Selasa, 09 Februari 2010

Seront récompensés par Dieu

Saya melihat seorang kakek tua berjalan gontai. Menggenggam puluhan balon. Keliling gang demi gang, kampung ke kampung. Berharap ada anak kecil melihat balon warna-warninya, kemudian merengek ke Ibunya trus membeli balon-balon itu. Langkahnya masih gontai setiap kutemui, mungkin karena usia beliau. Senyumnya masih simpul tapi penuh keikhlasan.

Waktu menunjuk sekitaran waktu dhuha ketika balonnya tak kunjung berkurang. Terik matahari mulai menyembul. Keringat panas sudah mulai membasahi kening beliau yang tak muda lagi. Ah, apakah hari ini masih bernasib seperti kemarin ketika balonnya juga tak banyak yang terjual. Teka-teki mulai menyelami pikiran beliau. Kemudian beliau duduk istirahat di pos ronda ujung jalan. Saya mencoba mendekat ke tempatnya beristirahat.

" Sedang istirahat kek? "
" Iya nak, sekarang sudah gampang capek, padahal balon juga baru laku 3 " jawab beliau
" Memangnya tiap hari jualan balon terus kek ? " tanyaku
" Iya nak, kalau ndak jualan dapur ya nggak ngebul, nanti nenek dirumah mau makan apa " jawabnya sambil tersenyum
" Emang anak-anak kakek ke mana kek? "
" Anak-anak saya sudah bekerja semua, sudah berkeluarga. Tinggalnya di luar kota sama keluarga mereka "
" Kenapa ndak ikut sama mereka aja kek? kan ndak perlu lagi susah payah jualan balon seperti ini " tanyaku logis
" Iya, bisa juga seperti itu, tapi kan nggak enak hidup tergantung sama orang lain kan. Meskipun itu ikut sama anak sendiri. Meskipun kerja jualan balon berat, sehari jalan berkilo-kilo belum tentu laku. Tapi kakek ikhlas nak. Toh dari muda kakek sudah jualan balon ini, lha wong lulus SR ( setingkat SD jaman dulu ) aja enggak. Anggap saja mengisi waktu tua, kalau kita ikhlas dan tetap mau berusaha, insyaAllah keikhlasan ini jadi ibadah di mata Tuhan "

Subhanallah, saya tertegun mendengar jawaban beliau. Sederhana sekali tapi begitu bermakna. Bagaimana suatu pekerjaan yang kesannya berat itu dijalani dengan penuh keikhlasan dan didasari untuk ibadah. Saya yang masih muda begitu malu mendengarnya. Mengingatkan saya bagaimana ketika saya selalu mengeluh setiap waktu. Padahal pekerjaan saya jauh lebih ringan dibanding kakek tadi.

#

Suatu pagi saya mengisi bahan bakar di SPBU. Tempat pengisian bahan bakar yang ramai, penuh antrian karena menjanjikan 'pasti pas' tak ada selisih meskipun 1 mililiter. Setelah mengular agak lama, sampai juga giliran saya. Senyum renyah di sunggingkan operatornya yang tampaknya masih muda. Sambil mengisi pada kendaraan saya, coba-coba saya iseng bertanya,

"Mbak, tiap hari kerja gini apa ndak bau bensin mbak?"
"Ya bau mas, kadang malah kebawa sampai rumah baunya, tapi ya gimana lagi lha wong ini kerjaannya"
"Kenapa ndak pakai masker? Kan malah lebih aman?"
"Kebijakan kantor mas, kan kita harus selalu senyum jadi ndak boleh pakai masker" jawabnya sambil tersenyum juga
"Kenapa nggak cari kerjaan lain yang lebih aman mbak dari segi kesehatan?"
"Ya disyukuri aja mas, cari kerjaan juga susah. Disini kita juga malah bisa terus belajar. Tentunya belajar dari banyak karakter orang yang beragam yang datang. Diambil sisi baiknya, dibuang yang jeleknya"

Astaga, saya kembali tertegun. Bagaimana dia melihat pekerjaan itu dari sudut pandang lain dimana dia bisa belajar dari beratnya resiko pekerjaannya. Ah, lagi-lagi saya malu dengan saya sendiri yang kadang merasa suntuk dengan pekerjaan tanpa melihat sudut pandang pekerjaan saya yang menyenangkan.

##

Semoga keikhlasan kakek dan operator SPBU tadi bisa memberi pembelajaran bagi kita untuk terus meyakini bahwa melakukan apapun penuh keikhlasan itu menyenangkan. Kerja penuh kesungguhan itu menentramkan. Tak selamanya harus mencari pujian orang lain, tak perlu selamanya mencari balasan orang. Karena kalau tak ada pujian dan balasanpun, ada yang Maha Mengetahui. Ada yang akan membalas keikhlasan dan kesungguhan kita dalam melakukan hal yang baik. Bukan hanya kebaikan untuk diri kita, tapi kebaikan untuk orang-orang sekitar kita.

Hukum sebab dan akibat pasti akan terjadi. Tuhan yang membalas. Seront récompensés par Dieu

1 komentar:

Pramitha Dita mengatakan...

like your post
:)

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...