*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (14)
kelanjutan dari : Manisnya Buka Puasa di Solok
kelanjutan dari : Manisnya Buka Puasa di Solok
Dulu, ketika belum pernah datang ke Sumatra Barat, saya selalu membayangkan bahwa daerah ini sangat indah. Keindahannya saya imajinasikan seperti lukisan-lukisan yang saya lihat di rumah makan Padang yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Dalam lukisan-lukisan di rumah makan Padang biasanya digambarkan tentang indahnya rumah gadang, bukit-bukit, sawah-sawah dan danau.
Kini hal tersebut ada semua di hadapan saya. Dalam sebuah perjalanan menggunakan travel dari Solok ke Padang Panjang, semua imajinasi saya tentang lukisan itu kini benar-benar nyata. Diantara riuh rendah kecepatan travel dengan pengemudi yang terobsesi menjadi pembalap, saya berdecak kagum.
Di sisi kiri saya melihat Danau
Singkarak dengan rumah-rumah gadang di tepiannya. Sementara gugusan bukit dan persawahan
hijau yang lapang di sisi kanan begitu menyejukkan mata. Jalanan yang
berkelok-kelok persis di pinggir danau nampak tidak terlalu ramai. Ah, saya
kira ini salah satu puncak keindahan perjalanan kami ke Sumatra kali ini.
Hilmy dan Melyn duduk di depan samping
pengemudi. Sementara saya duduk di belakang sambil termangu mendengar
bapak-bapak berbicara dengan Bahasa Minang yang sama sekali saya tidak paham
maksudnya.
Di tepi Danau Singkarak, terlihat juga
sebuah jalur kereta. Rel kereta penghubung antara Padang Panjang – Solok –
Sawahlunto. Dulunya, jalur kereta ke Sawahlunto dibangun pemerintahan kolonial Belanda
karena melihat Sawahlunto sebagai kota penghasil batubara. Sehingga jalur
kereta ini lebih difungsikan sebagai jalur transportasi batubara. Namun ketika
produksi batubara dari Sawahlunto ini sudah menurun, jalur kereta ini dipakai
untuk kereta wisata. Salah satu kereta wisatanya bernama “Mak Itam”. Sayangnya
kereta wisata ini hanya beroperasi pada akhir pekan sehingga kami tidak bisa
mencobanya.
Merasakan lekak-lekuk tepian Danau
Singkarak dengan pengemudi travel yang terobsesi menjadi pembalap sungguh
membuat hati gundah gulana. Terlebih tadi malam nenek di rumah Solok bercerita
tentang Danau Singkarak ini dari sisi ‘lain’. Beliau bercerita tentang beberapa
kejadian mobil tercebur ke danau ini dan tidak dapat ditemukan. Juga tentang
mistisnya danau ini. Mengingat cerita tadi malam dan merasakan pengemudi travel
ini begitu ngebutnya, dalam hati hanya bisa beristighfar. Astaghfirullah yang berselang-seling dengan Subhanallah melihat indahnya danau ini.
salah satu sudut pasar diantara Solok - Padang Panjang |
Tak berapa lama kemudian, gapura bertuliskan ucapan selamat datang di Padang Panjang nampak di depan kami. Di sebuah pertigaan setelah gapura kami turun dari travel untuk kemudian berganti ke sebuah angkot untuk menuju pusat kota.
Saya memperhatikan di Padang Panjang ini
banyak sekali sekolah dan universitas. Mungkin bisa disebut sebagai ‘kota
pelajar’-nya Sumatra Barat. Suasana kotanya lebih ramai dibandingkan dengan
Solok yang kami datangi sebelumnya.
Di angkot kami bertanya-tanya kepada
para penumpang lain bagaimana kami bisa sampai ke tujuan kami, Pusat
Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minang (PDIKM). Seorang ibu dengan anaknya
yang masih kecil memberi informasi detail bagaimana cara kami agar sampai
kesana.
Untuk menuju ke PDIKM kami harus berganti angkot lagi. Di angkot kedua, nampak 2 wanita muda yang jaim. Untuk memastikan kami tidak salah angkot, kami bertanya kepada mereka. Ternyata mereka juga punya tujuan yang searah dengan kami. Namun selepas pertanyaan itu, kami tidak melanjutkan percakapan lagi. Rasanya enggan untuk bertanya lagi ketika melihat wajah mereka yang begitu jaim.
Tidak jauh dari pusat kota, hanya
sekitar 15 menit sampailah kami ke tujuan kami. Sebuah gapura penunjuk Pusat
Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minang (PDIKM) terpampang besar di pinggir
jalan. Kami turun dari angkot untuk kemudian berjalan tidak seberapa jauh ke
pintu gerbang PDIKM.
Sebuah bangunan besar bergaya Minang
kini ada di depan kami. Antara perasaan takjub dan bersyukur bisa sampai di
sini. Tempat ini begitu luas dengan banyak pepohonan dan rerumputan hijau. Di tengahnya
berdiri gagah sebuah rumah gadang besar, seolah-olah menjadi simbol kejayaan
Minangkabau dimasa lalu.
Padang Panjang Kota Serambi Mekah |
Di depan PDIKM |
Serombongan wisatawan asing nampak keluar dari dalam dengan bus yang sudah menunggu di luar. Saya, Hilmy dan Melyn bergegas masuk. Ini pengalaman pertama saya masuk ke dalam rumah gadang. Melewati tangga depan, kami masuk ke anjungan. Anjungan adalah bagian yang lebih tinggi dari bagian dasar rumah, ditandai dengan adanya anak tangga.
Di dalam
saya merasakan agak goyang dengan suara berderit. Mungkin karena baru pertama
kalinya. Kalau diibaratkan ini rumah yang dihuni sebuah keluarga, setiap ada
orang yang berjalan menghentak, seluruh anggota keluarga akan merasakan.
Di dalam bangunan utama ini, disajikan
beberapa cerita sejarah Minangkabau yang terdapat pada koleksi-koleksi fotonya.
Ada juga perpustakaan dengan koleksi buku-buku sejarah Minangkabau. Termasuk
tentang berbagai macam model rumah gadang dan asal muasalnya. Salah satu
proklamator kemerdekaan Indonesia yang berasal dari Sumatra Barat Moh Hatta,
mendapat apresiasi yang sangat baik di tempat ini.
Kami kemudian turun ke lantai dasar. Di
lantai dasar ini disajikan beberapa pakaian tradisional Sumatra Barat. Karena
tidak ada orang yang menunggu di lantai dasar ini maka kami iseng-iseng
mencobanya.
Selepas dari bangunan utama ini, kami
kemudian bergegas keluar untuk melanjutkan perjalanan kami ke Bukittinggi.
Melewati pintu lain yang berbeda dengan pintu masuk kami tadi, kami melewati
sebuah jembatan gantung yang indah. Sungguh tempat ini menjadi satu kesatuan
yang saling melengkapi dan menjadikannya indah.
Kemudian kami kembali ke jalan raya
untuk menunggu transportasi ke Bukittinggi. Jalan raya di dekat PDIKM ini
adalah jalan raya penghubung antara Padang – Padang Panjang – Bukittinggi.
Seorang ibu pemilik warung di pinggir jalan sekitar PDIKM menunjukkan cara kami
untuk pergi ke Bukittinggi. Untuk pergi ke Bukittinggi, ibu itu menyarankan
kami untuk naik travel yang banyak lewat di jalan ini. Travel yang dimaksud ibu
ini adalah mobil-mobil plat hitam (rata-rata model avanza, xenia dan apv) yang
melayani rute Padang – Bukittinggi.
Tak berapa lama, sebuah mobil APV
berhenti. Kami kemudian naik ketika sudah ada beberapa penumpang di dalamnya.
Mobil ini agak penuh sesak dengan penumpang hampir lebih dari 10 termasuk anak-anak.
Di tengah sesak penumpang itu kami mencoba menikmatinya. Namun yang membuat
saya tidak terlalu mengeluh dengan sesaknya bus ini adalah aroma durian di mobil
ini. Sebelumnya saya kira ini adalah parfum mobil yang rasa durian. Namun
ternyata aroma durian itu berasal dari buah durian yang sebenarnya. Dibagian
belakang mobil,ada seorang ibu yang membawa durian dengan jumlah banyak untuk
dijual di Bukittinggi. Bau durian menghinggapi seluruh bagian mobil. Bau durian
ini sungguh enak, bisa dipastikan isinya tak kalah enaknya. Seenak durian yang
saya rasakan di Muaraenim tempo hari. Saya dan Melyn senyum-senyum dengan
semerbak durian ini karena kami sama-sama suka durian. Sedangkan Hilmy
tertunduk lesu, entah karena mual atau karena apa. Ia masih tidak suka durian
dan mungkin sangat tersiksa dengan aroma ini.
Tapi percayalah, dalam suatu perjalananan di
lain tempat nanti, ia akan makan durian untuk pertama kali dalam hidupnya.
Karena durian Sumatra nomor 1 di kelasnya
2 komentar:
hahahasyem.
durenee...
satu destinasi yang harus masuk list...:))
salam bahagia
#blogwalking siang
Posting Komentar