*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (8)
kelanjutan dari : Senja dan Durian Tanjungenim
Saya terbangun dan mendapati saya masih
ada di sebuah ruang tunggu stasiun di Muara Enim, Sumatra Selatan. Nampaknya
tadi saya tertidur dengan tas yang masih terpangku. Jam sudah menunjuk lebih
dari pukul 12 malam. Suasana stasiun masih seperti tadi, sepi. Saya melihat
Melyn dan Hilmy yang duduk agak berjauhan juga nampak lelah dan mengantuk.
Sudah nampak ada petugas datang, tapi
loket juga belum di buka. Di dekat saya ada seorang bapak paruh baya yang
nampaknya juga sedang menunggu. Selang beberapa saat kami mulai membuka
percakapan dan berbincang. Nampaknya bapak ini akan menjemput anaknya yang
sedang naik kereta ke Muara Enim. Bapak ini sudah lama tinggal di Sumatra
tetapi asalnya dari Kroya, Jawa Tengah. Pertama kali ke Sumatra ketika ongkos
bus dari Kroya ke Jakarta masih 8000 rupiah. Wah, tahun berapa itu ya. Pasti
sudah lama sekali.
Dengan kondisi terkantuk saya berbincang
dengan bapak ini. Ia bertanya kepada saya tujuan saya ke Sumatra. Saya bilang
saya bersama 2 kawan saya ingin keliling Sumatra. Bapak itu lalu bertanya
tujuan kami keliling Sumatra untuk apa. Saya jawab kalau tujuan kami keliling
ini untuk petualangan saja.
Nampaknya bapak ini sebelumnya mengira
bahwa tujuan saya keliling Sumatra adalah untuk dakwah. Saya bertanya-tanya
dalam hati, apa wajah saya ini ada aura pendakwah ya. Hahaha. Dengan tersenyum
saya menjelaskan bahwa tujuan saya dan 2 kawan saya adalah untuk sekedar
berpetualang saja.
Bapak itu lalu bercerita tentang
organisasi yang diikutinya. Sambil setengah sadar karena kantuk saya
sayup-sayup mendengarkan. Jadi bapak ini mempunyai organisasi keagamaan dimana organisasi
itu sering mengirim orang untuk dakwah keliling. Mungkin karena hal itu pula,
bapak ini mengira saya yang sedang berkeliling Sumatra ini sedang berdakwah
juga. Tiba-tiba saya ingin melihat cermin malam ini.
Melyn dan Hilmy dari kejauhan saya lihat
tersenyum-senyum. Mungkin mereka mendengar percakapan saya dengan bapak ini.
Dan mereka membayangkan saya di tawari untuk ikut jihad. Di ujung percakapannya,
mungkin hanya untuk memberi gambaran contoh saja, bapak ini berujar “Kalau mas
mau ikut Jihad, misalnya ke Palestina. Nanti mas berangkat kesana, kebutuhan
keluarga mas (anak dan istri) nanti di tanggung bersama oleh anggota-anggota
organisasi”
Saya hanya tersenyum saja. Sampai
kemudian kami saling diam dan tak berapa lama petugas membuka loket penjualan
tiket. Jadi tiket di jual belakangan karena petugas harus memastikan bahwa
kereta berjalan dan hampir sampai di Muara Enim ini. Tiket ke Lubuk Linggau
masih tersedia dan baru kali ini saya membeli sebuah tiket kereta dan tiketnya
di tulis tangan oleh petugasnya. Jadi tidak ada system cetak, yang ada ketika
kami memesan 2 tiket bapak petugasnya menulis dengan tangan 3 tiket itu. Tiket
kereta bisnis Sindang Marga seharga 60.000 rupiah dari Muara Enim sampai ke
Lubuk Linggau. Sepertinya kami bertiga ini satu-satunya penumpang yang naik dari
Stasiun Muara Enim.
Kereta belum datang dan kami harus
menunggu lagi. Sembari menunggu saya mencari toilet di stasiun ini. Tapi
nampaknya tidak ada toilet yang saya temukan. Melyn yang sepertinya ingin ke
toilet bertanya kepada petugas tadi. Bapak petugas menunjukkan arah ke toilet
sekaligus memberikan kuncinya yang ternyata ia pegang. Hahaha. Ternyata
toiletnya ada 1 dan itu terkunci. Kirain ada toilet umum.
Menunggu agak lama, sesaat kemudian
datanglah kereta yang kami tunggu sedari tadi. Kereta Sindang Marga menuju
Lubuk Linggau. Jam di tangan menunjuk pukul 2 pagi. Padahal jadwal di papan
pengumuman yang terpasang, kereta ini seharusnya berangkat dari stasiun ini
pukul 23. Bapak petugas yang tadi menjual tiket itu menunjukkan di gerbong mana
kami harus naik. “Terserah gerbong berapa saja yang penting kosong” begitu katanya.
Saya jadi berpikir, yang membuka loket, menjual tiket, sampai menunjukkan
gerbong adalah petugas yang sama. Saya melihat satu-satunya petugas yang ada di
stasiun ya cuma bapak petugas satu itu. Jangan-jangan ia merangkap dari kepala
stasiun, penjual tiket, penunggu stasiun sampai pengatur sinyal kereta. Hahaha
Kami bertiga kemudian masuk ke kereta.
Ada sebuah gerbong yang tidak terlalu penuh sehingga kami bisa duduk leluasa di
tempat itu. Tak berapa lama kereta jalan dan kemudian perlahan meninggalkan
Stasiun Muara Enim menuju Lubuk Linggau. Saya terkantuk tetapi baru menyadari
bahwa kami harus sahur. Ini adalah sahur pertama kami di Bulan Puasa kali ini. Di
luar gelap entah menyusuri hutan mana. Hilmy katanya sudah kenyang makan nasi goreng
di Pasar Muara Enim. Saya dan Melyn lantas membeli mie gelas dan menyedunya.
Sahur pertama kami dalam perjalanan kali ini. Sangat sederhana, tapi mungkin
ini akan membuat kami selalu mengenang perjalanan ini. Kereta, gelap, pedalaman
Sumatra Selatan, dan mie gelas. Syahdu!
sahur pertama di kereta antara Muara Enim - Lubuk Linggau |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar