Berita minggu ini masih tak beranjak dari pertikaian politik para petinggi negeri, ontran-ontran perebutan kekuasaan, politisasi olahraga juga berita tak penting dari artis yang juga tak penting itu. Tapi di tengah riuh rendah berita itu, di sudut koran ada berita yang membuat saya menepi dan memarkir mata saya untuk mencermati berita itu. Berita biasa yang mengisi negeri ini tentang carut marutnya transportasi, khususnya transportasi untuk masyarakat menengah ke bawah. Berita tentang kecelakaan kereta ini membawa saya melayang jauh meneropong apa yang terjadi tepat 4 bulan lalu. Peristiwa yang belum bisa menghilangkan trauma saya sampai saat ini.
Malam itu, tepatnya tanggal 1 Oktober 2010. Saya ada di Stasiun Pasar Senen untuk kembali ke Semarang setelah siang harinya ada kegiatan di Jakarta. Turun dari Busway tepat pukul 19.00. Kereta Senja Utama sesuai jadwal berangkat pukul 19.20. Segera saya menuju loket yang nampak beberapa meter antrian. Saya masuk ke dalam antrian, beberapa saat kemudian tibalah saya di antrian paling depan. Di sebuah loket kaca dengan lubang kecil untuk mempermudah percakapan terjadilah dialog antara saya dengan petugas loket :
Saya : “Mbak, Senja Utama Semarang, untuk 1 orang. Masih?
Petugas : “Habis, adanya yang tanpa tempat duduk. Mau?
Saya : “Ya mbak, gak apa-apa. Berapa harganya?”
Petugas : “120ribu”
Saya : “Tanpa tempat duduk, harganya sama aja mbak seperti yang ada tempat duduk?”
Petugas : “Sama saja”
Saya : “&%@*^%@&&#@&”
Hmm.. Tak usah di bahas kenapa tiket tanpa tempat duduk masih saja di jual dengan harga yang sama. Dan kenapa kenyamanan bukan menjadi prioritas PT Kerata Api, itu sudah menjadi rahasia umum sepertinya. Malam itu saya terpaksa mengiyakan untuk membeli tiket tanpa tempat duduk karena saya ingin segera pulang, sedangkan kereta selanjutnya yang akan ke Semarang adalah kereta ekonomi Tawang Jaya yang keadaannya tak jauh lebih baik.
Setelah mendapatkan tiket saya berfikir bagaimana saya nanti bisa tidur di kereta dengan kondisi tanpa tempat duduk. Beberapa saat kemudian di dalam stasiun, datanglah kereta Senja Utama yang akan saya tumpangi. Segera saya bergegas naik, karena saya tak punya tempat duduk maka masuklah saya ke gerbong restoran atau lebih banyak di kenal dengan restorasi. Sampai dalam segera saya duduk dengan santainya di kursi kosong entah punya siapa yang ada di gerbong itu. Ada petugas yang menegur saya karena duduk di tempat duduk yang seharusnya di khususkan untuk masinis dan petugas kereta api tersebut. Kemudian buru-buru saya bertanya ke petugas itu, “Pak, ada yang kosong tidak?”. Petugas itu segera menjawab “Nggak ada mas, mas-nya berapa orang?”. “1 orang saja pak” jawab saya. Petugas itu kemudian berlalu pergi.
Saya masih saja cuek duduk di kursi itu meski agak resah juga. Tiba-tiba petugas yang tadi bertanya datang lagi. Dia kemudian mengajak saya untuk mengikutinya. “Ada yang kosong, di gerbong 8, ayo ikut saya”. Kemudian saya mengikuti dia dari belakang. Dari restorasi yang “agak” di depan, saya mengikuti dia sampai gerbong 8. Gerbong 8 ini adalah gerbong nomor 2 dari belakang. Total rangkaian ada 9 gerbong, paling belakang adalah gerbong nomor 9. Sesampai di gerbong 8, petugas tadi menunjukkan kursi kosong di sebelah kiri dekat jendela. Petugas tadi memastikan kalau kursi itu kosong dan saya bisa duduk disitu. Petugas itu kemudian pergi setelah saya memberikan tips karena dia sudah mencarikan kursi untuk saya. Pengalaman pertama nyuap orang hahaha..
Kemudian duduklah saya di gerbong 8 itu, di sebelah kiri deket jendela. Berjalanlah loko pelan-pelan setelah Kepala Stasiun bertopi merah kombinasi kuning hitam itu meniup peluitnya. Belum sampai Bekasi, kantuk saya sudah memuncak. Dasar “rai bantal”, saya langsung tertidur pulas, bangun-bangun sampai Brebes! Haha.. Tapi anehnya sepanjang jalan saya tidak dibangunkan untuk di cek tiket saya. Entah ada yang ngecek atau enggak saya tidak tahu. Sesampai Brebes saya mulai merasakan lapar, mungkin sampai Tegal nanti saya akan membeli makanan kalau kereta berhenti di Stasiun Tegal. Tapi ada daya, saya tertidur lagi dan bangun-bangun sudah sampai Petarukan! Hahaha
Dan tragedi malam itu dimulai disini. Saya nglilir ketika sampai stasiun ini. Rupanya kereta sedang berhenti agak lama, saya tidak tau alasannya kenapa. Suasana sangat sepi ketika saya terbangun, kebanyakan orang masih tertidur pulas di dini hari itu. Ada yang tidur di kursi, ada yang memakai kertas Koran di kolong kursi. Tiba-tiba suara benturan keras terdengar dari gerbong belakang dan sejenak kemudian gerbong yang saya tumpangi oleng jatuh ke kanan. Semua orang berteriak keras sampil melafalkan ayat suci. Saya yang duduk di pojok kiri dekat jendela, ikut jatuh menimpa orang-orang yang duduk di sebelah kanan saya. Saya terbanting jatuh, Alhamdulillah karena saya saat itu sedang tidak tidur jadi saya tidak terlalu kaget. Orang-orang yang sedang tidur pasti kaget bukan kepalang karena itu. Suasana menjadi sangat mencekam ketika gerbong sudah terbalik, lampu-lampu di kereta mati, serta debu yang bertebangan. Saya masih sadar ketika habis terjatuh, kemudian saya bangkit mengambil tas saya yang Alhamdulillah juga jatuh tak jauh dari tempat saya jatuh juga. Sandal saya yang terlepas juga ada di dekat saya. Segera saya ambil tas dan sandal saya.
Kami semua masih belum tau apa yang terjadi dengan kereta yang kami tumpangi. Kami segera mencari cara bagaimana kami bisa keluar dari tempat itu. Saat itu saya menyadari, ini musibah besar. Gerbong saya terguling ke kanan, sehingga jendela sebelah kanan menjadi ada di bawah, dan jendela serta pintu sebelah kiri menjadi di atas. Dibawah jendela yang ada dibawah itu saya melihat ada beberapa (maaf) tangan terjulur, saya tak bisa membayangkan apa yang terjadi di bawah gerbong yang jatuh ini. Beberapa teriakan minta tolong juga ada di gerbong yang sudah bau listrik konslet ini. Beberapa orang sudah bisa membuka pintu keluar yang ada di atas gerbong kami. Beberapa orang yang masih sadar segera berusaha keluar dari gerbong ini, kaki saya tiba-tiba sangat gemetar. Saya masih belum percaya dengan apa yang saya alami. Saya ingin bantu orang-orang yang ada di gerbong saya tapi badan saya bergetar demikian hebat. Setelah beberapa orang berhasil keluar dengan memecah kaca, saya ikut mencoba keluar. Begitu berhasil keluar dari atas gerbong yang jatuh itu kaki saya tambah bergetar. Keringat dingin keluar dari badan saya melihat gerbong yang persis di belakang gerbong yang saya tumpangi. Tepatnya gerbong 9 itu, sudah hancur tak berbentuk lagi.
*kondisi gerbong 8 yang saya tumpangi
Agak tertegun sejenak melihat keadaan dari luar. Gerbong 8 yang saya tumpangi sudah terguling dan terlepas rangkaiannya dari gerbong nomor 7 di depannya. Gerbong nomor 7 keluar dari lintasan, tapi masih berdiri. Sedang yang paling parah adalah gerbong nomor 9 yang sudah hancur tertabrak kereta Argo dengan kecepatan tinggi dari belakang. Suasana sudah kacau balau, banyak orang teriak-teriak karena terjepit rangkaian, beberapa orang lagi membantu korban-korban yang masih bisa di selamatkan. Di tengah gelap dini hari itu, kejadian memilukan terjadi. Tapi rata-rata penumpang masih terdiam, entah karena kaget baru bangun tidur, atau mereka masih belum percaya akan apa yang menimpa pagi itu.
Banyak korban dengan kondisi mengenaskan. Badan saya semakin bergetar hebat. Seakan-akan maut begitu dekat dengan kami, dekat dengan saya, dan hal ini masih terus menghantui saya sampai sekarang ketika naik kendaraan umum. Entah itu kereta api yang sampai sekarang saya belum berani naik lagi. Atau naik bus bahkan pesawat sekalipun saya masih merasa hal-hal itu. Semoga saja peristiwa itu selalu mengingatkan saya akan datangnya hari akhir dimana nyawa dan raga ini akan berpisah. Pada sebuah dimensi kehidupan yang berbeda.
-Saya, yang dulu cinta kereta tapi sekarang tak berani menaikinya-
Semarang, 1 Februari 2011 00:15
2 komentar:
semoga lekas membaik dari trauma,
bagaimanapun, ular besi tetap menawan.
aku juga sampe sekarang trauma dibonceng naik motor yg jauh.. *gara2 kecelakaan juga.. ngerrrriii
Posting Komentar