Selasa, 29 Oktober 2013
Sabtu Malam Kemarin
Bahagia adalah saat bisa menyaksikan White Shoes and The Couple Company dan Payung Teduh berdendang dalam satu malam, di satu tempat. Kehujanan dan kehilangan helm tak mampu menepisnya :)
Senin, 16 September 2013
Selamat Boi!
Selepas Idul Fitri bulan lalu, sudah 3 kali saya bertemu dengan sahabat saya, Hilmy. Beberapa hari setelah hari raya, ia datang ke rumah bersama istrinya. Lalu bertemu di Stasiun Purwokerto ketika saya akan kembali ke Jakarta dan terakhir bertemu secara tidak direncanakan di Semarang.
Ada pesan yang saya ingat ketika kami bertemu di Stasiun Purwokerto. Dia berpesan pentingnya tujuan hidup. Kata Hilmy, ada banyak orang yang ngalor ngidul kesana kemari, tapi dia tidak tau sebenarnya apa yang sedang ia cari. Kalimatnya jleb banget bagi saya :)
Beberapa jam setelah kami bertemu di Semarang, ia mengirimkan sebuah pesan pendek yang memberitahukan bahwa istrinya sedang mengandung. Selamat Boi! :)
Ada pesan yang saya ingat ketika kami bertemu di Stasiun Purwokerto. Dia berpesan pentingnya tujuan hidup. Kata Hilmy, ada banyak orang yang ngalor ngidul kesana kemari, tapi dia tidak tau sebenarnya apa yang sedang ia cari. Kalimatnya jleb banget bagi saya :)
Beberapa jam setelah kami bertemu di Semarang, ia mengirimkan sebuah pesan pendek yang memberitahukan bahwa istrinya sedang mengandung. Selamat Boi! :)
Jakarta Yang Bergairah?
Sudah lama saya tidak menulis disini. Lebih tepatnya, sudah lama saya tidak menulis. Hanya beberapa postingan dalam setahun ini. Hampir tepat 1 tahun saya memasuki pekerjaan baru saya di Jakarta. Pekerjaan yang menuntut saya untuk bepergian dari kota ke kota, juga melewati malam demi malam tanpa mata terpejam.
Sudah 3 bulan ini saya berpindah tempat tinggal. Setelah hampir 2,5 tahun tinggal di Jakarta Pusat, tengah kota yang hanya 'selemparan batu' dari Monumen Nasional dan dekat dengan fasilitas apapun. Kini saya tinggal di selatan Jakarta. Pertimbangan memutuskan untuk pindah adalah karena saya ingin lebih dekat dari kantor. Memangkas jarak ke kantor yang tadinya hampir 1 jam menjadi beberapa menit saja.
Nampak nyaman pada awalnya, namun ada 1 hal mendasar yang berubah. Jakarta Pusat dengan selatan Jakarta ternyata sangat berbeda. Dari lingkungan, lalu lintas dan fasilitas. Saya kehilangan Jakarta yang bergairah. Yang ketika semua orang berharap bisa meninggalkan Jakarta, namun saya malah merasa nyaman mendiami Jakarta. Saya kehilangan Jakarta, yang ketika saya begitu penat dengan rutinitas pekerjaan, saya bisa pergi ke museum, taman bermain, perpustakaan nasional, dan toko buku hanya dengan berjalan kaki. Saya kehilangan Jakarta dimana saya hanya perlu berjalan sebentar untuk menjangkau halte bus atau stasiun. Saya kehilangan Jakarta, tempat dimana setiap hari saya menunggu Trans Jakarta untuk pergi ke kantor dan bertemu dengan banyak karakter dalam perjalanannya. Berganti-ganti dan terus menerus setiap hari. Saya kehilangan Jakarta yang saya impikan, saat ini.
Namun, dilain sisi, Jakarta membuat saya menjadi seorang pengeluh, seperti dalam tulisan ini ;)
Sudah 3 bulan ini saya berpindah tempat tinggal. Setelah hampir 2,5 tahun tinggal di Jakarta Pusat, tengah kota yang hanya 'selemparan batu' dari Monumen Nasional dan dekat dengan fasilitas apapun. Kini saya tinggal di selatan Jakarta. Pertimbangan memutuskan untuk pindah adalah karena saya ingin lebih dekat dari kantor. Memangkas jarak ke kantor yang tadinya hampir 1 jam menjadi beberapa menit saja.
Nampak nyaman pada awalnya, namun ada 1 hal mendasar yang berubah. Jakarta Pusat dengan selatan Jakarta ternyata sangat berbeda. Dari lingkungan, lalu lintas dan fasilitas. Saya kehilangan Jakarta yang bergairah. Yang ketika semua orang berharap bisa meninggalkan Jakarta, namun saya malah merasa nyaman mendiami Jakarta. Saya kehilangan Jakarta, yang ketika saya begitu penat dengan rutinitas pekerjaan, saya bisa pergi ke museum, taman bermain, perpustakaan nasional, dan toko buku hanya dengan berjalan kaki. Saya kehilangan Jakarta dimana saya hanya perlu berjalan sebentar untuk menjangkau halte bus atau stasiun. Saya kehilangan Jakarta, tempat dimana setiap hari saya menunggu Trans Jakarta untuk pergi ke kantor dan bertemu dengan banyak karakter dalam perjalanannya. Berganti-ganti dan terus menerus setiap hari. Saya kehilangan Jakarta yang saya impikan, saat ini.
Namun, dilain sisi, Jakarta membuat saya menjadi seorang pengeluh, seperti dalam tulisan ini ;)
Senin, 25 Maret 2013
De Javu di Bandar Lampung
Semuanya serba terburu-buru.
Beberapa saat setelah pesawat lepas landas, masih dalam keadaan badan pesawat yang miring ke atas karena pesawat baru ‘menanjak’ naik. Pramugari dengan susah payah mendorong ke depan sebuah trolly berisi roti dan air mineral untuk dibagikan kepada penumpang. Ya, semuanya serba terburu-buru karena belum genap 30 menit penerbangan ini, pilot memberitahukan bahwa pesawat akan segera mendarat.
Tak lebih dari 30 menit akhirnya pesawat mendarat dengan goncangan yang keras karena landasan di lapangan terbang ini tidak terlalu panjang. Panas terik menyambut begitu saya turun dari pesawat. Lalu masuk ke dalam ruang pengambilan bagasi yang begitu kecil dan pengap. Bahkan loket pemesanan taksi juga ada di ruangan yang sama. Bagasi datang begitu lambat, bahkan lebih lama dari penerbangannya. Hahaha. Sampai kemudian saya mengambil tas dan bergegas keluar dari ruangan yang penuh sesak itu.
Selamat datang di Bandar Lampung.
Dari bandara, perlahan taksi menuju ke tengah kota. Saya memandang jauh ke luar. Dalam hati bergumam bahwa saya sebenarnya tidak ingin datang ke kota ini. Sampai kemudian lamunan saya terhenti ketika saya melihat sebuah terminal bus di pinggir jalan bertuliskan ‘Terminal Rajabasa’. Ya, saya pernah memiliki sepenggal kenangan di terminal itu bersama Melyn dan Hilmy. Tak jauh dari terminal itu, di kiri jalan saya melihat sebuah bangunan yang tidak asing bagi saya, ‘Museum Lampung’. Saya mengingat moment numpang mandi di dalamnya.
Taksi terus melaju dan dalam perjalanan ke tempat menginap saya, taksi ini juga melewati ‘Stasiun Tanjung Karang’. Tiba-tiba, saya seperti terbawa mesin waktu, mengingat banyak moment di stasiun itu. Tak jauh dari stasiun, taksi tepat berhenti di depan hotel. Saya bergegas masuk dan setelah ribet dengan segala macam administrasinya akhirnya saya bisa tidur di kamar.
Malam selepas maghrib, saya keluar dari hotel untuk mencari makan. Di dekat hotel, ada sebuah tempat makan di sebuah ruko yang memikat saya karena tempatnya yang ramai. Saya masuk ke dalamnya dan sesaat kemudian saya seperti kembali ditarik ke dalam mesin waktu. Saya seperti merasa pernah ada di tempat ini. Sampai kemudian saya teringat bahwa saya, Melyn dan Hilmy pernah diajak makan disini oleh Febs.
Tuhan maha asik. Dulu, saya pernah singgah di kota ini dan tidak ingin kembali ke kota ini lagi. Tapi Tuhan mengirimkan saya ke kota ini lagi. Lalu saya bertemu dengan serpihan-serpihan kenangan ketika dulu saya pernah singgah di sini. Bahkan secara tidak sengaja makan di tempat dahulu saya makan siang untuk pertama kalinya di kota ini.
Tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan kan?
Beberapa saat setelah pesawat lepas landas, masih dalam keadaan badan pesawat yang miring ke atas karena pesawat baru ‘menanjak’ naik. Pramugari dengan susah payah mendorong ke depan sebuah trolly berisi roti dan air mineral untuk dibagikan kepada penumpang. Ya, semuanya serba terburu-buru karena belum genap 30 menit penerbangan ini, pilot memberitahukan bahwa pesawat akan segera mendarat.
Tak lebih dari 30 menit akhirnya pesawat mendarat dengan goncangan yang keras karena landasan di lapangan terbang ini tidak terlalu panjang. Panas terik menyambut begitu saya turun dari pesawat. Lalu masuk ke dalam ruang pengambilan bagasi yang begitu kecil dan pengap. Bahkan loket pemesanan taksi juga ada di ruangan yang sama. Bagasi datang begitu lambat, bahkan lebih lama dari penerbangannya. Hahaha. Sampai kemudian saya mengambil tas dan bergegas keluar dari ruangan yang penuh sesak itu.
Selamat datang di Bandar Lampung.
Dari bandara, perlahan taksi menuju ke tengah kota. Saya memandang jauh ke luar. Dalam hati bergumam bahwa saya sebenarnya tidak ingin datang ke kota ini. Sampai kemudian lamunan saya terhenti ketika saya melihat sebuah terminal bus di pinggir jalan bertuliskan ‘Terminal Rajabasa’. Ya, saya pernah memiliki sepenggal kenangan di terminal itu bersama Melyn dan Hilmy. Tak jauh dari terminal itu, di kiri jalan saya melihat sebuah bangunan yang tidak asing bagi saya, ‘Museum Lampung’. Saya mengingat moment numpang mandi di dalamnya.
Taksi terus melaju dan dalam perjalanan ke tempat menginap saya, taksi ini juga melewati ‘Stasiun Tanjung Karang’. Tiba-tiba, saya seperti terbawa mesin waktu, mengingat banyak moment di stasiun itu. Tak jauh dari stasiun, taksi tepat berhenti di depan hotel. Saya bergegas masuk dan setelah ribet dengan segala macam administrasinya akhirnya saya bisa tidur di kamar.
Malam selepas maghrib, saya keluar dari hotel untuk mencari makan. Di dekat hotel, ada sebuah tempat makan di sebuah ruko yang memikat saya karena tempatnya yang ramai. Saya masuk ke dalamnya dan sesaat kemudian saya seperti kembali ditarik ke dalam mesin waktu. Saya seperti merasa pernah ada di tempat ini. Sampai kemudian saya teringat bahwa saya, Melyn dan Hilmy pernah diajak makan disini oleh Febs.
Tuhan maha asik. Dulu, saya pernah singgah di kota ini dan tidak ingin kembali ke kota ini lagi. Tapi Tuhan mengirimkan saya ke kota ini lagi. Lalu saya bertemu dengan serpihan-serpihan kenangan ketika dulu saya pernah singgah di sini. Bahkan secara tidak sengaja makan di tempat dahulu saya makan siang untuk pertama kalinya di kota ini.
Tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan kan?
Senin, 21 Januari 2013
Pilihan?
Saya menikmati moment seperti ini.
Mengisi Minggu Sore dengan duduk di lantai paling atas kost
tempat saya tinggal. Membaca buku-buku yang tidak bisa saya baca di hari biasa.
Lalu melihat turunnya senja di langit Jakarta. Mungkin tak seindah senja di depan
rumah saya di kampung. Tapi saya sedang belajar bahwa segala sesuatu tidak
semuanya harus memiliki pembanding (juga diperbandingkan). Segala sesuatu
memiliki sisinya sendiri, -juga memiliki alasan tersendiri barangkali-. Meski
seperti yang pernah aku bilang kepada dia, tidak semua hal di dunia ini
membutuhkan alasan. Meskipun akibat selalu berawalan dengan sebab.
Dari tempat duduk saya ini, saya bisa melihat lantai 3 kost
depan. Dimana setiap Minggu Sore saya selalu melihat ada sepasang lelaki dan
wanita duduk berbincang di beranda kost mereka. Saya tidak tau (atau tidak
mendengar) apa yang mereka perbincangkan meski sorot mata mereka sudah
menerjemahkan apa yang mereka perbincangkan (saya sok tau untuk yang satu
ini). Lalu perbicangan antara mereka akan
di tutup dengan pelukan serta ciuman mesra di bibir dan kening sang wanita.
Sang wanita lalu mencium tangan sang pria ketika mereka berjabat setelah itu.
Sang Pria lalu turun memanggul ranselnya ke lantai bawah,
mengambil motornya di parkiran. Dari atas balkon lantai 3, wanita itu menunggu
sambil memandang terus ke bawah. Ketika
sang pria sudah berjalan menjauh dan tak nampak lagi punggungnya, wanita itu
baru beranjak masuk ke dalam kamarnya. Sederhana, namun ‘dalam’. Dan sepenggal kejadian itu akan terulang
lagi di hari minggu-minggu berikutnya, dan sepertinya saya sudah mulai terbiasa
untuk terbawa ritme, diantara perpisahan sementara mereka setiap minggunya.
Ada Sabtu dimana
mereka bertemu, ada Minggu ketika mereka terpisah. Itu masalah pilihan.
Baru kemarin saya menyelesaikan bacaan Novel ‘Pulang’. Ada
karakter yang membekas sekali dengan saya, membaca karakternya saya seperti
membaca karakter saya sendiri. Saya sangat berterima kasih dengan penulis novel
itu karena setidaknya saya bisa kembali memasuki hidup saya lebih dalam lagi. Seperti berkaca, barangkali. Dan yang
paling membekas dari novel itu adalah sepenggal surat dari Dimas Suryo (tokoh
di novel itu) kepada anaknya, Lintang Utara. Ah, dalam sekali surat itu. Kamu
tentu tau kenapa.
Senja kini turun dengan cantiknya, selepas hari-hari gelap
belakangan ini di Jakarta. Banjir sempat menyeruak di kost tempat saya tinggal.
Ah, rasanya Januari semakin absurd bagi saya. Dan kini sudah mendekati akhir
Januari, kamu tentu ingat percakapan kita tentang akhir Januari kan? Melihat
senja seperti ini, saya rindu masa lalu. Bukan masa lalu penuh kegelapan itu,
tentunya.
Ijinkan saya mengutip sebuah kalimat diakhir novel Pulang,
“.. Lebih mudah untuk tidak memilih, seolah tak ada konsekuensi. Tetapi seperti
katamu, memilih adalah jalan hidup yang berani.”
Kamis, 10 Januari 2013
Bahagia
Bahkan selepas maghrib, kota ini masih panas.
Bersama seorang kawan kerja, saya duduk di sebuah pojokan tempat makan. Sambil duduk menunggu pesanan, saya sibuk dengan hp saya. Sedangkan teman saya nampaknya sedang menerima telepon dari istrinya. Untuk sementara waktu ia dan istrinya memang terpisah karena ia harus mengerjakan project disini, sedang istrinya ada di rumah mereka yang berbeda kota.
Tiba-tiba saya lihat, teman saya yang masih menerima telepon ini matanya berkaca-kaca. Ah rupanya kabar baik menghampirinya, ia mendapat kabar bahwa istrinya mengandung anak pertama mereka. Anak pertama pernikahan mereka 4 bulan lalu. Oh, rupanya, matanya nampak berkaca-kaca karena bahagia.
Saya belum pernah merasakan perasaan seperti itu. Tapi pastinya bahagia ya?
Surabaya, awal Desember 2012
Bersama seorang kawan kerja, saya duduk di sebuah pojokan tempat makan. Sambil duduk menunggu pesanan, saya sibuk dengan hp saya. Sedangkan teman saya nampaknya sedang menerima telepon dari istrinya. Untuk sementara waktu ia dan istrinya memang terpisah karena ia harus mengerjakan project disini, sedang istrinya ada di rumah mereka yang berbeda kota.
Tiba-tiba saya lihat, teman saya yang masih menerima telepon ini matanya berkaca-kaca. Ah rupanya kabar baik menghampirinya, ia mendapat kabar bahwa istrinya mengandung anak pertama mereka. Anak pertama pernikahan mereka 4 bulan lalu. Oh, rupanya, matanya nampak berkaca-kaca karena bahagia.
Saya belum pernah merasakan perasaan seperti itu. Tapi pastinya bahagia ya?
Lintang Damar Panuluh
Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...

-
Peta di atas adalah ruteku jika ingin pulang dari Semarang ke Wonosobo. Biasanya lewat jalur yang warnanya merah. Berhubung bosen lewat jala...
-
Kapan kamu pergi jauh untuk pertama kalinya sendiri? Waktu itu tahun 2002 ketika saya belum genap berumur 15 tahun. Baru lulus SMP dan mas...
-
Kalau ada suatu tempat yang selalu ingin saya kunjungi ketika bepergian, tempat itu adalah Pelabuhan & Pantai. Saya suka dengan laut, bi...