Senja mulai mengalun indah di kota ini. Kabut turun seiring datangnya gelap menggantikan terang. Matahari sudah tak nampak sedari tadi. Angin mulai berhembus merasuk, dingin. Di pematang, petani berjalan kembali menuju peraduan. Sepi, karena kota kecil ini tak diciptakan untuk menjadi sebuah keramaian seperti glamornya kehidupan ibukota. Semua nampak biasa, temaram namun syahdu menghanyutkan. Jalanan mulai sepi, penduduk bergegas masuk ke rumah mereka untuk berlindung dari dinginnya udara lereng gunung. Ternak sudah dikandangkan dan lampu penerang sederhana menghiasi tiap sudut rumah-rumah sederhana khas dataran tinggi.
Di sudut kampung yang jauh dari gemerlap, nampaklah ada yang berbeda malam itu. Ada dentuman suara musik dan kelap-kelip lampu yang begitu terang. Ada bianglala, tong setan, ayunan dan banyak lagi permainan yang membawaku seakan-akan terbang jauh ke masa kecil dulu. Ya, di tempat ini ada pasar malam. Pasar malam seperti menghadirkan kilatan masa kecil yang sangat mengasikkan, tentu dengan beragam jajannya. Namun tak bisa dipungkiri, aku tidak suka pasar malam. Kamu pasti tau alasannya boi..
Namun malam itu aku terpaksa ada di kerumunan banyak orang yang menikmati pasar malam itu. Mengantar banyak sepupu kecil yang begitu menikmatinya tempat itu. Aku duduk di ujung, di antara beberapa orang orang yang tak kukenal. Di sampingku ada 2 perempuan yang sepertinya juga sedang menunggui entah anak atau saudaranya. Namun mereka berdua saling kenal, karena aku melihat mereka kadang berbincang. Aku masih tak bisa menikmati tempat itu. Namun kulihat 2 orang perempuan di sampingku ini juga gelisah, seakan tak bisa menikmatinya juga.
Beberapa saat kemudian entah siapa yang mengawali tiba-tiba kami sudah saling menyapa. Padahal sebelumnya saya tak pernah kenal sama sekali dengan kedua orang tersebut. Lumayan pikirku daripada bengong dan bosan menunggu. Dari percakapan itu aku baru tau kalau mereka berdua berasal dari kampung sebelah yang datang kesini mengantar anak dari salah satu perempuan itu. Sepertinya umur kedua perempuan itu tidak beda jauh, mungkin sekitar 35 tahunan.
Bla.. bla.. bla.. tak terasa kami sudah berbincang banyak hal. Di awali dari basa-basi sampai ngobrol "ngalor-ngidul". Kami sendiri sudah saling memperkenalkan diri. Aku juga baru tau, 2 perempuan itu yang satu sudah berkeluarga dan satunya lagi adalah janda tanpa anak. Sambil menunggu kami bertiga berbincang banyak hal. Dari masalah umum sampai kemudian pada hal-hal pribadi. Seakan-akan mereka malah curhat dan bercerita tentang kehidupan mereka. Padahal niatku dari awal cuma sekedar ngobrol ngisi waktu. Tapi tak apa, barangkali bisa jadi pembelajaran buatku. Benar apa yang aku pikirkan sedari awal, mereka juga tidak bisa menikmati tempat ini. Mungkin sekilas dari garis wajah mereka tak nampak kegelisahan, namun dari cerita mereka tersimpan beban yang amat berat.
Mbak yang pertama bercerita bahwa ia sebelumnya sudah berkeluarga namun bercerai. Alasannya karena suaminya sering berlaku kasar kepada dia ( baca : KDRT ). Sedari awal memang dia tidak direstui orang tuanya untuk menikah dengan laki-laki tersebut, namun tetap memaksakan. Setelah menikah dia baru tau bahwa ternyata suaminya suka kasar kepada dia. Dia sangat kecewa pada dirinya sendiri kenapa tidak menuruti nasehat orang tuanya. Namun dia menyadari, pasti ada resiko dari setiap keputusan sebagain bagian dari frase kehidupan. Kemudia ia memutuskan untuk meminta cerai. Selepas bercerai untuk melanjutkan hidupnya dia bekerja menjadi pembantu rumah tangga ke Hongkong. Empat tahun disana dia pulang ke kampung kemudian kuliah di fakultas pendidikan kemudian menjadi guru pada sebuah taman kanak-kanak sampai sekarang.
Mbak yang kedua juga bercerita tentang kehidupannya sambil terisak. Di awali dari pernikahan tanpa restu orang tua juga. Saat ini dia masih berkeluarga, masih punya suami dan sudah di karunia 2 anak. Kalau melihat sekilas orang pasti mengira tak ada apa-apa dengan mbak ini. Namun ternyata kehidupan di dalam keluarganya berbeda 180 derajat. Mbak ini terjebak pada situasi antara KDRT dan tak mau mengorbankan kebahagiaan anak. Ya, dia mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Namun dia juga tak bisa melakukan apapun karena dia takut akan merusak kebahagiaan anaknya jika dia ingin berpisah dari suaminya. Di sebuah sudut itu, dia bercerita dengan terisak.
Berbagai pikiran berkecambuk dalam hatiku kala itu. Namun aku tak sanggup untuk berkata apapun karena aku merasa umurku jauh dibawah mereka. Dan aku tak merasakan apa yang mereka rasakan. Namun menurutku, sudut pandang pemikirannya harus diubah. Dia merasa tak bisa berbuat apapun karena dia tak ingin menyakiti anak-anaknya. Namun apakah dia yakin anak-anaknya bahagia ketika orang tuanya saling baku hantam? Akan menjadi sesuatu yang tidak mengenakkan, ketika anak mereka melihat ayah dan ibunya bertengkar dan salah satu pihak memutuskan bertahan dalam pernikahan yg abusiv itu. Karena ditakutkan tertanam dalam benak anak bahwa hal itu wajar. Padahal itu sama sekali tak wajar.
Ah, malam itu tiba-tiba aku tak mampu berkata lagi. Aku tak bisa membayangkan ada pada posisi mereka. Aku bingung, tapi mungkin kesimpulan kecil sementara yang bisa kuambil : "Restu Orang Tua adalah Restu Allah". Mungkin wajar kita berbeda pendapat dengan orang tua, kadang ada sudut pandang orang tua yang sangat berbeda dari sudut pandang kita. Boleh kita ambil jalan yang berbeda dengan keinginan orang tua, namun yang utama adalah pastikan restu dan doa orang tua tercurah untuk kita dalam meyakini jalan yang kita ambil itu.
Pasar malam kembali menulis sebuah pembelajaran untukku. Setelah peristiwa manis berakhir pahit kala itu. Mungkin ini cerita pahit yang mudah-mudahan bisa jadi pembelajaran yang manis untukku kelak. Bianglala di depanku masih bergerak naik turun dalam 1 sumbu yang menyimpul. Mungkin seperti itulah kehidupan, kadang naik kadang turun. Kadang di atas kadang di bawah.
Senin, 13 Juni 2011
Lintang Damar Panuluh
Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...
-
Kalau ada suatu tempat yang selalu ingin saya kunjungi ketika bepergian, tempat itu adalah Pelabuhan & Pantai. Saya suka dengan laut, bi...
-
Kapan kamu pergi jauh untuk pertama kalinya sendiri? Waktu itu tahun 2002 ketika saya belum genap berumur 15 tahun. Baru lulus SMP dan mas...
-
*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (17) kelanjutan dari : Mampir Sekejap ke Padang Suasana nampak mulai...
1 komentar:
bijak!
Posting Komentar