Sabtu, 16 Februari 2008

Anti Kemapanan

Anti Kemapanan..

Dulu kalimat itu begitu aku agung2kan, namun dalam realitanya aku tidak bisa mencerna kalimat yang penuh makna itu.
4 Bulan yang lalu ketika masih di Semarang aku begitu termotivasi dengan kalimat itu. Aku mencoba mencari sisi lain dunia ini. Mencoba berpetualang,, kalau istilah edensor-nya mencari mozaik2 hidup kita yang berserakan penuh misteri. Aku mencoba merajut hidup baru, yang tentunya penuh tantangan. Mencari kerja yang penuh dengan peluh, mencoba memaknai hidup dari sudut pandang yang berbeda.

Sekarang aku berada beribu kilometer dari tanah leluhurku, di ujung barat Indonesia. Banda Aceh tepatnya. Kota yang sedang berbenah karena dihantam badai yang luar biasa dahsyat, Tsunami. Kota yang menamakan diri kota "syariah" namun dari pandangan kasat mata masih banyak penduduknya yang memaknai syariah hanya dengan jilbab. Namun sendi2 kehidupannya masih jauh dari syariah yang kaffah. Rasanya syariah baru sebatas slogan2 semata, belum mengakar dalam darah penduduknya.

Kembali ke masalah kemapanan. Aku mengira perjalanan kesini akan menjadi titik awalku mencari mozaik2 hidupku. Namun slogan "Aku ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan" versi Andrea Hirata belum menjamah hatiku. Masih setengah2 menurutku, belum ada tekad kuat. Masih takut dengan teori kapitalisme. Masih menganggap uang adalah segala kunci menuju tujuan.

Aku masih terkungkung bahwa hidup sejahtera itu harus bergelar sarjana. Masih bergumul dengan teori hidup mapan harus jadi pegawai kantoran, berangkat pagi pulang sore. Membosankan!!! Aku ingin jadi peracun kemapanan, menjelajah mimpi2 yang kadang penuh dengan rancauan dan khayalan kelas medioker.

Namun sekarang aku belum mampu mewujudkannya. Masih terpana dengan kenyataan bahwa hidup nomaden kurang mengasyikkan. Lebih menikmati slogan "Makan gak makan asal kumpul" yang turun temurun di amini oleh sanak kadang tetuaku. Aku masih berharap gelar itu tersanding di namaku walaupun aku penganut faham "Jangan mau seumur hidup jadi orang gajian" versi Master Valentino Dinsi. Aku masih yakin, sepuluh tahun kedepan, orang Indonesia masih menganggap gelar itu cerminan dari diri seseorang. Padahal gelar2 itu banyak kosongnya. Gelar2 penipu diri. Menelenggelamkan diri demi sebuah kebanggaan semu. Tong kosong nyaring bunyinya. Tapi sampai kapanpun aku masih percaya dengan tetuah "Adigang Adigung Adiguna".

Namun masih ada tekad dalam hidupku kelak. Aku harus berani madhep pandhito, mencari kebenaran yang hakiki. Merasakan sari pati hidup. Mencari mozaik hidupku di seberang lautan, diseberang samudra. Menjangkau segenap benua, demi sebuah kehausan diri akan makna hidup.

Meskipun sekarang masih tenggelam dalam kehidupan semu penenggelam jiwa.

Tidak ada komentar:

Lintang Damar Panuluh

Jakarta, 20 Agustus 2015 Di sudut Stasiun Gambir saya mendadak lemas. Tidak ada lagi tiket kereta tujuan ke Semarang untuk malam ini yang...