Selasa, 09 Februari 2010

Baju Kotak

Pagi ini baju kotak tertegun..

Kumandang adzan subuh terlelap, dering beker terlewat, suara kokok ayam nyaris tak ada, karena baju kotak bertapa diantara puing pencakar dimana orang banyak menyebutnya kota. Tapi efek metabolisme selalu berjalan seiring kemalasan baju kotak. Jam 7 pagi membuka mata baju kotak, bersiap menjalani rutinitas yang menuntut jiwanya untuk jadi kotak.

Jauh di relung hatinya baju kotak sangat mencintai kehidupan yang kotak. Meski banyak orang bertutur kata kalau hidup itu bundar. Kadang laju gas menuntut kita untuk ada di bawah, tak lama kemudian gaya relativitas membawa kita menyusuri roda as untuk ada di tengah, bahkan memuncak di atas. Tapi kemudian dalam hitungan sepersekian detik kita akan ditarik lagi oleh gravitasi yang berkalaborasi dengan tarikan gas untuk kembali ke bawah.

Masihkan ada kesempatan untuk kembali ke atas? Hanya ada 2 kemungkinan, Iya dan Tidak. Iya ketika Kanjeng Gusti menarik lagi gasnya. Tidak ketika roda itu berhenti, dan kita pas ada dibawah. Lalu kapan jalannya kembali sehingga kita bisa menari-nari di atas lagi? Selagi kita punya mimpi !

Baju kotak kembali tertegun, seperti Alibaba yang tengah mendapati harta karunnya. Baju kotak sangat cinta kotak, tapi realita membawanya kepada bundar. Bahkan cintanya pun berbentuk bundar, seperti Cut mempesona bernama Nova Eliza mengisahkan film Bola Itu Bundar. Siang ini baju kotak semakin terpikat dengan bundar. Bundar itu lingkaran, bukan lingkaran setan, tapi ini lingkaran kehidupan.

Baju kotak teringat Andre Sis di Padhang mBulan : “Maknailah, meski hanya sebuah kata sederhana. Kelak kau akan tahu betapa makna bisa bermula dari sebuah kata, sebuah huruf” Baju kotak linglung siang ini, meski dia tak berharap hati dan mukanya berubah jadi kotak.



*untuk baju kotak

Tidak ada komentar:

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...