kelanjutan dari : Sepenggal Kisah di Kereta Palembang - Muara Enim
Sore ini kami beristirahat di rumah
teman kami di Tanjungenim. Tanjungenim ini adalah sebuah nama daerah yang masuk
wilayah Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan. Tanjungenim sangat terkenal
karena daerah ini adalah penghasil batu bara terbesar di Sumatra Selatan.
Suasana daerahnya nampak sepi, mungkin karena ini hari Minggu.
Sesampai di rumah Tata, kami bergantian
mandi untuk kemudian kami dipersilahkan makan. Setelah perjalanan berat dan
panas antara Palembang– Tanjungenim, perut rasanya ingin memakan semua yang ada
di meja. Suasana sangat menyenangkan, keluarga Tata menyambut kami begitu baik.
Sembari istirahat, saya, Melyn dan Hilmy
berunding tentang perjalanan kami berikutnya. Kami sedikit bingung sore ini, di
lain sisi Tata dan keluarga sudah menyiapkan tempat singgah untuk kami, tapi di
lain sisi kami merasa ingin langsung melanjutkan perjalanan.
Mungkin inilah salah satu pembelajaran
dalam perjalanan yang bisa kami petik. Dalam sebuah perjalanan akan banyak
peristiwa dimana kami harus menentukan pilihan. Tidak banyak waktu untuk
mempertimbangkan suatu hal karena waktu terus berjalan. Mungkin kami akan
tersenyum ketika pilihan kita merupakan pilihan yang tepat. Tapi jika pilihan
itu tidak tepat, kami tak boleh menyesal dan melihat ke belakang. Dan sore ini
kami memilih untuk langsung melanjutkan perjalanan kami.
Menjelang maghrib, saya dan Hilmy
meminjam motor untuk mencari tiket bus di pusat kota Tanjungenim. Sesampai di
tempat deretan penjualan tiket bus ternyata tidak ada bus dari Tanjungenim ke
Bengkulu. Yang ada, kami harus menunggu lewatnya bus Trans Jawa Sumatra yang
lewat Tanjungenim. Tentu saja jamnya tidak bisa di tebak.
Dari pusat Tanjungenim saya dan Hilmy
kembali lagi ke rumah Tata. Jalanan berkelok-kelok namun masih halus. Yang
membuat heran adalah jarang sekali di sini ada pengendara motor memakai helm.
Saya dan Hilmy yang memakai helm serasa menjadi makhluk asing. Menjelang rumah
Tata, kami bertemu dengan sebuah pemandangan yang luar biasa indah. Langit
memerah sementara matahari mulai beranjak kembali ke peraduannya.
*****
Selepas maghrib, kami bertiga pamit
untuk melanjutkan perjalanan kami lagi. Tata disertai Ayah dan Ibunya
mengantarkan kami menuju Muara Enim. Sebenarnya kami tidak enak karena besok
adalah ramadhan hari pertama. Malam ini harusnya adalah shalat tarawih untuk
pertama kalinya, tetapi kami membuat repot mereka.
Sesampainya di Muara Enim kami berhenti
di sebuah perempatan tempat bus-bus antar kota lewat. Suasana sepi karena kebanyakan
orang mungkin sedang shalat tarawih. Beberapa bus lewat namun tidak ada yang
menuju ke Bengkulu. Kami terus menunggu dengan segala ketidakpastian. Sambil
menunggu saya iseng bertanya kepada Tata “Ta, di Jawa, sebagai penanda pusat
kota kan alun-alun. Kalau disini ada model alun-alun nggak ya?”. “Nggak ada
mas, di sini nggak ada alun-alun”. Dalam hati saya berfikir, kalau gitu sebagai
penanda pusat kota apa ya? Mungkin berupa Jembatan Ampera seperti di Palembang,
Jam Gadang di Bukit Tinggi atau Masjid Baiturahman di Banda Aceh. Tiba-tiba
fikiran saya semakin penuh dengan tempat-tempat yang belum dan akan saya
kunjungi dalam perjalanan ini.
Hampir 3 jam menunggu bus ke arah Bengkulu
ketika kami akhirnya memutuskan untuk
pergi ke Stasiun Muara Enim. Kami mengurungkan niat untuk naik bus karena
sedari tadi tak ada bus tujuan Bengkulu. Yang kami tau, akan ada kereta Sindang
Marga dari Palembang ke Lubuk Linggau yang akan melintasi Stasiun Muara Enim.
Namun sesampai stasiun keadaan tidak seperti stasiun pada umumnya. Suasana sepi
hampir tidak ada orang. Loket juga entah dimana. Belajar dari pengalaman di
Stasiun Tanjung Karang, mungkin stasiun ini juga tutup karena belum ada kereta
yang akan datang.
Sambil menunggu stasiun ini buka, kami
pergi ke Pasar Muara Enim. Di keramaian malam pasar ini, saya, Hilmy, Melyn,
Tata dan keluarganya berhenti di sebuah tempat makan. Saya dan Melyn hanya
minum saja tidak makan karena belum lama kami makan di rumah Tata. Saya dan
Melyn senyum-senyum saja melihat Hilmy yang makan dengan lahapnya.
Selang beberapa lama kami kembali ke
Stasiun Muara Enim karena sesuai jadwal Kereta Sindang Marga akan melewati
Stasiun Muara Enim pukul 23:07. Sampai Stasiun nampaknya suasana masih sepi.
Belum ada petugas satupun yang melayani pembelian tiket. Pintu menuju ruang
tunggu memang sudah terbuka tapi juga tak ada orang.
Sambil menunggu, saya dan Melyn membuka
kotak berisi durian pemberian Tata. Tak sabar menunggu lama untuk makan durian ini.
Saya dan Melyn langsung dengan lahapnya menghabiskan durian ini. Sungguh,
seumur-umur makan durian, mungkin ini adalah durian yang paling enak yang
pernah saya makan. Durian asli Tanjungenim.Saya dan Melyn makan sambil senyum-senyum
melihat Hilmy yang hanya bisa diam karena dia tidak doyan durian. Ah, salah
satu orang yang merugi adalah orang yang tidak doyan durian! Haha
Kami masih menunggu dan terus menunggu.
Hampir pukul 12 malam dan kereta belum lewat. Padahal jadwal kereta pukul
23:07. Kondisi stasiun saja masih sepi tanpa ada petugas. Tata dan keluarganya akhirnya
pamit untuk pulang terlebih dahulu karena ayah Tata besok harus kerja. Kami berpisah
di Stasiun. Berterima kasih dan kami mohon maaf telah merepotkan mereka. Mengantarkan
kami ke stasiun meski ini adalah malam pertama bulan Ramadhan.
Kami kembali hanya bertiga. Saya, Melyn
dan Hilmy. Duduk menunggu entah kapan kereta akan tiba. Tulisan di loket masih
saja terpampang kertas “Karcis Belum Terjual”. Di deretan kursi ruang tunggu
penuh nyamuk saya tertidur, dengan durian paling enak di dunia yang pernah saya
rasakan.
1 komentar:
:)
hampir satu tahun yang lalu....
kalo mau durian enak, mampirlah ke rumah lagi
Posting Komentar