Senin, 16 April 2012

Antara Lubuk Linggau dan Bengkulu


*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (9)

 kelanjutan dari : Sahur Pertama di Kereta Sindang Marga

Peta dari Lubuk Linggau menuju ke Bengkulu

Saya terbangun ketika kereta sudah berhenti di Stasiun Lubuk Linggau. Ini adalah hari pertama bulan puasa tahun ini. Hilmy dan Melyn kemudian shalat subuh di mushola stasiun. Di luar mushola saya didatangi anak kecil yang minta uang, saya bergeming. Sama seperti anak kecil yang kami temui di dekat Jembatan Ampera Palembang, anak kecil ini juga sambil ‘ngelem’. Suasana Stasiun Lubuk Linggau pagi ini lumayan ramai. Beberapa orang yang duduk menunggu kereta memandangi kami dengan pandangan yang aneh. Mungkin mereka heran, dihari pertama puasa ini ada 3 orang dengan tas-tas besar tersesat sampai Lubuk Linggau.

Keluar dari stasiun kami bertanya kepada bapak-bapak ojek dimana tempat kami harus mencari transport untuk menuju Bengkulu. Mereka menyarankan untuk menunggu travel di dekat Alun-alun Lubuk Linggau. Beberapa ojek menyarankan kami untuk menggunakan jasa ojeknya menuju alun-alun yang katanya jaraknya jauh. Kami menolaknya, kami bilang bahwa kami akan jalan kaki saja sambil jalan-jalan. Feeling kami bilang kalau jarak dari stasiun ke alun-alun itu tidak terlalu jauh sehingga tidak perlu memakai ojek. 

Dari stasiun kami berjalan ke arah Pasar Lubuk Linggau. Kemudian sempat bertanya kepada pengemudi angkot. Pengemudi angkot itu menujukkan tempat dimana kami harus menunggu transport ke Bengkulu. Dari penuturannya, memang untuk menunggu transport ke Bengkulu kami harus menuju ke Alun-alun Lubuk Linggau.

Pasar Lubuk Linggau

Saya dan Melyn di Pasar Lubuk Linggau

Bertemu bapak-bapak yang akan menuju Curup
 
Dari Pasar Lubuk Linggau kami melanjutkan jalan kaki kami ke arah alun-alun. Nampaknya memang benar feeling kami, jarak dari stasiun ke alun-alun tidak terlalu jauh. Sampai di alun-alun suasana nampak ramai dengan anak muda yang sedang duduk-duduk. Karena mungkin ini bulan puasa, jadi banyak anak muda yang jalan-jalan selepas subuh. Agak mengherankan ketika sedang berjalan ada segerombolan perempuan yang menggoda saya dengan memanggil-manggil mengucap salam. Memang kalau dasarnya sudah mempesona, belum mandi dari kemarin pun masih punya daya tarik agar orang lain menggoda. Hahaha. 

Di sudut alun-alun kami menunggu transport ke arah Bengkulu. Kami masih bingung transportasi apa yang akan kami gunakan. Apakah ada bus, travel atau trasportasi lain. Kami bertanya kepada seorang bapak yang sepertinya sedang menunggu juga. Kami bertanya transportasi apa yang bisa kami gunakan untuk menuju Bengkulu. Bapak itu menyarankan kami untuk menggunakan travel menuju Curup untuk kemudian berpindah menggunakan travel lain ke Bengkulu.  Nampaknya bapak ini juga akan menuju ke Curup sehingga mengajak kami sekalian untuk bareng. 

Sambil menunggu iseng-iseng saya memperhatikan tingkah laku para pemuda-pemudi yang ada di alun-alun. Yang perempuan rata-rata saling berbincang dengan teman-temannya sesama perempuan di pinggir alun-alun. Sementara yang laki-laki sebagian memakai sepeda motor. Uniknya, ketika melaju menggunakan sepeda motor di depan perempuan, maka kebanyakan laki-laki itu akan ‘menggeber-geber’ gas motornya sekaligus mengangkat ban depannya untuk menarik perhatian para perempuan yang sedang duduk-duduk. Dalam hati saya tertawa terbahak-bahak. Terlebih dengan tampilan sebagian laki-laki yang memakai sarung, mengendarai motor, lalu dengan memasang muka sombong mencari perhatian di depan perempuan. Ah, berasa koboy, tapi kalau yang ini enggak banget!

sudut Alun-alun Lubuk Linggau

sudut Alun-alun Lubuk Linggau

Hilmy sibuk kesana kemari mengambil foto masjid yang ada di depan kami, Melyn duduk dengan mata yang masih ngantuk. Tak berapa lama kemudian lewatlah sebuah mobil sejenis kijang dan berhenti di depan kami. Bapak yang tadi bersama kami lalu mendekat kepada pengemudi mobil kijang itu. Belum sempat bapak tersebut bilang sesuatu, pengemudinya sudah memberi penawaran terlebih dahulu. Nampaknya mobil ini adalah semacam travel ( meskipun bukan travel yang resmi, karena saya lihat plat nomornya warnanya hitam ) yang melayani jasa angkutan dari Lubuk Linggau menuju Curup. Bapak itu mewakili kami untuk negosiasi ongkosnya. Tak berapa lama tercapai kesepakatan, Lubuk Linggau – Curup Rp.30.000. 

Sebelum naik, bapak itu bilang kepada kami bertiga untuk mengaku kepada pengemudi mobil kalau kami adalah adik dari bapak itu. Itu untuk menghindari pengemudi akan pasang harga yang tinggi untuk kami jika ia tau kami orang yang sama sekali belum pernah ke daerah itu. Kami bertiga mengiyakan saja. Saya dan Melyn lebih banyak diam, sedangkan bapak itu lebih sering berbincang dengan Hilmy.

Lalu berjalanlah travel ini menuju ke Curup. Bapak yang tadi bersama kami duduk di depan disamping pengemudi, sementara kami bertiga duduk di belakang. Saya dan Melyn duduk di sebelah pintu sedangkan Hilmy duduk diapit di tengah. Jalanan menuju curup melewati jalan yang berbukit-bukit. Jalanan lumayan halus dengan pemandangan yang menarik dan  matahari yang juga belum terlalu tinggi. Saya lebih banyak melihat ke luar. Menikmati jalanan yang belum pernah saya datangi ini. Jalan yang menghubungkan antara Propinsi Sumatra Selatan dengan Propinsi Bengkulu. Semilir angin dan jalan yang berbelok-belok membawa saya hanyut dalam kantuk yang belum saya tuntaskan tadi pagi. Saya tertidur, entah sudah sampai mana.

***

Saya tidak tau sudah sampai mana ketika saya terbangun. Yang saya tau, saya belum lama tertidurnya. Belum sampai ke Curup ketika bapak yang bersama kami tadi sudah sampai ke tujuannya, rumah besar di pinggir jalan besar menuju Curup. Bapak itu turun terlebih dahulu seraya menunjukkan rumahnya sedang kami harus melanjutkan perjalanan kami. Seulas senyum dan ucapan perpisahan menghiasi pagi kami. Dalam perjalanan, kami banyak berjumpa dengan orang baru, tapi secepat perjalanan, secepat itu pula kami harus berpisah lagi. Bahkan ketika kami belum tau namanya sekalipun.

Mobil pribadi yang disulap menjadi travel ini melanjutkan perjalanan. Pengemudi bertanya tujuan kami. Kami bilang kami akan ke Bengkulu. Mendengar kami akan ke Bengkulu, pengemudi tersebut berujar “Kalau mau ke Bengkulu, ayo sekalian saja saya antar. Tidak perlu turun di Curup. Tinggal nambah ongkos, dari Lubuk Linggau tadi sampai Bengkulu bayar saja 300 ribu untuk 3 orang”. Dengan nominal sebanyak itu, tentu respon pertama kami adalah menawarnya! 

Agak lama kami melakukan tawar menawar. Juru tawar kami kali ini adalah Hilmy. Dengan sedikit ngotot, maka diputuskan kami membayar 225 ribu untuk 3 orang. Berarti dari Lubuk Linggau tadi sampai Bengkulu nanti masing-masing dari kami membayar 75 ribu rupiah. Mahal atau murah?
Menjelang Kota Curup, kami melewati rumah-rumah penduduk yang luar biasa indah. Rumah-rumah tradisional Bengkulu di sepanjang jalan dengan kondisi lingkungan yang sangat bersih. Saya takjub melihatnya. Rumah-rumahnya nampak asri, bersih dan tetap menjaga keasliannya. Sekilas diamati kota ini hawanya sejuk karena dekat dengan perbukitan. Kita menjadi sedikit kecewa karena kami tidak transit di kota ini. 

Di kota Curup ini, pengemudi travel sempat mengurangi laju kecepatannya untuk mencari penumpang lagi. Tapi rejeki sepertinya belum mendekat ke pengemudi ini. Di sepanjang jalan kota Curup tidak ada satupun penumpang yang naik sehingga keluar dari kota Curup menuju Bengkulu jumlah penumpangnya masih sama yakni kami bertiga. 

Kami melewati jalan yang berkelok-kelok lagi dengan pemandangan perbukitan dikanan kirinya. Hilmy nampaknya mulai merasakan pusing efek dari jalanan yang berkelok-kelok. Ojo muntah lho! . Sepanjang jalan yang berkelok-kelok ini, pengemudi sibuk dengan telfonnya. Ia menelepon entah dengan bahasa apa yang nampaknya baru kali ini saya dengar. Gaya bicaranya sangat cepat. Seperti perpaduan antara Bahasa Melayu dan Cina. Ah, entahlah. Saya juga ikut pusing mendengarnya.
Selepas dari Curup, kami melewati sebuah kabupaten lagi bernama Kepahiang. Di sepanjang jalan yang kami lewati ini, kami melewati beberapa SPBU. Dan anehnya, di semua SPBU ini antriannya sampai keluar, bahkan ratusan meter di luar SPBU. Entah berapa jam yang harus dihabiskan untuk mengantri dengan panjang seperti itu. Antrian itu menyebabkan macet menjelang SPBU. Duh, tidak terbayangkan harus antri dengan kondisi panas dan puasa seperti itu. 

Namun ada yang lebih membuat kami miris lagi. Di sepanjang jalan yang kami lewati di Kepahiang ini secara kasat mata kondisi masyarakat kalau dilihat dari rumahnya adalah biasa-biasanya saja. Terlebih dengan kondisi alam yang penuh bukit dan hutan. Tapi yang membuat kami geleng-geleng kepala adalah ketika kami melewati Kantor Bupati Kepahiang. Kantornya seperti istana yang sangat megah. Kantor DPRD yang ada di sebelahnya juga tak kalah megah. Dalam hati sedikit berfikir, sepertinya ini terlalu kontras dengan keadaan wilayahnya.

Kantor Bupati Kepahiang. Foto diambil dari : sini

Di Kepahiang ini ada 4 orang yang naik. 1 ibu di depan,  1 laki-laki dan 2 waria di belakang. Iya, sungguh-sungguh waria. Dengan kondisi mobil yang sudah penuh, pengemudi mulai mempercepat lajunya. Jalanan antara Kepahiang sampai Bengkulu masih sama saja, naik turun melewati perbukitan. Hilmy nampak makin pusing, kelihatan dari cemberutnya. Pemandangan lumayan indah dengan gugusan pegunungan dikanan kiri. Dari tempat ini saya membayangkan bahwa Kota Bengkulu itu ada jauh dibawah sana, masih banyak bukit yang harus dilalui untuk sampai kesana. 

Beberapa jam kemudian mulai masuklah kami ke Kota Bengkulu. Kesan pertama kami tentang Kota Bengkulu adalah panas terik. Beberapa penumpang yang naik tadi sudah turun menjelang kota. Sekarang tinggal kami bertiga lagi yang ada di dalamnya. Kami minta turun di Agen Bus SAN. Tempat kami akan membeli tiket Bengkulu – Padang sekaligus ingin menitipkan tas kami karena kami ingin sekali menelusuri Kota Bengkulu ini. Pantai Panjang Bengkulu, Benteng Marlborough, dan Rumah Pengasingan Soekarno di Bengkulu sudah membayang di muka dan senyum kami. Bisakah kami menjangkau tempat-tempat itu siang ini?

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya org palembang yg merantau di Lubuklinggau... lumayan kesanny buat Lubuklinggau, cuma lucu aj liat yg paragraf 4... #narsis :D lain kali mampir lagi....

Yunni Muharani mengatakan...

haha.. saya org lubuklinggau.. lucu saja mendengar anda bilang itu alun-alun lubuklinggau.. wkwkk.. kita aja gak pernah menyebut itu alun-alun,, yang ada mah kita bilangnya daerah lapmer(lapangan merdeka)

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...