Senin, 02 April 2012

Senja dan Durian Tanjungenim

*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (7)

Sore ini kami beristirahat di rumah teman kami di Tanjungenim. Tanjungenim ini adalah sebuah nama daerah yang masuk wilayah Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan. Tanjungenim sangat terkenal karena daerah ini adalah penghasil batu bara terbesar di Sumatra Selatan. Suasana daerahnya nampak sepi, mungkin karena ini hari Minggu.

Sesampai di rumah Tata, kami bergantian mandi untuk kemudian kami dipersilahkan makan. Setelah perjalanan berat dan panas antara Palembang– Tanjungenim, perut rasanya ingin memakan semua yang ada di meja. Suasana sangat menyenangkan, keluarga Tata menyambut kami begitu baik.
Sembari istirahat, saya, Melyn dan Hilmy berunding tentang perjalanan kami berikutnya. Kami sedikit bingung sore ini, di lain sisi Tata dan keluarga sudah menyiapkan tempat singgah untuk kami, tapi di lain sisi kami merasa ingin langsung melanjutkan perjalanan.

Mungkin inilah salah satu pembelajaran dalam perjalanan yang bisa kami petik. Dalam sebuah perjalanan akan banyak peristiwa dimana kami harus menentukan pilihan. Tidak banyak waktu untuk mempertimbangkan suatu hal karena waktu terus berjalan. Mungkin kami akan tersenyum ketika pilihan kita merupakan pilihan yang tepat. Tapi jika pilihan itu tidak tepat, kami tak boleh menyesal dan melihat ke belakang. Dan sore ini kami memilih untuk langsung melanjutkan perjalanan kami.

Menjelang maghrib, saya dan Hilmy meminjam motor untuk mencari tiket bus di pusat kota Tanjungenim. Sesampai di tempat deretan penjualan tiket bus ternyata tidak ada bus dari Tanjungenim ke Bengkulu. Yang ada, kami harus menunggu lewatnya bus Trans Jawa Sumatra yang lewat Tanjungenim. Tentu saja jamnya tidak bisa di tebak. 

Dari pusat Tanjungenim saya dan Hilmy kembali lagi ke rumah Tata. Jalanan berkelok-kelok namun masih halus. Yang membuat heran adalah jarang sekali di sini ada pengendara motor memakai helm. Saya dan Hilmy yang memakai helm serasa menjadi makhluk asing. Menjelang rumah Tata, kami bertemu dengan sebuah pemandangan yang luar biasa indah. Langit memerah sementara matahari mulai beranjak kembali ke peraduannya. 


*****

Selepas maghrib, kami bertiga pamit untuk melanjutkan perjalanan kami lagi. Tata disertai Ayah dan Ibunya mengantarkan kami menuju Muara Enim. Sebenarnya kami tidak enak karena besok adalah ramadhan hari pertama. Malam ini harusnya adalah shalat tarawih untuk pertama kalinya, tetapi kami membuat repot mereka.

Sesampainya di Muara Enim kami berhenti di sebuah perempatan tempat bus-bus antar kota lewat. Suasana sepi karena kebanyakan orang mungkin sedang shalat tarawih. Beberapa bus lewat namun tidak ada yang menuju ke Bengkulu. Kami terus menunggu dengan segala ketidakpastian. Sambil menunggu saya iseng bertanya kepada Tata “Ta, di Jawa, sebagai penanda pusat kota kan alun-alun. Kalau disini ada model alun-alun nggak ya?”. “Nggak ada mas, di sini nggak ada alun-alun”. Dalam hati saya berfikir, kalau gitu sebagai penanda pusat kota apa ya? Mungkin berupa Jembatan Ampera seperti di Palembang, Jam Gadang di Bukit Tinggi atau Masjid Baiturahman di Banda Aceh. Tiba-tiba fikiran saya semakin penuh dengan tempat-tempat yang belum dan akan saya kunjungi dalam perjalanan ini.

Hampir 3 jam menunggu bus ke arah Bengkulu ketika  kami akhirnya memutuskan untuk pergi ke Stasiun Muara Enim. Kami mengurungkan niat untuk naik bus karena sedari tadi tak ada bus tujuan Bengkulu. Yang kami tau, akan ada kereta Sindang Marga dari Palembang ke Lubuk Linggau yang akan melintasi Stasiun Muara Enim. Namun sesampai stasiun keadaan tidak seperti stasiun pada umumnya. Suasana sepi hampir tidak ada orang. Loket juga entah dimana. Belajar dari pengalaman di Stasiun Tanjung Karang, mungkin stasiun ini juga tutup karena belum ada kereta yang akan datang.

Sambil menunggu stasiun ini buka, kami pergi ke Pasar Muara Enim. Di keramaian malam pasar ini, saya, Hilmy, Melyn, Tata dan keluarganya berhenti di sebuah tempat makan. Saya dan Melyn hanya minum saja tidak makan karena belum lama kami makan di rumah Tata. Saya dan Melyn senyum-senyum saja melihat Hilmy yang makan dengan lahapnya.

Selang beberapa lama kami kembali ke Stasiun Muara Enim karena sesuai jadwal Kereta Sindang Marga akan melewati Stasiun Muara Enim pukul 23:07. Sampai Stasiun nampaknya suasana masih sepi. Belum ada petugas satupun yang melayani pembelian tiket. Pintu menuju ruang tunggu memang sudah terbuka tapi juga tak ada orang.

Sambil menunggu, saya dan Melyn membuka kotak berisi durian pemberian Tata. Tak sabar menunggu lama untuk makan durian ini. Saya dan Melyn langsung dengan lahapnya menghabiskan durian ini. Sungguh, seumur-umur makan durian, mungkin ini adalah durian yang paling enak yang pernah saya makan. Durian asli Tanjungenim.Saya dan Melyn makan sambil senyum-senyum melihat Hilmy yang hanya bisa diam karena dia tidak doyan durian. Ah, salah satu orang yang merugi adalah orang yang tidak doyan durian! Haha



Kami masih menunggu dan terus menunggu. Hampir pukul 12 malam dan kereta belum lewat. Padahal jadwal kereta pukul 23:07. Kondisi stasiun saja masih sepi tanpa ada petugas. Tata dan keluarganya akhirnya pamit untuk pulang terlebih dahulu karena ayah Tata besok harus kerja. Kami berpisah di Stasiun. Berterima kasih dan kami mohon maaf telah merepotkan mereka. Mengantarkan kami ke stasiun meski ini adalah malam pertama bulan Ramadhan.

Kami kembali hanya bertiga. Saya, Melyn dan Hilmy. Duduk menunggu entah kapan kereta akan tiba. Tulisan di loket masih saja terpampang kertas “Karcis Belum Terjual”. Di deretan kursi ruang tunggu penuh nyamuk saya tertidur, dengan durian paling enak di dunia yang pernah saya rasakan.




1 komentar:

Avita Dewi Septiarini mengatakan...

:)

hampir satu tahun yang lalu....
kalo mau durian enak, mampirlah ke rumah lagi

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...