“Kita Bukan Hanya Tukang Telepon”
Langit kota petang ini kurang bersahabat. Rintik – rintik gerimis menambah keheningan suasana. Tidak hanya hening, namun kesepian yang sangat menyayat.
Disaat – saat seperti ini biasanya aku teringat my memory place, Semarang. Pikiranku melayang mengarungi sejuta kenangan yang begitu mempesona di sana. Malam minggu yang indah terpampang di sana. Malam minggu yang cerah dengan senyum yang mengembang, dandanan ala “ De Porras “, sisiran jambul versi Indra L Bruggman. Sangat Perfect !
Bersama orang – orang yang sangat dekat. Dengan candaan2 kecil yang penuh makna. Sungguh berarti.
Kami selalu bercerita tentang pekerjaan kami. Tak pernah ada keluh kesah kami, yang hanya ada luapan kegembiraan untuk melupakan sejenak rutinitas kami yang bagi kebanyakan pemuda lain di perkotaan adalah pekerjaan yang “memalukan”. Tiap hari ditengah terik matahari yang sangat menyengat. Harus mengetok pintu rumah pelanggan yang kadangkala hanya disambut dengan longlongan anjing, dengan sikap cuek pemilik rumah yang tak percaya, anak – anak kecil seperti kami bisa perbaiki telepon rumah mereka. Dengan langkah gontai kami masuk ke rumah untuk mencari kerusakan. Kadang kala keberuntungan berpihak kepada kami, kerusakan hanya terletak di instalasi rumah saja. Namun lebih banyak kerusakan terletak di luar rumah. Kalau sudah begitu, alamat buruk bagi kami. Kami harus menurunkan tangga besi yang beratnya mungkin hampir sama dengan berat tubuh kami. Memikulnya dari tiang ke tiang, memanjat tiang satu persatu mencari sumber kerusakan. Hanya mencari kabel putus dan menyambungnya. Sangat sederhana !!! Walaupun setiap malam pundak kami serasa sakit karena seharian terus menerus mengangkat tangga. Dengan keringat dan wajah yang tidak berbentuk tentunya.
Kadang kala kami harus buang muka karena malu pada saat memikul tangga besi itu bertemu dengan seseorang yang sebaya dengan kami. Dengan pemuda – pemudi harapan bangsa, mereka yang tiap hari bergelut dengan buku dengan status yang membanggakan, MAHASISWA. Sedangkan kami, hanya “ tukang telepon “ yang begitu miris dengan sebutan “ Tenaga Lepas Harian “. Sebutan yang kami dapat dari kantor tempat kami bekerja. Bagaimana pelanggan bisa menghargai kami, sedangkan orang-orang yang memperkerjakan kami hanya menganggap kami dengan kalimat yang sangat jauh dari layak, Tenaga Lepas Harian. Mungkin mereka menganggap kami hanya orang-orang remeh, yang hanya punya keahlian menyambung kabel. Itu saja ! Tidak lebih !. Tak ubahnya seorang robot yang dikendalikan oleh tuannya, memakai seragam seperti tuannya saja kami dimarahi. Mungkin tidak selevel menurutnya. Dengan bayaran tak lebih dari seorang buruh tani di kampung. Benar-benar tidak dianggap. Hanya sekedar mempunyai ID Card tanda pekerja pun kami harus menunggu satu tahun lamanya. Dengan syarat-syarat yang berbelit pula.
“Perusahaan macam apa ini ?” Begitu kami bertanya.
Pejabat-pejabat di kantor dengan enaknya mamakai mobil-mobil dinas mewah, hidup berkecukupan, berlagak sok penting, yang bisa seenaknya mengatur bawahan dan menyalahkan bawahan tanpa mereka tau betapa berat setiap hari harus disengat matahari, diguyur hujan, kadang dicerca pelanggan.
Teringat sebuah lirik lagu yang mungkin menggambarkan kedzoliman mereka :
“ …tawa lepasmu, adalah tangisanku…
rumah mewahmu adalah deritaku…
kebodohan ini harus segera diakhiri…
sebelum aku benar-benar mati… “
Ups, mungkin pekerjaan yang membuat orang tua kami tidak rela jika mereka melihatnya.
Namun kami berusaha melewatinya dengan senang, mungkin kami menganggap pekerjaan itu sebagai pembelajaran buat diri kami. Bagaimana setiap hari kami harus bertemu dengan puluhan orang dengan jutaan karakter tentunya. Kadang dengan pujian, senyuman dan ucapan terima kasih namun lebih banyak pula yang menganggap kita sebagai angin lalu. Apa berartinya anak muda “ tukang telepon “ seperti kami.
Yup, dimalam minggu seperti inilah kami biasanya melepas penat, melupakan semua itu, walaupun dengan canda-canda kecil tanpa arah yang senangkan lubuk hati kami…
Kami tidak akan pernah kecewa dengan apa yang kami peroleh, kami harus bersyukur dengan semuanya. Jutaan orang belum bisa menikmati pekerjaan di negeri ini…
Beruntunglah kami, walaupun kami hanya “ tukang telepon “. Kami tidak akan malu dengan pekerjaan kami karena pekerjaan kami bukan KORUPTOR, PERAMPOK, PENCURI, ataupun orang-orang flamboyant yang mengaku dirinya PEJABAT namun tak ubahnya seorang PENINDAS RAKYAT !!!
--------------------------------------------------------------------------------------
Friends, walaupun aku sudah tidak ikut berjuang bersama kalian disitu. Percayalah, hatiku tak akan bisa lepas dari kalian. Jangan malu pada pekerjaan kalian. Kalian adalah guru terbaik untukku.
Tetap Semangat friends.
Aku disini tidak hanya akan berjuang untuk diriku sendiri. Aku akan berjuang dan terus berjuang disini untuk kalian juga.
Kita harus buktikan pada semua orang kalau kita bukan hanya bisa menyambung kabel. Suatu saat kita akan SUKSES. Bukan hanya menjadi tukang telepon. Kita akan jadi BOS-nya telepon.
Jangan Pernah Menyerah !!!!!!
-----------------------------------------
aku selalu rindu semarang…
rindu panasnya…
rindu dinginnya…
rindu suasananya…
rindu aroma congyang-nya…
-----------------------------------------
Lintang Damar Panuluh
Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...
-
Kalau ada suatu tempat yang selalu ingin saya kunjungi ketika bepergian, tempat itu adalah Pelabuhan & Pantai. Saya suka dengan laut, bi...
-
Kapan kamu pergi jauh untuk pertama kalinya sendiri? Waktu itu tahun 2002 ketika saya belum genap berumur 15 tahun. Baru lulus SMP dan mas...
-
*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (17) kelanjutan dari : Mampir Sekejap ke Padang Suasana nampak mulai...
1 komentar:
mas, percaya aja mas,
semuanya itu yang terbaik..
semangat yah..
Posting Komentar