Rabu, 07 Maret 2012

Sepenggal Kisah di Kereta Palembang - Muara Enim

*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (6)

kelanjutan dari : Menapak Palembang dari Sudut Jembatan Ampera

Dari Palembang ke Muara Enim

Selepas kemarin seharian menghabiskan waktu di Palembang dan beristirahat semalam, pagi ini kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan kami. Rute hari ini, dari Palembang menuju Tanjung Enim kemudian lanjut lagi ke Bengkulu. Di Tanjung Enim kami akan mampir ke teman kami yang tinggal disana.

Pagi ini kami beranjak pergi ke Stasiun Kertapati Palembang. Dari rumah kerabat Hilmy tempat kami menginap, kami pamit. Kemudian melanjutkan perjalanan kami menggunakan Trans Musi. Karena jalur Trans Musi tidak ada yang melewati Stasiun Kertapati, maka kami berhenti di sebuah halte untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke stasiun dengan sebuah bus kota. Berbeda dengan bus kota pertama yang kami pakai di Palembang kemarin, bus yang ini nampak lebih ‘ramai’. Kondisi bus meski tidak bagus, namun jauh lebih nyaman karena dijaga kebersihannya. Di langit-langit bus di pasang banyak hiasan kartun-kartun berwarna pink yang lucu.

Musik yang diputar didalam bus sangat keras. Lagu dangdut yang berpadu dengan disco. Kami duduk di jok panjang paling belakang. Tetapi aneh, karena setiap hentakan musik yang keras di dalam bus, selalu kami rasakan juga di (maaf) pantat kami. Usut punya usut, setelah kami lihat ternyata di bawah jok yang kami duduki ini adalah loadspeaker yang besar yang saking kerasnya suara, getarannya sampai di pantat kami. 

Lagu yang diputar adalah lagu Cinta Satu Malam yang dibuat disco. Sehingga setiap alunan music yang ‘jedug jedug jedug’, getarannya akan menjadi ‘jedug jedug jedug’ pula menekan pantat kami. Kami tertawa-tawa masih sambil merasakan sensasi getaran ini. Mungkin bagi kawan yang punya masalah susah buang air besar, cobalah naik bus ini dan duduk di jok belakang. Keluar dari bus dijamin lancer buang air besar!

Keluar dari bus kami kemudian menuju ke loket pembelian tiket di Stasiun. Pagi ini kami berencana untuk naik kereta ekonomi tujuan Lubuk Linggau, namun kami akan turun di stasiun Muara Enim. Sesampai di loket kami agak khawatir kalau tiket habis, namun rupanya keberuntungan berpihak kepada kami. Masih ada 3 tiket tersisa meskipun salah satu tiketnya duduknya harus berjauhan tetapi masih dalam satu gerbong.

Sampai di dalam gerbong, Hilmy kembali mengalah untuk duduk terpisah dari saya dan Melyn. Suasana kereta begitu panas dan sesak, mungkin karena ini hari Minggu sehingga banyak orang bepergian. Seperti layaknya kereta ekonomi, para penumpang duduk saling berhadapan. Jarak yang sempit memaksa kaki kita harus bersenggolan dengan kaki orang yang duduk di depan kita. Saya dan Melyn mendapat kursi yang menghadap ke belakang sehingga di perjalanan nanti kami harus duduk mundur. 

Saya duduk di ujung dekat jendela, Melyn di tengah, serta ada laki-laki setengah baya di samping kanannya. Duduk di sebelah depan saya, suami istri yang sudah tua, istri duduk di sampung jendela persis di depan saya, suaminya duduk di tengah di depan Melyn, serta di sebelahnya lagi seorang bapak tua.

Laki-laki disebelah Melyn mengira kami membeli tiket dari calo begitu saya bilang kami beli tiket di loket dan baru saja beli tidak lama sebelum kereta berangkat. Dia bilang biasanya kalau beli tiket dan dapat duduknya terpisah-pisah itu belinya di calo. Saya menjelaskan kepadanya, bahwa kami baru saja beli di loket dan masih tersisa 3 tiket meskipun memang terpisah.

Dari obrolan berikutnya antara dia dan beberapa penumpang lain, saya baru tau kalau pembelian tiketnya katanya susah. Harus pesan beberapa hari dulu atau terpaksa beli di calo jika tiket di loket sudah habis. Jadi orang itu setengah tidak percaya kami mendapat tiket dengan mudah tanpa lewat calo. Dalam hati saya hanya bisa bersyukur, beruntungnya kami mendapat kemudahan. Beli hanya beberapa menit sebelum keberangkatan di loket, dan tiket masih tersisa untuk kami.
Kereta mulai berjalan perlahan meninggalkan Palembang. Yang saya lihat di luar hanya lahan-lahan kosong yang penuh dengan rumput dan beberapa rawa. Panas terik menghiasi perjalanan kami ini. Tangan tak pernah jauh dari selembar kertas untuk sekedar berkipas. Kereta penuh sesak, panas dan pengap.

Suami istri yang duduk di depan saya juga merasakan panas sepertinya. Tangan ibu yang duduk di depan saya ini terus mengibaskan kipasnya sambil bercakap dengan suaminya yang duduk di tengah. Mereka bercakap dengan bahasa jawa yang dialegnya tidak asing bagi saya. Beberapa saat kemudian beliau membuka percakapan menanyakan tujuan kami akan pergi kemana. Saya menjawab pertanyaannya dengan bahasa jawa juga. Suasana kemudian menjadi lebih cair. Saya mengobrol dengan mereka berdua menggunakan bahasa jawa kromo untuk orang yang lebih tua. Melyn di sebelah saya hanya duduk sambil senyum-senyum saja karena tidak terlalu banyak menguasai Bahasa Jawa.

Dari obrolan ini saya baru tau bahwa mereka akan pulang ke rumah mereka di Lubuk Linggau setelah semalam pentas siaran wayang kulit di sebuah stasiun radio di Palembang. Bapak ini adalah seorang dalang. Beliau dan istrinya ini berasal dari Yogyakarta namun pindah ke Sumatra ini. Meskipun jauh dari kampung halaman di  Yogyakarta, bapak dan komunitasnya masih mempertahankan budaya asal mereka di Jawa untuk tetap berkembang termasuk di tanah perantauan mereka di Sumatra. 

Nampaknya tradisi wayang kulit juga berkembang di daerah Sumatra dibawa oleh para perantau Jawa yang ada di Sumatra. Bukan hanya wayang kulit, namun berbagai kesenian Jawa seperti Campursari, Gending Jawa, Tayub, dan Ketoprak. 

Kereta terus melaju dan panas membuat kami sedikit terkantuk. Bapak dan Ibu yang duduk di depan saya ini mulai tertidur, meskipun sang istri tidak sepenuhnya tidur karena setiap bapaknya terbangun selalu ikut bangun untuk menawarkan minum kepada suaminya. Lalu jika suaminya ingin minum, langsung dituangkannya minum dari termos yang mereka bawa. Ah, di usia yang sudah tak muda, pasangan di depan saya ini sungguh romantis.

Layaknya kereta ekonomi pada umumnya. Banyak sekali pedagang asongan di kereta ini. Dari yang umum seperti jualan minuman dan makanan ringan sampai ada yang jualan wingko babat! Tentu yang jual juga menggunakan bahasa jawa. Namun yang menarik perhatian saya adalah banyaknya perempuan yang menjajakan sawo matang. Entah karena daerah ini penghasil buah sawo atau didatangkan dari daerah lain.

Selain pedagang, kereta ini juga dipenuhi dengan banyaknya pengamen yang mengamen secara berkelompok. Datang silih berganti dari satu kelompok ke kelompok lain. Sepanjang jalan hampir ada pengamen yang menyanyi di gerbong ini. Tapi yang membuat heran adalah lagu yang mereka nyanyikan sama. Sama-sama lagu menye-menye! Entah saya yang tidak update dengan lagu jaman sekarang atau emang lagunya yang tidak terkenal, lagunya sungguh benar-benar membuat saya ingin menutup telinga. Padahal suara pengamen dan kemampuan musik pengamen di kereta ini bagus-bagus. Sayangnya lagunya kok ya yang model seperti itu. Lama-lama saya gemes juga, lalu saya pasang headset di telinga kemudian menyalakan musik dari hp saya. Tiba-tiba sepenggal lirik lagu Jangan Ada Luka - Nicky Astria menggema di telinga saya. 

Ohh.. Rindu..
Rindu lagu tentang ketegaran jiwa
Ohh.. Jiwa
Jiwa yang menggeliat bukan gelisah

***

Kereta beberapa kali berhenti dari stasiun ke stasiun. Beberapa kali berhenti juga ketika harus bersinggungan dengan kereta pengangkut batubara. Perjalanan panas, sementara kaki harus bersesakan dengan penumpang lain. Di luar ya nampak hanya kebun yang gersang dan terik. Sungguh ini pengalaman yang tak ternilai harganya. Naik kereta ekonomi menyusuri daerah tengah yang membelah Sumatra Selatan. Keberuntungan mendapatkan tiket, bertemu dengan suami istri dari Jawa, pengamen lagu menye-menye.

Setelah 4 jam berlalu akhirnya sampai juga kami di Stasiun Muara Enim. Saya menjabat tangan dan berpamitan dengan bapak ibu di depan saya. Sang Ibu berpesan dengan tutur kata yang lembut untuk berhati-hati di perjalanan dan diberikan kemudahan. Mungkin itulah pertemuan pertama dan terakhir kami. Pertemuan singkat namun bagi saya penuh makna.

Saya, Hilmy dan Melyn beranjak keluar dari kereta.  Di luar, teman kami Tata dan keluarganya sudah menunggu. Dari Stasiun Muara Enim kami menuju ke rumah mereka di Tanjung Enim. Kira-kira menempuh waktu kurang dari 1 jam. Di dalam perjalanan tiba-tiba suara pengamen di kereta dengan lagu menye-menyenya mengantui saya. Sial.

Tidak ada komentar:

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...