Senin, 16 April 2012

Antara Lubuk Linggau dan Bengkulu


*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (9)

 kelanjutan dari : Sahur Pertama di Kereta Sindang Marga

Peta dari Lubuk Linggau menuju ke Bengkulu

Saya terbangun ketika kereta sudah berhenti di Stasiun Lubuk Linggau. Ini adalah hari pertama bulan puasa tahun ini. Hilmy dan Melyn kemudian shalat subuh di mushola stasiun. Di luar mushola saya didatangi anak kecil yang minta uang, saya bergeming. Sama seperti anak kecil yang kami temui di dekat Jembatan Ampera Palembang, anak kecil ini juga sambil ‘ngelem’. Suasana Stasiun Lubuk Linggau pagi ini lumayan ramai. Beberapa orang yang duduk menunggu kereta memandangi kami dengan pandangan yang aneh. Mungkin mereka heran, dihari pertama puasa ini ada 3 orang dengan tas-tas besar tersesat sampai Lubuk Linggau.

Keluar dari stasiun kami bertanya kepada bapak-bapak ojek dimana tempat kami harus mencari transport untuk menuju Bengkulu. Mereka menyarankan untuk menunggu travel di dekat Alun-alun Lubuk Linggau. Beberapa ojek menyarankan kami untuk menggunakan jasa ojeknya menuju alun-alun yang katanya jaraknya jauh. Kami menolaknya, kami bilang bahwa kami akan jalan kaki saja sambil jalan-jalan. Feeling kami bilang kalau jarak dari stasiun ke alun-alun itu tidak terlalu jauh sehingga tidak perlu memakai ojek. 

Dari stasiun kami berjalan ke arah Pasar Lubuk Linggau. Kemudian sempat bertanya kepada pengemudi angkot. Pengemudi angkot itu menujukkan tempat dimana kami harus menunggu transport ke Bengkulu. Dari penuturannya, memang untuk menunggu transport ke Bengkulu kami harus menuju ke Alun-alun Lubuk Linggau.

Pasar Lubuk Linggau

Saya dan Melyn di Pasar Lubuk Linggau

Bertemu bapak-bapak yang akan menuju Curup
 
Dari Pasar Lubuk Linggau kami melanjutkan jalan kaki kami ke arah alun-alun. Nampaknya memang benar feeling kami, jarak dari stasiun ke alun-alun tidak terlalu jauh. Sampai di alun-alun suasana nampak ramai dengan anak muda yang sedang duduk-duduk. Karena mungkin ini bulan puasa, jadi banyak anak muda yang jalan-jalan selepas subuh. Agak mengherankan ketika sedang berjalan ada segerombolan perempuan yang menggoda saya dengan memanggil-manggil mengucap salam. Memang kalau dasarnya sudah mempesona, belum mandi dari kemarin pun masih punya daya tarik agar orang lain menggoda. Hahaha. 

Di sudut alun-alun kami menunggu transport ke arah Bengkulu. Kami masih bingung transportasi apa yang akan kami gunakan. Apakah ada bus, travel atau trasportasi lain. Kami bertanya kepada seorang bapak yang sepertinya sedang menunggu juga. Kami bertanya transportasi apa yang bisa kami gunakan untuk menuju Bengkulu. Bapak itu menyarankan kami untuk menggunakan travel menuju Curup untuk kemudian berpindah menggunakan travel lain ke Bengkulu.  Nampaknya bapak ini juga akan menuju ke Curup sehingga mengajak kami sekalian untuk bareng. 

Sambil menunggu iseng-iseng saya memperhatikan tingkah laku para pemuda-pemudi yang ada di alun-alun. Yang perempuan rata-rata saling berbincang dengan teman-temannya sesama perempuan di pinggir alun-alun. Sementara yang laki-laki sebagian memakai sepeda motor. Uniknya, ketika melaju menggunakan sepeda motor di depan perempuan, maka kebanyakan laki-laki itu akan ‘menggeber-geber’ gas motornya sekaligus mengangkat ban depannya untuk menarik perhatian para perempuan yang sedang duduk-duduk. Dalam hati saya tertawa terbahak-bahak. Terlebih dengan tampilan sebagian laki-laki yang memakai sarung, mengendarai motor, lalu dengan memasang muka sombong mencari perhatian di depan perempuan. Ah, berasa koboy, tapi kalau yang ini enggak banget!

sudut Alun-alun Lubuk Linggau

sudut Alun-alun Lubuk Linggau

Hilmy sibuk kesana kemari mengambil foto masjid yang ada di depan kami, Melyn duduk dengan mata yang masih ngantuk. Tak berapa lama kemudian lewatlah sebuah mobil sejenis kijang dan berhenti di depan kami. Bapak yang tadi bersama kami lalu mendekat kepada pengemudi mobil kijang itu. Belum sempat bapak tersebut bilang sesuatu, pengemudinya sudah memberi penawaran terlebih dahulu. Nampaknya mobil ini adalah semacam travel ( meskipun bukan travel yang resmi, karena saya lihat plat nomornya warnanya hitam ) yang melayani jasa angkutan dari Lubuk Linggau menuju Curup. Bapak itu mewakili kami untuk negosiasi ongkosnya. Tak berapa lama tercapai kesepakatan, Lubuk Linggau – Curup Rp.30.000. 

Sebelum naik, bapak itu bilang kepada kami bertiga untuk mengaku kepada pengemudi mobil kalau kami adalah adik dari bapak itu. Itu untuk menghindari pengemudi akan pasang harga yang tinggi untuk kami jika ia tau kami orang yang sama sekali belum pernah ke daerah itu. Kami bertiga mengiyakan saja. Saya dan Melyn lebih banyak diam, sedangkan bapak itu lebih sering berbincang dengan Hilmy.

Lalu berjalanlah travel ini menuju ke Curup. Bapak yang tadi bersama kami duduk di depan disamping pengemudi, sementara kami bertiga duduk di belakang. Saya dan Melyn duduk di sebelah pintu sedangkan Hilmy duduk diapit di tengah. Jalanan menuju curup melewati jalan yang berbukit-bukit. Jalanan lumayan halus dengan pemandangan yang menarik dan  matahari yang juga belum terlalu tinggi. Saya lebih banyak melihat ke luar. Menikmati jalanan yang belum pernah saya datangi ini. Jalan yang menghubungkan antara Propinsi Sumatra Selatan dengan Propinsi Bengkulu. Semilir angin dan jalan yang berbelok-belok membawa saya hanyut dalam kantuk yang belum saya tuntaskan tadi pagi. Saya tertidur, entah sudah sampai mana.

***

Saya tidak tau sudah sampai mana ketika saya terbangun. Yang saya tau, saya belum lama tertidurnya. Belum sampai ke Curup ketika bapak yang bersama kami tadi sudah sampai ke tujuannya, rumah besar di pinggir jalan besar menuju Curup. Bapak itu turun terlebih dahulu seraya menunjukkan rumahnya sedang kami harus melanjutkan perjalanan kami. Seulas senyum dan ucapan perpisahan menghiasi pagi kami. Dalam perjalanan, kami banyak berjumpa dengan orang baru, tapi secepat perjalanan, secepat itu pula kami harus berpisah lagi. Bahkan ketika kami belum tau namanya sekalipun.

Mobil pribadi yang disulap menjadi travel ini melanjutkan perjalanan. Pengemudi bertanya tujuan kami. Kami bilang kami akan ke Bengkulu. Mendengar kami akan ke Bengkulu, pengemudi tersebut berujar “Kalau mau ke Bengkulu, ayo sekalian saja saya antar. Tidak perlu turun di Curup. Tinggal nambah ongkos, dari Lubuk Linggau tadi sampai Bengkulu bayar saja 300 ribu untuk 3 orang”. Dengan nominal sebanyak itu, tentu respon pertama kami adalah menawarnya! 

Agak lama kami melakukan tawar menawar. Juru tawar kami kali ini adalah Hilmy. Dengan sedikit ngotot, maka diputuskan kami membayar 225 ribu untuk 3 orang. Berarti dari Lubuk Linggau tadi sampai Bengkulu nanti masing-masing dari kami membayar 75 ribu rupiah. Mahal atau murah?
Menjelang Kota Curup, kami melewati rumah-rumah penduduk yang luar biasa indah. Rumah-rumah tradisional Bengkulu di sepanjang jalan dengan kondisi lingkungan yang sangat bersih. Saya takjub melihatnya. Rumah-rumahnya nampak asri, bersih dan tetap menjaga keasliannya. Sekilas diamati kota ini hawanya sejuk karena dekat dengan perbukitan. Kita menjadi sedikit kecewa karena kami tidak transit di kota ini. 

Di kota Curup ini, pengemudi travel sempat mengurangi laju kecepatannya untuk mencari penumpang lagi. Tapi rejeki sepertinya belum mendekat ke pengemudi ini. Di sepanjang jalan kota Curup tidak ada satupun penumpang yang naik sehingga keluar dari kota Curup menuju Bengkulu jumlah penumpangnya masih sama yakni kami bertiga. 

Kami melewati jalan yang berkelok-kelok lagi dengan pemandangan perbukitan dikanan kirinya. Hilmy nampaknya mulai merasakan pusing efek dari jalanan yang berkelok-kelok. Ojo muntah lho! . Sepanjang jalan yang berkelok-kelok ini, pengemudi sibuk dengan telfonnya. Ia menelepon entah dengan bahasa apa yang nampaknya baru kali ini saya dengar. Gaya bicaranya sangat cepat. Seperti perpaduan antara Bahasa Melayu dan Cina. Ah, entahlah. Saya juga ikut pusing mendengarnya.
Selepas dari Curup, kami melewati sebuah kabupaten lagi bernama Kepahiang. Di sepanjang jalan yang kami lewati ini, kami melewati beberapa SPBU. Dan anehnya, di semua SPBU ini antriannya sampai keluar, bahkan ratusan meter di luar SPBU. Entah berapa jam yang harus dihabiskan untuk mengantri dengan panjang seperti itu. Antrian itu menyebabkan macet menjelang SPBU. Duh, tidak terbayangkan harus antri dengan kondisi panas dan puasa seperti itu. 

Namun ada yang lebih membuat kami miris lagi. Di sepanjang jalan yang kami lewati di Kepahiang ini secara kasat mata kondisi masyarakat kalau dilihat dari rumahnya adalah biasa-biasanya saja. Terlebih dengan kondisi alam yang penuh bukit dan hutan. Tapi yang membuat kami geleng-geleng kepala adalah ketika kami melewati Kantor Bupati Kepahiang. Kantornya seperti istana yang sangat megah. Kantor DPRD yang ada di sebelahnya juga tak kalah megah. Dalam hati sedikit berfikir, sepertinya ini terlalu kontras dengan keadaan wilayahnya.

Kantor Bupati Kepahiang. Foto diambil dari : sini

Di Kepahiang ini ada 4 orang yang naik. 1 ibu di depan,  1 laki-laki dan 2 waria di belakang. Iya, sungguh-sungguh waria. Dengan kondisi mobil yang sudah penuh, pengemudi mulai mempercepat lajunya. Jalanan antara Kepahiang sampai Bengkulu masih sama saja, naik turun melewati perbukitan. Hilmy nampak makin pusing, kelihatan dari cemberutnya. Pemandangan lumayan indah dengan gugusan pegunungan dikanan kiri. Dari tempat ini saya membayangkan bahwa Kota Bengkulu itu ada jauh dibawah sana, masih banyak bukit yang harus dilalui untuk sampai kesana. 

Beberapa jam kemudian mulai masuklah kami ke Kota Bengkulu. Kesan pertama kami tentang Kota Bengkulu adalah panas terik. Beberapa penumpang yang naik tadi sudah turun menjelang kota. Sekarang tinggal kami bertiga lagi yang ada di dalamnya. Kami minta turun di Agen Bus SAN. Tempat kami akan membeli tiket Bengkulu – Padang sekaligus ingin menitipkan tas kami karena kami ingin sekali menelusuri Kota Bengkulu ini. Pantai Panjang Bengkulu, Benteng Marlborough, dan Rumah Pengasingan Soekarno di Bengkulu sudah membayang di muka dan senyum kami. Bisakah kami menjangkau tempat-tempat itu siang ini?

Senin, 02 April 2012

Sahur Pertama di Kereta Sindang Marga


*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (8)

 kelanjutan dari : Senja dan Durian Tanjungenim

Saya terbangun dan mendapati saya masih ada di sebuah ruang tunggu stasiun di Muara Enim, Sumatra Selatan. Nampaknya tadi saya tertidur dengan tas yang masih terpangku. Jam sudah menunjuk lebih dari pukul 12 malam. Suasana stasiun masih seperti tadi, sepi. Saya melihat Melyn dan Hilmy yang duduk agak berjauhan juga nampak lelah dan mengantuk.

Sudah nampak ada petugas datang, tapi loket juga belum di buka. Di dekat saya ada seorang bapak paruh baya yang nampaknya juga sedang menunggu. Selang beberapa saat kami mulai membuka percakapan dan berbincang. Nampaknya bapak ini akan menjemput anaknya yang sedang naik kereta ke Muara Enim. Bapak ini sudah lama tinggal di Sumatra tetapi asalnya dari Kroya, Jawa Tengah. Pertama kali ke Sumatra ketika ongkos bus dari Kroya ke Jakarta masih 8000 rupiah. Wah, tahun berapa itu ya. Pasti sudah lama sekali. 

Dengan kondisi terkantuk saya berbincang dengan bapak ini. Ia bertanya kepada saya tujuan saya ke Sumatra. Saya bilang saya bersama 2 kawan saya ingin keliling Sumatra. Bapak itu lalu bertanya tujuan kami keliling Sumatra untuk apa. Saya jawab kalau tujuan kami keliling ini untuk petualangan saja.

Nampaknya bapak ini sebelumnya mengira bahwa tujuan saya keliling Sumatra adalah untuk dakwah. Saya bertanya-tanya dalam hati, apa wajah saya ini ada aura pendakwah ya. Hahaha. Dengan tersenyum saya menjelaskan bahwa tujuan saya dan 2 kawan saya adalah untuk sekedar berpetualang saja.

Bapak itu lalu bercerita tentang organisasi yang diikutinya. Sambil setengah sadar karena kantuk saya sayup-sayup mendengarkan. Jadi bapak ini mempunyai organisasi keagamaan dimana organisasi itu sering mengirim orang untuk dakwah keliling. Mungkin karena hal itu pula, bapak ini mengira saya yang sedang berkeliling Sumatra ini sedang berdakwah juga. Tiba-tiba saya ingin melihat cermin malam ini.

Melyn dan Hilmy dari kejauhan saya lihat tersenyum-senyum. Mungkin mereka mendengar percakapan saya dengan bapak ini. Dan mereka membayangkan saya di tawari untuk ikut jihad. Di ujung percakapannya, mungkin hanya untuk memberi gambaran contoh saja, bapak ini berujar “Kalau mas mau ikut Jihad, misalnya ke Palestina. Nanti mas berangkat kesana, kebutuhan keluarga mas (anak dan istri) nanti di tanggung bersama oleh anggota-anggota organisasi”

Saya hanya tersenyum saja. Sampai kemudian kami saling diam dan tak berapa lama petugas membuka loket penjualan tiket. Jadi tiket di jual belakangan karena petugas harus memastikan bahwa kereta berjalan dan hampir sampai di Muara Enim ini. Tiket ke Lubuk Linggau masih tersedia dan baru kali ini saya membeli sebuah tiket kereta dan tiketnya di tulis tangan oleh petugasnya. Jadi tidak ada system cetak, yang ada ketika kami memesan 2 tiket bapak petugasnya menulis dengan tangan 3 tiket itu. Tiket kereta bisnis Sindang Marga seharga 60.000 rupiah dari Muara Enim sampai ke Lubuk Linggau. Sepertinya kami bertiga ini satu-satunya penumpang yang naik dari Stasiun Muara Enim.

Kereta belum datang dan kami harus menunggu lagi. Sembari menunggu saya mencari toilet di stasiun ini. Tapi nampaknya tidak ada toilet yang saya temukan. Melyn yang sepertinya ingin ke toilet bertanya kepada petugas tadi. Bapak petugas menunjukkan arah ke toilet sekaligus memberikan kuncinya yang ternyata ia pegang. Hahaha. Ternyata toiletnya ada 1 dan itu terkunci. Kirain ada toilet umum.

Menunggu agak lama, sesaat kemudian datanglah kereta yang kami tunggu sedari tadi. Kereta Sindang Marga menuju Lubuk Linggau. Jam di tangan menunjuk pukul 2 pagi. Padahal jadwal di papan pengumuman yang terpasang, kereta ini seharusnya berangkat dari stasiun ini pukul 23. Bapak petugas yang tadi menjual tiket itu menunjukkan di gerbong mana kami harus naik. “Terserah gerbong berapa saja yang penting kosong” begitu katanya. Saya jadi berpikir, yang membuka loket, menjual tiket, sampai menunjukkan gerbong adalah petugas yang sama. Saya melihat satu-satunya petugas yang ada di stasiun ya cuma bapak petugas satu itu. Jangan-jangan ia merangkap dari kepala stasiun, penjual tiket, penunggu stasiun sampai pengatur sinyal kereta. Hahaha

Kami bertiga kemudian masuk ke kereta. Ada sebuah gerbong yang tidak terlalu penuh sehingga kami bisa duduk leluasa di tempat itu. Tak berapa lama kereta jalan dan kemudian perlahan meninggalkan Stasiun Muara Enim menuju Lubuk Linggau. Saya terkantuk tetapi baru menyadari bahwa kami harus sahur. Ini adalah sahur pertama kami di Bulan Puasa kali ini. Di luar gelap entah menyusuri hutan mana. Hilmy katanya sudah kenyang makan nasi goreng di Pasar Muara Enim. Saya dan Melyn lantas membeli mie gelas dan menyedunya. Sahur pertama kami dalam perjalanan kali ini. Sangat sederhana, tapi mungkin ini akan membuat kami selalu mengenang perjalanan ini. Kereta, gelap, pedalaman Sumatra Selatan, dan mie gelas. Syahdu! 

sahur pertama di kereta antara Muara Enim - Lubuk Linggau

Senja dan Durian Tanjungenim

*cerita jadi Bolang keliling Sumatra bersama Hilmy dan Melyn (7)

Sore ini kami beristirahat di rumah teman kami di Tanjungenim. Tanjungenim ini adalah sebuah nama daerah yang masuk wilayah Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan. Tanjungenim sangat terkenal karena daerah ini adalah penghasil batu bara terbesar di Sumatra Selatan. Suasana daerahnya nampak sepi, mungkin karena ini hari Minggu.

Sesampai di rumah Tata, kami bergantian mandi untuk kemudian kami dipersilahkan makan. Setelah perjalanan berat dan panas antara Palembang– Tanjungenim, perut rasanya ingin memakan semua yang ada di meja. Suasana sangat menyenangkan, keluarga Tata menyambut kami begitu baik.
Sembari istirahat, saya, Melyn dan Hilmy berunding tentang perjalanan kami berikutnya. Kami sedikit bingung sore ini, di lain sisi Tata dan keluarga sudah menyiapkan tempat singgah untuk kami, tapi di lain sisi kami merasa ingin langsung melanjutkan perjalanan.

Mungkin inilah salah satu pembelajaran dalam perjalanan yang bisa kami petik. Dalam sebuah perjalanan akan banyak peristiwa dimana kami harus menentukan pilihan. Tidak banyak waktu untuk mempertimbangkan suatu hal karena waktu terus berjalan. Mungkin kami akan tersenyum ketika pilihan kita merupakan pilihan yang tepat. Tapi jika pilihan itu tidak tepat, kami tak boleh menyesal dan melihat ke belakang. Dan sore ini kami memilih untuk langsung melanjutkan perjalanan kami.

Menjelang maghrib, saya dan Hilmy meminjam motor untuk mencari tiket bus di pusat kota Tanjungenim. Sesampai di tempat deretan penjualan tiket bus ternyata tidak ada bus dari Tanjungenim ke Bengkulu. Yang ada, kami harus menunggu lewatnya bus Trans Jawa Sumatra yang lewat Tanjungenim. Tentu saja jamnya tidak bisa di tebak. 

Dari pusat Tanjungenim saya dan Hilmy kembali lagi ke rumah Tata. Jalanan berkelok-kelok namun masih halus. Yang membuat heran adalah jarang sekali di sini ada pengendara motor memakai helm. Saya dan Hilmy yang memakai helm serasa menjadi makhluk asing. Menjelang rumah Tata, kami bertemu dengan sebuah pemandangan yang luar biasa indah. Langit memerah sementara matahari mulai beranjak kembali ke peraduannya. 


*****

Selepas maghrib, kami bertiga pamit untuk melanjutkan perjalanan kami lagi. Tata disertai Ayah dan Ibunya mengantarkan kami menuju Muara Enim. Sebenarnya kami tidak enak karena besok adalah ramadhan hari pertama. Malam ini harusnya adalah shalat tarawih untuk pertama kalinya, tetapi kami membuat repot mereka.

Sesampainya di Muara Enim kami berhenti di sebuah perempatan tempat bus-bus antar kota lewat. Suasana sepi karena kebanyakan orang mungkin sedang shalat tarawih. Beberapa bus lewat namun tidak ada yang menuju ke Bengkulu. Kami terus menunggu dengan segala ketidakpastian. Sambil menunggu saya iseng bertanya kepada Tata “Ta, di Jawa, sebagai penanda pusat kota kan alun-alun. Kalau disini ada model alun-alun nggak ya?”. “Nggak ada mas, di sini nggak ada alun-alun”. Dalam hati saya berfikir, kalau gitu sebagai penanda pusat kota apa ya? Mungkin berupa Jembatan Ampera seperti di Palembang, Jam Gadang di Bukit Tinggi atau Masjid Baiturahman di Banda Aceh. Tiba-tiba fikiran saya semakin penuh dengan tempat-tempat yang belum dan akan saya kunjungi dalam perjalanan ini.

Hampir 3 jam menunggu bus ke arah Bengkulu ketika  kami akhirnya memutuskan untuk pergi ke Stasiun Muara Enim. Kami mengurungkan niat untuk naik bus karena sedari tadi tak ada bus tujuan Bengkulu. Yang kami tau, akan ada kereta Sindang Marga dari Palembang ke Lubuk Linggau yang akan melintasi Stasiun Muara Enim. Namun sesampai stasiun keadaan tidak seperti stasiun pada umumnya. Suasana sepi hampir tidak ada orang. Loket juga entah dimana. Belajar dari pengalaman di Stasiun Tanjung Karang, mungkin stasiun ini juga tutup karena belum ada kereta yang akan datang.

Sambil menunggu stasiun ini buka, kami pergi ke Pasar Muara Enim. Di keramaian malam pasar ini, saya, Hilmy, Melyn, Tata dan keluarganya berhenti di sebuah tempat makan. Saya dan Melyn hanya minum saja tidak makan karena belum lama kami makan di rumah Tata. Saya dan Melyn senyum-senyum saja melihat Hilmy yang makan dengan lahapnya.

Selang beberapa lama kami kembali ke Stasiun Muara Enim karena sesuai jadwal Kereta Sindang Marga akan melewati Stasiun Muara Enim pukul 23:07. Sampai Stasiun nampaknya suasana masih sepi. Belum ada petugas satupun yang melayani pembelian tiket. Pintu menuju ruang tunggu memang sudah terbuka tapi juga tak ada orang.

Sambil menunggu, saya dan Melyn membuka kotak berisi durian pemberian Tata. Tak sabar menunggu lama untuk makan durian ini. Saya dan Melyn langsung dengan lahapnya menghabiskan durian ini. Sungguh, seumur-umur makan durian, mungkin ini adalah durian yang paling enak yang pernah saya makan. Durian asli Tanjungenim.Saya dan Melyn makan sambil senyum-senyum melihat Hilmy yang hanya bisa diam karena dia tidak doyan durian. Ah, salah satu orang yang merugi adalah orang yang tidak doyan durian! Haha



Kami masih menunggu dan terus menunggu. Hampir pukul 12 malam dan kereta belum lewat. Padahal jadwal kereta pukul 23:07. Kondisi stasiun saja masih sepi tanpa ada petugas. Tata dan keluarganya akhirnya pamit untuk pulang terlebih dahulu karena ayah Tata besok harus kerja. Kami berpisah di Stasiun. Berterima kasih dan kami mohon maaf telah merepotkan mereka. Mengantarkan kami ke stasiun meski ini adalah malam pertama bulan Ramadhan.

Kami kembali hanya bertiga. Saya, Melyn dan Hilmy. Duduk menunggu entah kapan kereta akan tiba. Tulisan di loket masih saja terpampang kertas “Karcis Belum Terjual”. Di deretan kursi ruang tunggu penuh nyamuk saya tertidur, dengan durian paling enak di dunia yang pernah saya rasakan.




Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...