*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (9)
kelanjutan dari : Sahur Pertama di Kereta Sindang Marga
kelanjutan dari : Sahur Pertama di Kereta Sindang Marga
Peta dari Lubuk Linggau menuju ke Bengkulu |
Saya terbangun ketika kereta sudah
berhenti di Stasiun Lubuk Linggau. Ini adalah hari pertama bulan puasa tahun
ini. Hilmy dan Melyn kemudian shalat subuh di mushola stasiun. Di luar mushola
saya didatangi anak kecil yang minta uang, saya bergeming. Sama seperti anak
kecil yang kami temui di dekat Jembatan Ampera Palembang, anak kecil ini juga
sambil ‘ngelem’. Suasana Stasiun Lubuk Linggau pagi ini lumayan ramai. Beberapa
orang yang duduk menunggu kereta memandangi kami dengan pandangan yang aneh.
Mungkin mereka heran, dihari pertama puasa ini ada 3 orang dengan tas-tas besar
tersesat sampai Lubuk Linggau.
Keluar dari stasiun kami bertanya kepada
bapak-bapak ojek dimana tempat kami harus mencari transport untuk menuju
Bengkulu. Mereka menyarankan untuk menunggu travel di dekat Alun-alun Lubuk
Linggau. Beberapa ojek menyarankan kami untuk menggunakan jasa ojeknya menuju
alun-alun yang katanya jaraknya jauh. Kami menolaknya, kami bilang bahwa kami
akan jalan kaki saja sambil jalan-jalan. Feeling kami bilang kalau jarak dari
stasiun ke alun-alun itu tidak terlalu jauh sehingga tidak perlu memakai ojek.
Dari stasiun kami berjalan ke arah Pasar
Lubuk Linggau. Kemudian sempat bertanya kepada pengemudi angkot. Pengemudi
angkot itu menujukkan tempat dimana kami harus menunggu transport ke Bengkulu.
Dari penuturannya, memang untuk menunggu transport ke Bengkulu kami harus
menuju ke Alun-alun Lubuk Linggau.
Pasar Lubuk Linggau |
Saya dan Melyn di Pasar Lubuk Linggau |
Bertemu bapak-bapak yang akan menuju Curup |
Di sudut alun-alun kami menunggu
transport ke arah Bengkulu. Kami masih bingung transportasi apa yang akan kami
gunakan. Apakah ada bus, travel atau trasportasi lain. Kami bertanya kepada
seorang bapak yang sepertinya sedang menunggu juga. Kami bertanya transportasi
apa yang bisa kami gunakan untuk menuju Bengkulu. Bapak itu menyarankan kami
untuk menggunakan travel menuju Curup untuk kemudian berpindah menggunakan
travel lain ke Bengkulu. Nampaknya bapak
ini juga akan menuju ke Curup sehingga mengajak kami sekalian untuk bareng.
Sambil menunggu iseng-iseng saya
memperhatikan tingkah laku para pemuda-pemudi yang ada di alun-alun. Yang
perempuan rata-rata saling berbincang dengan teman-temannya sesama perempuan di
pinggir alun-alun. Sementara yang laki-laki sebagian memakai sepeda motor.
Uniknya, ketika melaju menggunakan sepeda motor di depan perempuan, maka
kebanyakan laki-laki itu akan ‘menggeber-geber’ gas motornya sekaligus
mengangkat ban depannya untuk menarik perhatian para perempuan yang sedang duduk-duduk.
Dalam hati saya tertawa terbahak-bahak. Terlebih dengan tampilan sebagian
laki-laki yang memakai sarung, mengendarai motor, lalu dengan memasang muka
sombong mencari perhatian di depan perempuan. Ah, berasa koboy, tapi kalau yang
ini enggak banget!
sudut Alun-alun Lubuk Linggau |
sudut Alun-alun Lubuk Linggau |
Sebelum naik, bapak itu bilang kepada
kami bertiga untuk mengaku kepada pengemudi mobil kalau kami adalah adik dari
bapak itu. Itu untuk menghindari pengemudi akan pasang harga yang tinggi untuk
kami jika ia tau kami orang yang sama sekali belum pernah ke daerah itu. Kami
bertiga mengiyakan saja. Saya dan Melyn lebih banyak diam, sedangkan bapak itu
lebih sering berbincang dengan Hilmy.
Lalu berjalanlah travel ini menuju ke
Curup. Bapak yang tadi bersama kami duduk di depan disamping pengemudi,
sementara kami bertiga duduk di belakang. Saya dan Melyn duduk di sebelah pintu
sedangkan Hilmy duduk diapit di tengah. Jalanan menuju curup melewati jalan
yang berbukit-bukit. Jalanan lumayan halus dengan pemandangan yang menarik dan matahari yang juga belum terlalu tinggi. Saya
lebih banyak melihat ke luar. Menikmati jalanan yang belum pernah saya datangi
ini. Jalan yang menghubungkan antara Propinsi Sumatra Selatan dengan Propinsi
Bengkulu. Semilir angin dan jalan yang berbelok-belok membawa saya hanyut dalam
kantuk yang belum saya tuntaskan tadi pagi. Saya tertidur, entah sudah sampai
mana.
***
Saya tidak tau sudah sampai mana ketika
saya terbangun. Yang saya tau, saya belum lama tertidurnya. Belum sampai ke
Curup ketika bapak yang bersama kami tadi sudah sampai ke tujuannya, rumah
besar di pinggir jalan besar menuju Curup. Bapak itu turun terlebih dahulu
seraya menunjukkan rumahnya sedang kami harus melanjutkan perjalanan kami.
Seulas senyum dan ucapan perpisahan menghiasi pagi kami. Dalam perjalanan, kami
banyak berjumpa dengan orang baru, tapi secepat perjalanan, secepat itu pula
kami harus berpisah lagi. Bahkan ketika kami belum tau namanya sekalipun.
Mobil pribadi yang disulap menjadi
travel ini melanjutkan perjalanan. Pengemudi bertanya tujuan kami. Kami bilang
kami akan ke Bengkulu. Mendengar kami akan ke Bengkulu, pengemudi tersebut
berujar “Kalau mau ke Bengkulu, ayo sekalian saja saya antar. Tidak perlu turun
di Curup. Tinggal nambah ongkos, dari Lubuk Linggau tadi sampai Bengkulu bayar
saja 300 ribu untuk 3 orang”. Dengan nominal sebanyak itu, tentu respon pertama
kami adalah menawarnya!
Agak lama kami melakukan tawar menawar.
Juru tawar kami kali ini adalah Hilmy. Dengan sedikit ngotot, maka diputuskan
kami membayar 225 ribu untuk 3 orang. Berarti dari Lubuk Linggau tadi sampai
Bengkulu nanti masing-masing dari kami membayar 75 ribu rupiah. Mahal atau
murah?
Menjelang Kota Curup, kami melewati
rumah-rumah penduduk yang luar biasa indah. Rumah-rumah tradisional Bengkulu di
sepanjang jalan dengan kondisi lingkungan yang sangat bersih. Saya takjub
melihatnya. Rumah-rumahnya nampak asri, bersih dan tetap menjaga keasliannya.
Sekilas diamati kota ini hawanya sejuk karena dekat dengan perbukitan. Kita
menjadi sedikit kecewa karena kami tidak transit di kota ini.
Di kota Curup ini, pengemudi travel
sempat mengurangi laju kecepatannya untuk mencari penumpang lagi. Tapi rejeki
sepertinya belum mendekat ke pengemudi ini. Di sepanjang jalan kota Curup tidak
ada satupun penumpang yang naik sehingga keluar dari kota Curup menuju Bengkulu
jumlah penumpangnya masih sama yakni kami bertiga.
Kami melewati jalan yang berkelok-kelok
lagi dengan pemandangan perbukitan dikanan kirinya. Hilmy nampaknya mulai
merasakan pusing efek dari jalanan yang berkelok-kelok. Ojo muntah lho! . Sepanjang jalan yang berkelok-kelok ini,
pengemudi sibuk dengan telfonnya. Ia menelepon entah dengan bahasa apa yang
nampaknya baru kali ini saya dengar. Gaya bicaranya sangat cepat. Seperti
perpaduan antara Bahasa Melayu dan Cina. Ah, entahlah. Saya juga ikut pusing
mendengarnya.
Selepas dari Curup, kami melewati sebuah
kabupaten lagi bernama Kepahiang. Di sepanjang jalan yang kami lewati ini, kami
melewati beberapa SPBU. Dan anehnya, di semua SPBU ini antriannya sampai keluar,
bahkan ratusan meter di luar SPBU. Entah berapa jam yang harus dihabiskan untuk
mengantri dengan panjang seperti itu. Antrian itu menyebabkan macet menjelang
SPBU. Duh, tidak terbayangkan harus antri dengan kondisi panas dan puasa
seperti itu.
Namun ada yang lebih membuat kami miris
lagi. Di sepanjang jalan yang kami lewati di Kepahiang ini secara kasat mata
kondisi masyarakat kalau dilihat dari rumahnya adalah biasa-biasanya saja.
Terlebih dengan kondisi alam yang penuh bukit dan hutan. Tapi yang membuat kami
geleng-geleng kepala adalah ketika kami melewati Kantor Bupati Kepahiang.
Kantornya seperti istana yang sangat megah. Kantor DPRD yang ada di sebelahnya
juga tak kalah megah. Dalam hati sedikit berfikir, sepertinya ini terlalu
kontras dengan keadaan wilayahnya.
Kantor Bupati Kepahiang. Foto diambil dari : sini |
Beberapa jam kemudian mulai masuklah kami
ke Kota Bengkulu. Kesan pertama kami tentang Kota Bengkulu adalah panas terik.
Beberapa penumpang yang naik tadi sudah turun menjelang kota. Sekarang tinggal
kami bertiga lagi yang ada di dalamnya. Kami minta turun di Agen Bus SAN.
Tempat kami akan membeli tiket Bengkulu – Padang sekaligus ingin menitipkan tas
kami karena kami ingin sekali menelusuri Kota Bengkulu ini. Pantai Panjang Bengkulu,
Benteng Marlborough, dan Rumah Pengasingan Soekarno di Bengkulu sudah membayang
di muka dan senyum kami. Bisakah kami menjangkau tempat-tempat itu siang ini?
2 komentar:
Saya org palembang yg merantau di Lubuklinggau... lumayan kesanny buat Lubuklinggau, cuma lucu aj liat yg paragraf 4... #narsis :D lain kali mampir lagi....
haha.. saya org lubuklinggau.. lucu saja mendengar anda bilang itu alun-alun lubuklinggau.. wkwkk.. kita aja gak pernah menyebut itu alun-alun,, yang ada mah kita bilangnya daerah lapmer(lapangan merdeka)
Posting Komentar