Senin, 21 Januari 2013

Pilihan?


Saya menikmati moment seperti ini.

Mengisi Minggu Sore dengan duduk di lantai paling atas kost tempat saya tinggal. Membaca buku-buku yang tidak bisa saya baca di hari biasa. Lalu melihat turunnya senja di langit Jakarta. Mungkin tak seindah senja di depan rumah saya di kampung. Tapi saya sedang belajar bahwa segala sesuatu tidak semuanya harus memiliki pembanding (juga diperbandingkan). Segala sesuatu memiliki sisinya sendiri, -juga memiliki alasan tersendiri barangkali-. Meski seperti yang pernah aku bilang kepada dia, tidak semua hal di dunia ini membutuhkan alasan. Meskipun akibat selalu berawalan dengan sebab.

Dari tempat duduk saya ini, saya bisa melihat lantai 3 kost depan. Dimana setiap Minggu Sore saya selalu melihat ada sepasang lelaki dan wanita duduk berbincang di beranda kost mereka. Saya tidak tau (atau tidak mendengar) apa yang mereka perbincangkan meski sorot mata mereka sudah menerjemahkan apa yang mereka perbincangkan (saya sok tau untuk yang satu ini).  Lalu perbicangan antara mereka akan di tutup dengan pelukan serta ciuman mesra di bibir dan kening sang wanita. Sang wanita lalu mencium tangan sang pria ketika mereka berjabat setelah itu.

Sang Pria lalu turun memanggul ranselnya ke lantai bawah, mengambil motornya di parkiran. Dari atas balkon lantai 3, wanita itu menunggu sambil memandang terus ke bawah.  Ketika sang pria sudah berjalan menjauh dan tak nampak lagi punggungnya, wanita itu baru beranjak masuk ke dalam kamarnya. Sederhana, namun  ‘dalam’. Dan sepenggal kejadian itu akan terulang lagi di hari minggu-minggu berikutnya, dan sepertinya saya sudah mulai terbiasa untuk terbawa ritme, diantara perpisahan sementara mereka setiap minggunya.

Ada Sabtu dimana mereka bertemu, ada Minggu ketika mereka terpisah. Itu masalah pilihan.

Baru kemarin saya menyelesaikan bacaan Novel ‘Pulang’. Ada karakter yang membekas sekali dengan saya, membaca karakternya saya seperti membaca karakter saya sendiri. Saya sangat berterima kasih dengan penulis novel itu karena setidaknya saya bisa kembali memasuki hidup saya lebih dalam lagi. Seperti berkaca, barangkali. Dan yang paling membekas dari novel itu adalah sepenggal surat dari Dimas Suryo (tokoh di novel itu) kepada anaknya, Lintang Utara. Ah, dalam sekali surat itu. Kamu tentu tau kenapa.

Senja kini turun dengan cantiknya, selepas hari-hari gelap belakangan ini di Jakarta. Banjir sempat menyeruak di kost tempat saya tinggal. Ah, rasanya Januari semakin absurd bagi saya. Dan kini sudah mendekati akhir Januari, kamu tentu ingat percakapan kita tentang akhir Januari kan? Melihat senja seperti ini, saya rindu masa lalu. Bukan masa lalu penuh kegelapan itu, tentunya. 

Ijinkan saya mengutip sebuah kalimat diakhir novel Pulang, “.. Lebih mudah untuk tidak memilih, seolah tak ada konsekuensi. Tetapi seperti katamu, memilih adalah jalan hidup yang berani.”

Tidak ada komentar:

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...