Selasa, 06 Maret 2012

Terkunci di Stasiun Tanjung Karang

*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (3)

kelanjutan dari : Rajabasa dan Anggur Jamu 

Siang ini kami ke Stasiun Bandar Lampung (Tanjung Karang) dengan tujuan untuk membeli tiket kereta malam ke Palembang, sekaligus numpang mandi di stasiun kereta tersebut.  Sejak kemarin dari Purwokerto, kami belum mandi sama sekali. Sesampai di stasiun kami mencoba melihat jadwal kereta ke Palembang. Namun sayang tak ada loket buka sama sekali. Dari informasi diketahui bahwa loket di buka 2 jam sebelum kereta jalan. Lucunya, kalau di loket hanya bisa dibeli 2 jam sebelum kereta berangkat, tiket bisa dibeli di agen tiket jauh-jauh hari. Jadi misalnya untuk hari ini kereta akan berangkat pukul 9 malam, maka loket di stasiun baru buka jam 7 malam. Tapi anehnya di agen sudah di jual, bahkan jauh-jauh hari kita bisa memesan. Yang jadi pertanyaan, apabila tiket sudah terjual habis di agen, apakah loket akan tetap buka?

Beberapa orang menawari kami untuk membeli tiket di agen. Kami menolak, dengan pertimbangan harga tiket di agen pasti jauh lebih mahal dibanding dengan tiket yang di jual di loket. Kami mencoba berspekulasi nanti malam saja, meski agak khawatir mendengar penuturan banyak orang tentang susahnya membeli tiket di loket karena keterbatasan jumlahnya. Ah, inilah potret jasa di negara ini, meski sudah diurus oleh perusahaan yang ‘katanya’ milik negara sekalipun!

Dari loket-loket yang masih kosong melompong itu kami mencoba masuk ke dalam stasiun. Dengan membayar peron Rp.7500 untuk 3 orang kami diperbolehkan. Sesampai di dalam, Hilmy mondar-mandir mengambil foto. Melyn duduk melepas lelah. Ada kereta penuh penumpang yang akan berangkat. Selang beberapa waktu, kereta itu berjalan mengikuti alur perjalannya. Dari deretan kursi ruang tunggu, kami duduk melepas lelah. Hilmy berjalan agak menjauh mencari kamar mandi umum di stasiun untuk mandi. Namun tiba-tiba beberapa petugas pengamanan datang ke arah kami.
“Keluar-keluar, pintu akan di tutup! Silahkan mau keluar apa terkunci disini sampai malam”
Kami bertiga kebingungan. Kenapa kami di suruh keluar? Bukankah stasiun kereta buka 24 jam? Tapi begitu masuk ke stasiun kereta ini kami disuruh keluar lagi.

Kami keluar dari stasiun sambil bertanya-tanya. Adakah kesalahan yang kami buat sehingga kami diusir dari dalam stasiun kereta ini. Yang kami tau, di Pulau Jawa stasiun kereta buka 24 jam. Jam berapapun kita bisa masuk. Kalaupun tidak bawa tiket, bisa masuk dengan tiket peron. Tapi nampaknya di Sumatra ini berbeda. Jadi stasiun kereta hanya buka ketika akan ada kereta yang berhenti atau berangkat saja. Di luar jam itu ya stasiun ditutup!

Kami terusir keluar, dengan kondisi di dalam stasiun tadi kami belum sempat mandi. Badan kumal, kucel, dengan menggotong tas ransel besar. Tapi dengan PD-nya kami masih foto-foto di depan stasiun sampai beberapa orang yang ada disitu melihat kami dengan perasaan iba hahaha.

Di tengah kebingungan, tiba-tiba Febs telfon. Febs ini adalah teman baik dari Filipina. Saya pernah bertemu dengan dia di Jakarta, dan sering mengobrol meski hanya lewat YM atau sms. Kebetulan saat ini dia sedang ada pekerjaan di Lampung. Sebenarnya siang ini dia harus kembali ke Jakarta sehingga tidak bisa menemui kami. Tetapi, mungkin karena mendengar suara saya yang terdengar ‘kelaparan’, dia mengajak kami bertemu terlebih dahulu sebelum dia berangkat ke Bandara. Asik, makan gratis!

Febs dan driver yang akan mengantar dia ke Bandara menyempatkan datang ke stasiun. Kemudian kami diajak ke sebuah tempat makan yang tidak terlalu jauh dari stasiun. Inilah makan pertama kami di Sumatra. Saya, Hilmy, dan Melyn masih dengan tampilan kucel kami yang belum mandi dari kemarin. Bahkan belum tersentuh air sama sekali hari ini. Dengan tisu di tempat makan saya mencoba membersihkan muka. Busyet! Begitu diusapkan ke muka saya, tisunya langsung hitam penuh debu. Melyn senyum-senyum melihat bentuk tisu yang menghitam begitu menyentuh muka saya yang penuh debu ini. Kotor sekali tampilan kami siang ini.

Sempat ngobrol beberapa saat dengan Febs. Namun kami tak bisa lama-lama. Dia sudah harus ke Bandara karena sore ini harus bergegas ke Jakarta. Saya minta diantarkan ke Musem Lampung. Diantarkannya kami bertiga ke Museum Lampung yang kebetulan searah dengan jalan menuju bandara. Sesampainya di museum kami turun, kemudian Febs dan drivernya melanjutkan perjalanan ke Bandara. Febs berpesan untuk menceritakan apa yang ada di dalam museum kepada dia nantinya.
Kami sendiri masuk ke Museum Lampung, suasana sangat sepi. Hampir tak ada orang yang kami temui. Nampaknya museum ini sudah tutup. Entah tutup karena memang sudah jam tutup, atau tutup karena tak ada orang yang datang menyambanginya. Agak kecewa karena kami tak bisa masuk ke dalamnya. Namun satu hal luar biasa yang kami temukan di kompleks museum ini, sesuatu yang bahkan tidak bisa kami dapatkan di stasiun karena sudah terlebih dahulu terusir. Di museum ini ada kamar mandi! Dan untuk pertama kalinya di Sumatra, setelah 24 jam kami di jalan. Di tempat yang tidak terduga ini kami bisa mandi!

Jadi kalau di kemudian hari Febs tanya, “Saya ingin ke Museum Lampung, apa ada yang menarik di dalamnya?” Saya menjawab “Ada satu yang menarik” “Apa?” “Kamar mandi. Karena kami juga tidak tau apa isi dari Museum Lampung itu selain kamar mandinya.” 

Selepas mandi di Museum yang nampak kosong ini, kami melanjutkan perjalanan. Rencananya kami akan jalan-jalan ke kota Bandar Lampung. Tapi ada hal yang membuat saya bingung sebenarnya. Semua orang Indonesia ketika ditanya Ibukota Provinsi Lampung pasti menjawab Bandar Lampung. Di buku-buku sekolah, di internet bahkan dalam tata pemerintahan, Ibukota Provinsi Lampung adalah Bandar Lampung. Tetapi yang saya temui di kota ini, entah itu di petunjuk jalan, papan nama toko, semuanya tertulis Tanjung Karang. Lalu di mana yang namanya Bandar Lampung ibukota Provinsi Lampung? 

Sebelumnya ketika makan, saya sudah mencoba bertanya kepada teman Febs. “Mas, kalau Bandar Lampung itu dimana? Dari tadi semua petunjuk kok nyebutnya daerah ini namanya Tanjung Karang ya? Bukan kita ini sudah di  Bandar Lampung?”. “Ya Bandar Lampung ya disini ini mas”. “Tapi dari tadi kok tulisannya Tanjung Karang ya mas?”. “Ya Bandar Lampung ya Tanjung Karang ini”. Duh, saya semakin bingung saja. 

Menurut beberapa informasi, dulunya Ibukota Lampung adalah Tanjung Karang. Namun pada tahun 1983 Ibukota Lampung diganti dengan nama Bandar Lampung. Bandar Lampung sendiri adalah gabungan dari 3 daerah yang terintegrasi yakni Tanjung Karang, Teluk Betung, dan daerah Panjang (Kedaton). Jadi ketika Bandar Lampung di jadikan nama kota termasuk sebagai nama Ibukota Provinsi, maka secara otomatis Tanjung Karang menjadi nama kecamatan. Mungkin karena nama Tanjung Karang sudah melekat sebagai nama kota sebelum adanya Bandar Lampung, maka nama di stasiun, nama tempat, papan nama, pasar, tetap dinamai dengan Tanjung Karang. Toh, daerah itu juga masih masuk wilayah Kecamatan Tanjung Karang.

**


Selepas dari Museum kami naik angkot lagi ke arah pusat kota. Definisi ‘pusat kota’ ini beragam. Ada yang menyebut pusat kota adalah pusat ekonomi suatu daerah atau pun pusat pemerintahan. Sore ini kami tidak tau dimana pusat kota Bandar Lampung. Kami hanya berpatokan sederhana. Pusat kota adalah tempat yang paling ramai disuatu daerah. Nah, sepertinya daerah di dekat stasiun yang kami datangi tadi adalah salah satu pusat keramaian di kota Bandar Lampung. Penampilan kami sudah berubah. Penampilan kucel dan bau sudah berganti dengan semerbak wangi dan rapi karena sudah mandi di museum. Di angkot pun sudah berani mencuri pandang ke arah cewek. 

Ketika hampir dekat dengan pasar di dekat stasiun, kami meminta turun. “Stop Pak, kiri.. kiri.. kiri” Tetapi angkot masih saja jalan. Nampaknya isyarat untuk turun dari angkot berbeda-beda tiap daerah. Seorang ibu di dalam angkot memberitahu kami, caranya turun dari angkot di daerah sini adalah dengan ucapan “minggir”. Kamipun serentak berteriak “MINGGIRR!”, dan dalam sekejap sopir angkot langsung memberhentikan angkotnya. Luar biasa keanekaragaman di Indonesia. Isyarat berhenti dari angkot pun berbeda-beda tiap daerah.  

Dari daerah tempat kami turun, kami berjalan-jalan. Menyusuri keramaian pasar di dekat stasiun Tanjung Karang. Pasar di sini tak ubahnya seperti pasar tradisional di Jawa. Kebersihan tidak terjaga, sampah berserakan, tetapi banyak sekali barang yang di jual. Lelah karena muter-muter, kami berhenti di sebuah Masjid. Duduk di serambi sambil ngobrol-ngobrol. Tak terasa, dalam waktu 24 jam kami sudah sampai di Bandar Lampung. Sebuah kota di seberang pulau, Sumatra. 

Setelah agak lama kami istirahat di masjid, kami beranjak kembali ke stasiun. Berharap stasiun sudah buka dan kami sudah bisa membeli tiket. Tetapi sesampai di stasiun pintunya masih ditutup. Suasananya sudah lebih ramai, banyak sekali orang di depan stasiun. Entahlah bagaimana nasib kami, apakah malam ini kami bisa melanjutkan perjalanan ke Palembang, atau harus menerima kenyataan tidak mendapatkan tiket dan bingung kami akan menginap dimana. Entah orang-orang ini siapa, kami juga tak mengenalnya. Apakah mereka juga akan mengantri tiket seperti kami, atau hanya orang yang sedang singgah ke stasiun ini.

Tak lama kemudian, setelah semakin banyak orang berdatangan dan berkumpul di bukalah pintu stasiun oleh petugas. Secara refleks, orang-orang yang tadinya di luar itu berhamburan masuk dan berebutan ke arah loket penjualan tiket. Ternyata orang-orang yang tadi berkumpul di depan stasiun adalah orang yang sore ini akan antri membeli tiket juga. Mereka berhamburan ke dalam dean loket dan secara otomatis membentuk antrian panjang ke belakang. Beruntung, di tengah tidak sadarnya kami akan hal ini, Hilmy dan Melyn sudah ikut berlari ke arah loket penjualan tiket sehingga otomatis kami sudah ikut antri untuk membeli tiket. 

Tapi taukah kawan? Loket penjualan kereta ini baru akan di buka pukul 19.00 untuk keberangkatan kereta pukul 21:00. Dan saat orang berhamburan untuk antri itu jam di tangan kiriku ini masih menunjuk pukul 17:30. Ya kami akan menunggu sampai loket ini buka pukul 19:00 nanti.

Itulah senja pertama kami di Pulau Sumatra. Menikmati antrian di dalam stasiun yang gelap. Dengan harap-harap cemas apakah kami masih dapat tiket untuk malam ini. Tapi semua akan kami nikmati, senja yang samar ini. Pada saat nantinya akan kami temui senja yang lebih indah dari ini.

"The road of life twists and turns and no two directions are ever the same. Yet our lessons come from the journey, not the destination.” - Don Williams, Jr

Di depan Stasiun Tanjung Karang

Masih di depan Stasiun Tanjung Karang

Terusir dari dalam stasiun :D

Antri tiket...

Suasana pasar di dekat stasiun..

Masih duduk antri tiket..

1 komentar:

Iqbal Parabi mengatakan...

Wah mas, kasian terlunta-lunta di kota saya. Kalau berkunjung lagi ke kota Bandar Lampung, bisa hubungi saya.
Nice share.

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...