banyak sekali pihak yang harus mati bukan karena persaingan tetapi mati oleh perilakunya sendiri. Maka mari mempertimbangkan tradisi agar terhindar dari aneka tradisi yang membangkrutkan. (35)

Tidak ada komentar:

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...