Saya menikmati moment seperti ini.
Mengisi Minggu Sore dengan duduk di lantai paling atas kost
tempat saya tinggal. Membaca buku-buku yang tidak bisa saya baca di hari biasa.
Lalu melihat turunnya senja di langit Jakarta. Mungkin tak seindah senja di depan
rumah saya di kampung. Tapi saya sedang belajar bahwa segala sesuatu tidak
semuanya harus memiliki pembanding (juga diperbandingkan). Segala sesuatu
memiliki sisinya sendiri, -juga memiliki alasan tersendiri barangkali-. Meski
seperti yang pernah aku bilang kepada dia, tidak semua hal di dunia ini
membutuhkan alasan. Meskipun akibat selalu berawalan dengan sebab.
Dari tempat duduk saya ini, saya bisa melihat lantai 3 kost
depan. Dimana setiap Minggu Sore saya selalu melihat ada sepasang lelaki dan
wanita duduk berbincang di beranda kost mereka. Saya tidak tau (atau tidak
mendengar) apa yang mereka perbincangkan meski sorot mata mereka sudah
menerjemahkan apa yang mereka perbincangkan (saya sok tau untuk yang satu
ini). Lalu perbicangan antara mereka akan
di tutup dengan pelukan serta ciuman mesra di bibir dan kening sang wanita.
Sang wanita lalu mencium tangan sang pria ketika mereka berjabat setelah itu.
Sang Pria lalu turun memanggul ranselnya ke lantai bawah,
mengambil motornya di parkiran. Dari atas balkon lantai 3, wanita itu menunggu
sambil memandang terus ke bawah. Ketika
sang pria sudah berjalan menjauh dan tak nampak lagi punggungnya, wanita itu
baru beranjak masuk ke dalam kamarnya. Sederhana, namun ‘dalam’. Dan sepenggal kejadian itu akan terulang
lagi di hari minggu-minggu berikutnya, dan sepertinya saya sudah mulai terbiasa
untuk terbawa ritme, diantara perpisahan sementara mereka setiap minggunya.
Ada Sabtu dimana
mereka bertemu, ada Minggu ketika mereka terpisah. Itu masalah pilihan.
Baru kemarin saya menyelesaikan bacaan Novel ‘Pulang’. Ada
karakter yang membekas sekali dengan saya, membaca karakternya saya seperti
membaca karakter saya sendiri. Saya sangat berterima kasih dengan penulis novel
itu karena setidaknya saya bisa kembali memasuki hidup saya lebih dalam lagi. Seperti berkaca, barangkali. Dan yang
paling membekas dari novel itu adalah sepenggal surat dari Dimas Suryo (tokoh
di novel itu) kepada anaknya, Lintang Utara. Ah, dalam sekali surat itu. Kamu
tentu tau kenapa.
Senja kini turun dengan cantiknya, selepas hari-hari gelap
belakangan ini di Jakarta. Banjir sempat menyeruak di kost tempat saya tinggal.
Ah, rasanya Januari semakin absurd bagi saya. Dan kini sudah mendekati akhir
Januari, kamu tentu ingat percakapan kita tentang akhir Januari kan? Melihat
senja seperti ini, saya rindu masa lalu. Bukan masa lalu penuh kegelapan itu,
tentunya.
Ijinkan saya mengutip sebuah kalimat diakhir novel Pulang,
“.. Lebih mudah untuk tidak memilih, seolah tak ada konsekuensi. Tetapi seperti
katamu, memilih adalah jalan hidup yang berani.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar