Cerita ini sebenarnya di mulai di bulan ramadhan lalu. Waktu itu hari Jumat, jam yang terekat di tangan kiri saya menunjuk 16.30. Hari itu saya ada di Jakarta untuk datang ke kantor dimana saya biasa bekerja sama dengan mereka untuk pekerjaan di kantor lama saya. Setelah selesai acara, hujan turun deras. Sedangkan sore itu saya harus kembali ke Semarang karena sudah memesan tiket kereta api ke Semarang pukul 19.20 dari Stasiun Senen. Saya sangsi apakah bisa sampai di stasiun pada jam itu, karena sudah menjadi hal lazim Jumat sore di Jakarta pasti macet apalagi di tambah dengan hujan. Jika naik Busway pasti waktunya tidak cukup karena harus menuju ke Blok M kemudian di Harmoni pindah rute. Mungkin naik taksi bisa lebih cepat menurut saya.
Kemudian dengan memanggil taksi berhentilah sebuah taksi di depan kantor. Di tengah rintik hujan itu naiklah saya ke dalam taksi. Agak terkejut, ternyata driver taksi yang ada di dalam adalah seorang perempuan. Baru kali ini saya mendapati driver taksi perempuan, yang tiap hari harus menembus kemacetan Jakarta yang sedemikan parah. Kira-kira umurnya sekitar 35 tahun. Sampai di dalam beliau menyambut dengan ramah, bertanya tujuan saya. Hmm.. saya agak tertegun sedikit, mungkin bisa dibilang salut untuk pekerjaan beliau. Sesaat setelah taksi melaju, beliau mulai membuka percakapan. Asalnya dari mana, mau kemana dan sebagainya. Obrolan kemudian berjalan asyik, beliau nyambung banget. Setelah itu gantian saya yang bertanya, asalnya mana, tinggal dimana. Beliau tidak keberatan untuk menjawabnya.
Beliau asli Jakarta (asli Betawi katanya), tinggal di Jakarta bagian selatan bersama 2 orang anaknya. Saya tidak berani bertanya lebih lanjut tentang suami dan sebagainya karena takut beliau tersinggung. Karena sebelumnya beliau bilang tinggal hanya bertiga dengan kedua anaknya yang masih SD. Perbincangan berlanjut "ngalor ngidul" di tengah kemacetan Jakarta sore itu. Intinya saya benar-benar salut untuk usaha beliau, saya yakin beliau pasti mau bekerja berat seperti itu untuk anak-anak beliau. Mungkin inilah Jakarta, dimana orang harus bekerja apapun itu asal tetap bisa survive. Satu pelajaran yang saya ambil dari beliau, kerja keras!. Tidak perlu malu untuk sesuatu yang baik. Dan yang pasti saya melihat keikhlasan yang luar biasa pada beliau.
Pelajaran menjelang buka puasa yang luar biasa di tengah kemacetan Jakarta. Sesaat kemudian adzan maghrib berkumandang, kami masih terjebak macet di pusat ibukota negeri ini. Saya yang tidak membawa bekal apa-apa ditawari berbuka dengan roti yang beliau bawa dari rumah. Sesaat sampai Gambir saya mampir membeli minum, itung-itung mengganti roti yang beliau kasih untuk saya. Dan tepat pukul 19.00 kami sudah sampai di Stasiun Senen, alhamdulillah tidak terlambat, begitu gumam saya. Beliau memberi nomor telfonnya dan berpesan nanti kalau di Jakarta mau kemana-mana pakai taxi beliau saja. Hari itu saya mendapat rejeki yang luar biasa : Nilai kehidupan, Buka puasa, juga pekerjaan baru :)
Dan sekarang saya sudah ada di Jakarta, dan tadi pagi saya bertemu beliau lagi untuk mengantar saya bepergian. Beliau bertanya tentang keluarga & masih memberi sekedar nasihat untuk bisa "temata" tinggal di Jakarta. Di dalam taksi itu masih saya temui ID Card yang sama seperti beberapa bulan yang lalu saya pertama bertemu beliau, Siti Bugiah.
Jakarta, 14 Oktober 2010
Kamis, 14 Oktober 2010
Lintang Damar Panuluh
Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...
-
Kalau ada suatu tempat yang selalu ingin saya kunjungi ketika bepergian, tempat itu adalah Pelabuhan & Pantai. Saya suka dengan laut, bi...
-
Kapan kamu pergi jauh untuk pertama kalinya sendiri? Waktu itu tahun 2002 ketika saya belum genap berumur 15 tahun. Baru lulus SMP dan mas...
-
*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (17) kelanjutan dari : Mampir Sekejap ke Padang Suasana nampak mulai...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar